Sunday, September 23, 2007

Dejavu?

'Sempurna' dari Andra and The Backbones. Sebagian besar pasti sudah pernah mendengar lagu yang sedang hits di tanah air. Atau malah mungkin sudah bercokol di playlist iPod anda.

Satu lagu dari album perdana grup musik yang dimotori oleh Andra (Dewa 19) ini memang sangat populer dan kerap diputar berkali-kali di radio. Buat cewek lagu ini lebih populer lagi.

Nah, entah sengaja atau tidak, kuping saya agak menemukan kemiripan intro melodi lagu Sempurna dengan intro melodi dari lagu Homesick dari album Riot On An Empty Street dari grup musik Kings of Convenience.

Kedua lagu yang bergaya akustik ini mengandalkan kekuatan 'sound' gitar. Hanya lagu Homesick terasa lebih akustik. Mungkin saya salah. Tapi cobalah simak baik-baik bila kebetulan anda menyimpan kedua album ini di iPod anda.

Tuesday, July 31, 2007

Gadget yang asik: Ergorapido

Ketika pergi belanja ke Home Cientro di Kemayoran, saya dan isteri menemukan sebuah gadget baru yang sangat menyenangkan. Mainan baru ini bukan laptop, hape, pemutar musik atau perangkat hiburan, tapi 'cuma' sebuah alat penyedot debu/kotoran alias vacuum cleaner. Namanya Ergorapido dari Electrolux yang menurut penciptanya, berasal dari kata ergonomic dan rapid.

Ketika melihat desainnya, mata kami langsung terpikat. Terutama karena tidak nampak adanya gulungan kabel dan bentuk langsingnya agak berbeda dari kebanyakan vacuum cleaner yang ada. Ergorapido secara cerdas dirancang dengan menggunakan tenaga baterai yang dapat diisi ulang di station yang disediakan. Lebih oke lagi, Ergorapido ternyata adalah perangkat 2in1. Artinya, dia dapat digunakan secara umum seperti penyedot debu rumah, tapi tanpa kabel, juga bisa dilepas tengahnya dan berfungsi menjadi penyedot debu portabel di tangan. Desain Ergorapido memang berbasis pada penyedot portabel. Bagi pemilik rumah yang besar, Ergorapido mungkin kurang cukup karena daya tampungnya. Tapi buat kami yang hanya tinggal di sebuah apartemen yang ukurannya cuma seuprit, dan tidak memiliki orang yang tinggal dan standby setiap hari untuk membersihkan rumah, Ergorapido seperti sebuah 'pencerahan' untuk masalah domestik. Apalagi desain dan fungsinya yang ciamik, rasanya seperti sedang menikmati karya-karya rancangan Apple Computer saja.

Menggunakan penyedot debu bebas kabel untuk membersihkan lantai memang sangat menyenangkan. Kami tak perlu repot-repot memindahkan colokan kabelnya untuk mendekati area yang ingin dibersihkan. Bentuknya yang langsing juga memudahkan penggunaan karena relatif jarang terantuk benda-benda yang memenuhi ruangan seuprit di apartemen kami. Ujungnya pun mampu berputar 360 derajat, membuatnya lincah menjangkau sudut-sudut sulit. Mau membersihkan sofa dan meja di bagian atas? Tinggal copot saja portabelnya. Enak banget deh!

Kekurangan dari Ergorapido -- selain kapasitasnya yang hanya ukuran portabel -- menurut saya adalah tidak adanya indikator kapasitas baterei tersisa. Kalau saja perancangnya mau meniru laptop Mac yang menaruh indikator baterei di baliknya, tentu akan sangat membantu pemakainya untuk mengetahui kapasitas baterei yang tersisa.

Lebih dari itu, Ergorapido sangat menarik untuk Anda yang tinggal di apartemen kecil macam kami. Untuk desain dan fungsi semenarik ini, Ergorapido juga bisa dibilang cukup terjangkau. Harganya sekitar 1 juta beberapa puluh ribu perak. Jauh dari harga vacuum cleaner robot yang harganya masih puluhan juta. Jadi tidak ada salahnya kalau mau 'mengintipnya' ke Home Cientro. Sayang, warna yang tersedia cuma merah. Padahal Ergorapido sebenarnya memiliki 4 macam warna yang sangat menarik.

Tuesday, July 17, 2007

Merayakan Kehadiran Naskah-naskah Iklan Hebat!

Sebagai seorang copywriter afkiran, sudah lama saya tak menikmati kehadiran naskah-naskah iklan hebat di jagat periklanan nasional yang membuat saya 'iri' pada penulisnya. Tapi bulan Juli ini, saya dapat 'hadiah' 2 iklan sekaligus! Senangnya...

Tadinya saya ingin memberi judul topik ini 'Celebrating Craftmanships in Copywriting.' Tapi rasanya lebih mantap kalau judul di atas. Dengan bahasa kandang kita sendiri, hehehe.
Topik ini saya hadirkan memang untuk menyampaikan salut setinggi-tingginya kepada para pekerja iklan yang terlibat melahirkan iklan-iklan berikut ini.

Mengirim ke Negeri Matahari Terbit sebelum terbit matahari.


Billboard Federal Express (FedEx) ini saya temukan di jembatan penyeberangan di jalan Warung Buncit Raya. Rasanya belum lama terpasang.

FedEx adalah salah satu perusahaan yang keberhasilan membangun identitas globalnya banyak dijadikan studi kasus. Mereka berhasil menerapkannya secara konsisten di seluruh dunia. Bila kita melihat cara penulisan naskahnya yang tanpa spasi, itu adalah satu konsistensi yang mereka terapkan untuk memperkuat pesan mereka, yakni We Live To Deliver (yang ditulis dengan teknik sama seperti headline di billboard tersebut).

Di tengah maraknya iklan-iklan kampanye global yang kebanyakan terpuruk hanya menjadi iklan terjemahan tanpa jiwa, iklan ini berhasil membebaskan diri dari kekakuan dan kemalasan. Menilik craftingbahasanya, iklan ini jelas bukan terjemahan mentah-mentah. Biro iklannya berhasil menangkap esensi merek dan menemukan jiwa baru yang relevan dalam bahasa Indonesia. Jadi siapa bilang, mentang-mentang citra global, harus di-londo-kan juga bahasanya? Kerja keras tim kreatif FedEx membuktikannya.

Ini Kandang Kita!



Semua penggila bola tentu akrab dengan jargon hebat satu ini. Apalagi sore nanti, Tim Nasional Indonesia akan mempertaruhkan nasibnya di Piala Asia 2007 melawan raksasa sepak bola Asia, semifinalis Piala Dunia 2002, Korea Selatan.

Lagi-lagi, inilah sebuah platform kampanye global yang sukses dilokalkan oleh kerja keras tim dari Publicis Indonesia (info bocoran dari AdDiction) untuk Nike. Sumpah, waktu melewati jalan Asia Afrika dan melihat billboard raksasa ini terpasang di sepanjang jalan, saya menyumpah dalam hati: berharap sayalah copywriter dari iklan ini.

Ini Kandang Kita! Sungguh sebuah pesan yang dahsyat di momen yang tepat. Meneguhkan keyakinan di belahan mana pun di dunia, dalam olah raga, ketika kita bermain di kandang sendiri, 50% kemenangan sudah di tangan. Menangkap kerinduan yang sungguh terpendam dari pecinta sepakbola terhadap prestasi Tim Nasional. Mengungkap kepekatan fanatisme. Headline semacam ini hanya akan keluar dari orang-orang yang mau memahami benar kedalaman jiwa para penggemar sepakbola di negeri ini.

Selebihnya, silakan simak saja euphoria luar biasa yang sedang berlangsung di Stadion Gelora Bung Karno (GBK) minggu ini dari liputan media. Iklan ini seperti sedang bekerjasama sempurna dengan semangat luar biasa Ponaryo Astaman cs. untuk membuktikan: nama Indonesia masih layak diteriakkan dan Indonesia Raya dinyanyikan dengan bangga secara bersamaan oleh 100 ribu lebih pendukung di GBK. Membuat siapa pun yang berada di tengahnya, pasti merinding dan meneteskan airmata haru. Hebat!

Nah, para pengiklan dan penulis iklan, masih menganggap bahasa londo lebih enak dan keren untuk berkomunikasi dengan bangsa sendiri? Makanya, jangan kebanyakan main di mal... hehehe

Thursday, June 14, 2007

Menghadap Tuhan Kemana? Kemana Tuhan Menghadap?

Ketika melihat pemandangan yang tidak biasa seperti ini di sebuah rumah makan Aceh bernama Meutia di kawasan pasar Bendungan Hilir, tidak aneh bila pikiran saya yang menyaksikannya tiba-tiba menjadi sok politis.

Kejadian Selasa siang seminggu lalu ini, persis saya saksikan ketika sedang menyusul Totot Indrarto (Strategic Planning Director Satucitra yang juga Chief Editor AdDiction) bersama beberapa client service dari Satucitra (Marissa, Nancy, Ronald dan Indra Juwono) sedang makan siang bersama Gandhi Suryoto (Creative Director Dentsu).

Setelah anak-anak client service Satucitra pamit pulang lebih dulu, saya tinggal bersama Totot dan Gandhi sambil ngobrol-ngobrol menikmati kopi khas Aceh. Totot yang menangkap dulu 'kelainan' momen ini sambil senyum-senyum langsung memberitahu saya dan Gandhi. Juga seorang pelayan yang sedang menghitung makanan kemudian mengetahuinya. Kami sama-sama senyum-senyum simpul sendiri sambil tak satu pun ada yang merasa memiliki 'otoritas' untuk memberitahukan langsung kepada orang yang paling kanan, bahwa posisi sholatnya salah hadap. Di momen ini, saya sempat meminjamkan Totot telepon genggam berkamera untuk mengabadikannya seperti yang terlihat di atas. Selanjutnya, saya (sangat mungkin juga Totot dan Gandhi) menjadi sok politis: menduga bahwa perbedaan arah menghadap ini jangan-jangan memang terjadi secara sengaja. Mengingat tentang segala hal yang selama ini terjadi di Serambi Mekah, tak heran bila saya sendiri berpikiran mungkin ada 'penjelasan politis' terhadap perbedaan arah ini.

Betulkah?

Ternyata salah besar. Pikiran saya saat itu ternyata sama salah besarnya dengan pikiran kebanyakan politisi dan orang awam di luar Aceh dalam menangani segala konflik di Aceh selama ini.

Sang pemilik restoran, nampaknya, setelah dipanggil dan diperlihatkan oleh pelayan yang mencatat makanan kami, dengan penuh otoritas kemudian memerintahkan seorang pelayan lainnya untuk menghentikan bapak di sebelah kanan untuk menghentikan sholatnya. Dengan mata kepala sendiri kami menyaksikan, si bapak kemudian menghentikan sholatnya, lalu mengubah arah sholat dan memulainya lagi dari awal. Beliau sama sekali tidak menyadari telah salah arah menghadap, dan ia pun mengulangnya lagi.

Saya cuma bisa cengegesan malu pada pikiran sendiri. Kejadian ini ternyata hanyalah sebuah kealpaan semata. Tak lebih dan tak kurang. Si bapak pun melanjutkan sholatnya dengan khusuk ke arah barat ketika kami berlalu meninggalkan rumah makan.

Saturday, June 09, 2007

Kenangan tentang Pelacur-Pelacurku yang Melankolis

Jangan dulu terkecoh. Ini sama sekali bukan judul cerita porno semacam stensilan. Judul di atas adalah terjemahan saya untuk judul novel terbaru dari Gabriel Garcia Marquez (dikenal juga dengan panggilan Gabo). Judul asli dalam bahasa Spanyol novel terbaru peraih Nobel Sastra 1982 asal Kolombia ini adalah Memorias de Mis Putas Tristes. Sedangkan judul terjemahan bahasa Inggris yang saya baca adalah Memories of My Melancholy Whores yang diterjemahkan oleh Edith Grossman.

Sebagai peraih Nobel Sastra, Gabo tentu bukan sembarang penulis. Ia disetarakan dengan penulis dunia seperti Leo Tolstoy dan Charles Dickens, bahkan dinobatkan oleh para pengamat sastra dunia sebagai The Peoples' Writer in The Hispanic World. Novel-novel hebatnya telah diterjemahkan ke berbagai bahasa, termasuk bahasa Indonesia. Dua karya beliau yang paling populer diterjemahkan adalah One Hundred Years of Solitude dan Love in The Time of Cholera. Selain novel, Gabo yang sekarang telah berusia 78 tahun dan bermukim di Mexico ini banyak menulis esai-esai politik tentang Amerika Latin. Selain novelis, sahabat Fidel Castro ini juga dikenal sebagai jurnalis, publisher dan aktivis politik. Kita dapat menemukan kesamaan 'kelas' Gabo dengan seorang penulis Indonesia yang berkali-kali menjadi kandidat peraih Nobel Sastra, Pramoedya Ananta Toer. Karya populer keduanya juga sama-sama sedang dalam proses pembuatan film layar lebar. Bumi Manusia dari Pramoedya. Love in The Time of Cholera dari Gabo yang dikerjakan oleh sutradara Inggris, Mike Newell. Gaya bercerita Gabo dalam novel-novelnya yang khas dan dianggap sebagai pelopor cerita magical realism juga pernah dianggap sejumlah pengamat sastra di tanah air sangat mempengaruhi gaya menulis Ayu Utami dalam menulis Saman, salah satu novel kontemporer terbaik yang ada di Indonesia.

Kembali ke novel terbaru Gabo ini, Memories of My Melancholy Whores (MMMW) adalah novel terbaru Gabo dalam kurun waktu 10 tahun terakhir. Jauh lebih pendek dari novel-novel sebelumnya, MMMW juga terasa lebih ringan dan mudah dicerna bagi penikmat novel biasa seperti saya. Tanpa kehilangan sentuhan bertuturnya yang khas, Gabo bercerita tentang 'penemuan' cinta yang justru terjadi di penghujung hayat seorang lelaki yang sepanjang hidupnya hanya membeli kebutuhan seksualnya dari para pelacur langganannya, justru pada momen ia tak sanggup meniduri pelacur muda yang 'dipesannya' untuk merayakan ulang tahunnya yang ke 90.

"On the night of her birthday I sang the entire song to Delgadina, and I kissed her all over her body until I was breathless: her spine, vertebra by vertebra, down to her languid buttocks, the side with the mole, the side of her inexhaustible heart. As I kissed her the heat of her body increased, and it exhaled a wild, untamed fragrance. She responsed with new vibrations along every inch of her skin, and on each one I found a distinctive heat, a unique taste, a different moan, and her entire body resonated inside with an arpeggio, and her nipples opened and flowered without being touched."

Sepotong kutipan novel di atas memperlihatkan detil tutur MMMW yang sangat sensual dan dalam. MMMW memang banyak dinilai pengamat karya-karya Gabo bukan sebagai pencapaian terbaiknya. Namun, untuk orang sekaliber Gabo justru menarik karena di usia senja ia bersedia menjadi lebih 'santai' dan membumi dalam bercerita. Tanpa kehilangan sentuhannya pada kedalaman dan kejujuran pemahamannya terhadap kehidupan. Ia tak jadi mengeras dan membeku karena kelegendaan dirinya, sebaliknya bahkan mencair dan mengalir ke ranah yang lebih mudah dijangkau. MMMW adalah novel kelas Nobel yang paling nge-pop bagi saya. Enak dibaca dan mudah dinikmati.

Friday, June 08, 2007

Moga-moga Bukan.


Mendadak saya jadi gusar berat dengan urusan mengartikan tanda-tanda yang tidak ilmiah dan rasional. Apa pasal?

Senin lalu, 4 Juni 2007 saya berputar balik dari arah menuju Menteng ke arah menuju Mampang di ujung jalan HR Rasuna Said. Tepat di putaran, berdiri kokoh sebuah gedung yang hampir selesai pembangunannya. Inilah gedung Komisi Pemberantasan Korupsi yang kita kenal dengan singkatan KPK. Gebrakan KPK selama ini, setuju atau tidak, cukup memberi harapan bahwa masih ada upaya kita untuk mengatasi masalah korupsi yang sudah berurat berakar di bangsa kita. Gedung ini adalah gedung baru dimana KPK akan berpusat nantinya. Nyaris selesai. Nah, hanya saja, belum lagi gedungnya selesai dan diresmikan -- mustinya oleh RI 1 ya -- nantinya, tulisan gagah di pucuk gedung baru catnya sudah nampak luntur. Lebih mengkhawatirkan lagi, dari kata Komisi Pemberantasan Korupsi, hanya kata Pemberantasan Korupsi yang cat-nya luntur, sementara kata Komisi cat-nya tetap mulus.

Tentu saja fakta ini tidak punya arti apa-apa. Bisa saja, sebenarnya, tulisan tersebut belum beres dicat semuanya. Tapi, seperti kata saya di awal, hal-hal seperti ini dapat dianggap 'tanda' yang macam-macam. Apalagi masyarakat kita paling doyan melakukan 'utak-atik gathuk' urusan segala hal yang kerap tak logis dan rasional. Saya pun jadi ikut-ikut gusar dan khawatir, melihat tulisan di gedung itu, moga-moga ini bukan 'tanda' buruk soal tekad pemberantasan korupsi di negeri ini.

Sunday, May 06, 2007

Roti Bakar 'Mantap Surantap'

Siapa sih yang tak pernah makan roti bakar? Kalau belum ya kelewatan banget. Wong ini makanan 'standar' yang sering dinikmati sambil mengisi kebersamaan dengan teman-teman di waktu malam. Baik ketika masih sekolah sampai masa kerja. Anak nongkrong Jakarta pasti tidak bisa menyandang gelar anak nongkrong kalau belum pernah nongkrong di Roti Bakar Eddy yang kondang itu. Tapi saya bukan sedang mau membicarakan Roti Bakar Eddy, tapi Roti Bakar 'Mantap Surantap' yang ada di Bandung.

Saya yakin, setiap orang minimal pernah menikmati roti bakar dari puluhan tempat berbeda. Kadang sulit menentukan mana yang paling enak. Tempat seperti Roti Bakar Eddy bisa dibilang 'enak' secara sosial. Soal rasa, banyak saingannya. Tapi bila harus menilai roti bakar paling enak yang pernah saya nikmati selama hidup, maka saya memilih sebuah tempat yang berada di Bandung. Nama 'Mantap Surantap' adalah istilah fiktif khas plesetan Sunda saja. Ekspresi superlatif untuk mengatakan ini roti bakar paling mantap buat saya (masih ingat plesetan terkenal Cecep Gorbacep, kan? hehehe....)

Orang-orang Bandung menyebutnya Roti Bakar Gang Kote (huruf e dibaca dengan lafal e pada kata enak). Namanya sendiri Roti Bakar 234. Saya tidak tahu sejarah nama ini digunakan. Mungkin pemiliknya penggemar rokok kretek 234 alias Dji Sam Soe. Berbeda dengan tempat berjualan roti bakar yang biasanya sekaligus menjadi tempat nongkrong, dari dulu sampai sekarang Roti Bakar 234 a.k.a Roti Bakar Gang Kote tidak pernah menyediakan kursi dan meja duduk. Tempatnya persis di ujung sebuah gang kecil yang terletak di jalan utama kota Bandung. Tapi tak usah khawatir, karena di sepanjang jalan itu mudah sekali untuk parkir. Orang Bandung yang ke sini, biasanya selalu membeli untuk dibawa pulang. Take away, kerennya sih.

Mantapnya rasa Roti Bakar Gang Kote buat saya tidak pernah berubah. Dari jaman SMA 20 tahun lalu (Waduh ketahuan produk jadul ya, hehehe) sampai sekarang. Isi yang ditawarkan sih sama saja dengan lainnya. Ada keju, selai kacang, kornet dan coklat. Lalu apa istimewanya? Menurut saya karena si penjual memproduksi rotinya sendiri dengan standar yang berbeda dari roti bakar lainnya. Sehingga roti yang dipakai selalu tebal berisi dan 'segar'. Kita bisa memilih 2 model roti yang tersedia. Isinya juga selalu 'royal'. Mungkin karena rotinya yang tebal berisi, maka isinya pun harus dibuat lebih banyak agar terasa benar dalamnya. Teknik membakarnya kurang lebih ya sama saja, seperti yang bisa dilihat di foto.

Setahu saya, tidak banyak turis domestik akhir pekan yang mengenal Roti Bakar Gang Kote. Sama seperti tempat makan enak lainnya di Bandung. Pengetahuan turis domestik akhir pekan memang lebih banyak dipenuhi oleh tempat-tempat makan yang menjual suasana tempat dan panorama. Apalagi lokasinya yang bukan berada di kawasan tujuan wisata Bandung. Tapi tidak ada salahnya bila ingin mencoba. Saran saya, pergilah ke sana sekitar pukul 7-9 malam. Karena laku, mereka sering sudah kehabisan stok roti sebelum pukul 10 malam. Coba rasakan sendiri kedahsyatan rotinya yang tidak bakal dijumpai di tempat roti bakar lainnya.

Tertarik mencobanya? Ini dia petunjuk jalannya. Moga-moga cukup untuk memandu buat anda yang tidak kenal kota Bandung. Letak Gang Kote berada di tepi jalan Sudirman yang berada di dekat Alun-Alun Bandung. Jalan Sudirman sangat terkenal. Jadi mudah meminta petunjuk orang di sana. Gang Kote tepat berada di antara perempatan jalan Sudirman dengan jalan Pasar Baru (dari arah Banceuy atau stasion KA) dan perempatan jalan Sudirman dengan jalan Gardu Jati yang banyak berjualan makanan pada malam hari, seperti jalan Pecenongan di Jakarta. Karena jalan Sudirman adalah jalan se arah menuju Barat, maka anda harus datang dari arah Alun-Alun atau perempatan Sudirman - Pasar Baru untuk mencapainya. Dari lampu merah perempatan Sudirman - Pasar Baru, kira-kira 100 meter di sebelah kiri, anda bisa temukan Roti Bakar Gang Kote ini. Selamat berburu dan menikmatinya rame-rame!

Wednesday, May 02, 2007

Nonton Film Bagus Bersama Pembuat Film Bagus

Setelah nyaris luput, akhirnya Selasa kemarin (1 Mei) berhasil juga nonton Kala di TIM 21. Tepat sehari sebelum menghilang. Di pasar, Kala memang terhitung tidak terlalu berhasil menyerap penonton sehingga jatahnya untuk bercokol di jaringan bioskop 21 sangat singkat.

Setelah nonton, saya patut bersyukur tidak luput menonton. Cuma sayangnya kelancaran menikmati karya kedua Joko Anwar ini harus terganggu oleh sistem tata suara yang 'busuk' banget sehingga rasanya seperti sedang nonton di 'gerimis bubar' alias misbar. Suaranya keras sekeras-kerasnya dan memekakkan gendang telinga sampai di akhir film. Sayang sekali.

Setengah jam mengikuti cerita yang mengalir lancar dan menegangkan, saya dapat merasakan bahwa gaya artistik dan bercerita dari film ini seperti gaya film dari sutradara terkenal Wong Kar-Wai. Seperti film In The Mood for Love dan 2046, dua dari trilogi film Wong Kar-Wai yang sudah saya tonton, Kala menciptakan 'ruang' sendiri untuk ceritanya. Penonton tak perlu mencari 'konteksnya' karena 'ruang' adalah intepretasi bebas sang pencipta untuk menyampaikan gagasan utamanya. Kemampuan si pencipta kemudian menjadi sangat menentukan untuk membuat penonton dapat menikmati rangkaian cerita dan gambar yang disajikan tanpa perlu mengrenyitkan dahi melulu. Joko Anwar tergolong sukses, sekali pun belum sesempurna Wong Kar-Wai. Pujian tentu perlu disampaikan juga kepada tim produksi Kala. Dalam urusan melihat kesamaan gaya dengan Wong Kar-Wai, tentu saja saya bisa salah. Referensi tontonan film saya juga terbatas. Tapi, ya itulah yang langsung terbayang di kepala saya begitu melihat Kala.

Lepas dari itu, gagasan cerita film ini sendiri memikat. Didukung oleh sinematografi yang apik, film bisa bercerita tanpa 'kotbah' yang ceriwis atau sebaliknya sampai memerlukan selera artistik tingkat tinggi untuk memahaminya. Walau terhitung tidak berhasil secara komersial, kehadiran film Kala cukup menyenangkan bagi penonton seperti saya untuk lebih optimis dapat menikmati film-film Indonesia yang semakin baik ke masa depan.

Lebih menyenangkan lagi karena sebulan sebelum saya juga telah disodori film bagus lainnya: Naga Bonar Jadi 2 karya Deddy Mizwar. Ini film yang tidak cuma sangat bagus dan menghibur, tapi juga sangat sukses secara komersial. Hingga hari ini jumlah penontonnya sudah mendekati angka 1 juta penonton dan masih diputar terus di bioskop dan dipadati penonton.

Soal Naga Bonar Jadi 2, saya tentu tak perlu cerita banyak karena pasti sudah banyak orang yang menonton dan sepaham soal bagusnya film ini. Tapi yang membuat saya kagum justru pada saat menonton Kala, begitu selesai film dan lampu menyala saya bertemu dengan dua wajah yang familiar sekali di antara total 9 penonton di TIM 2. Salah satunya saya kenal karena pernah memproduksi salah satu karya iklan kantor saya dan ia mengenakan kaos Naga Bonar Jadi 2. Zairin Zain, yang di Naga Bonar Jadi 2 menjadi Associate Producer. Satunya lagi? Deddy Mizwar himself!

Ah, asyik juga nonton film bagus bersama pembuat film bagus. Mumpung bertemu, rasanya sangat tepat untuk menyampaikan apresiasi langsung. Dengan sok akrab (saya tidak kenal beliau secara pribadi, apalagi beliau tentu lebih tak mengenal saya, hehehe) di antara suara 'misbar' dari musik pengantar title film Kala, saya harus setengah berteriak sambil menyalami beliau, "Bung Deddy, terima kasih banyak ya. Saya sangat suka sekali film Anda." Lalu saya pun mengacungkan dua jempol. Reaksi beliau hanya terbahak kecil sambil bercanda mengibas tangannya. Sungguh jauh dari kesan seorang aktor dan film maker sombong yang telah memberi banyak kepada kemajuan perfilman tanah air. Sebagai penonton dan penggagum Naga Bonar Jadi 2, sungguh beruntung saya dapat menyampaikan apresiasi langsung kepada pembuatnya yang humble dan membumi. Pantas saja bisa melahirkan film bagus sekelas itu, hehehehe....

Sunday, April 29, 2007

Knuckle yang Super Maknyusss...

Ekspresi Bondan Winarno di acara Wisata Kuliner untuk menggambarkan kelezatan makanan yang dinikmatinya ini sangat cocok dipinjam untuk menggambarkan kelezatan pork knuckle yang secara tidak sengaja saya temukan di Singapura.

Tidak sengaja saya temukan karena, tadinya, saya pikir makanan se-otentik ini baru bisa dinikmati kalau kebetulan kita beruntung bisa berkunjung ke negeri Jerman. Itu saya alami ketika berkunjung ke kota Munchen, 4 tahun silam. Lepas dari situ, saya tak pernah lagi menikmati knuckle ini. Padahal, nikmatnya bisa dibilang super maknyusss. Tentu buat anda yang bisa menikmatinya. Eh, dilalah, di Bukit Pasoh Road di kawasan Chinatown Singapura saya menemukan sebuah restoran makanan otentik Jerman dan dimiliki oleh orang Jerman. Jackpot!

Daging knuckle (bagian kaki) yang tebal dan besar hampir seukuran satu ekor ayam ini sangat gurih dan sedikit sekali daging lemaknya. Bagian kulit luarnya yang crispy dan dagingnya yang tender menciptakan sensasi ketika anda menikmatinya, terutama bila 'dibantu' dengan bir Jerman yang istimewa. Menurut pemilik restoran yang tampang dan potongan rambutnya sangat mirip Albert Einstein (Jerman banget, hehehe) pork knuckle Jerman ada 2 ciri cara memasak. Roasted (panggang) adalah ciri cara memasak orang Jerman dari kawasan Bavaria (Munchen dan sekitarnya). Sementara boiled (rebus) adalah ciri dari kawasan Berlin dan sekitarnya. Favorit saya yang panggang.

Restoran ini saya temukan hanya berjarak 30 meter dari hotel saya menginap, New Majestic Hotel. Lokasinya berada di kawasan Chinatown. Buat teman-teman kreatif era 90an yang sering mondar-mandir ke VHQ di Duxton Hill Road, kawasan ini tentu sudah tak asing lagi. Sekarang, di kawasan ini banyak bermunculan hotel-hotel butik yang khas hasil renovasi ruko-ruko kuno yang tidak boleh dirubuhkan. Restoran bernama Magma German Wine Bistro & Restaurant yang berada di salah satu ruko kuno ini dimiliki oleh orang Jerman dengan chef yang juga orang Jerman. Selain menyajikan makanan Jerman otentik, Magma juga mengedepankan wine cellar mereka yang mempromosikan jenis wine asal Jerman. Bahkan mereka membuka wine club bagi para penggemar wine asal Jerman.

Jadi, buat anda yang kebetulan beruntung sempat bertandang ke negeri jiran ini dan ingin berpetualang kuliner, tidak ada salahnya untuk mencoba. Sekali lagi tentu bila boleh makan makanan jenis ini. Daripada melulu berkeliaran di Orchard Road menghabiskan limit kartu kredit, hehehe. Satu porsi knuckle pork roasted di Magma juga tergolong ekonomis untuk standar harga hidangan di Singapura. Tidak lebih dari 25 dollar Singapura seporsinya. Bahkan, bisa dibilang, lebih murah dari harga ribs di resto Amerika terkenal yang ada di Jakarta.

Cara mencapai Restoran Magma ini relatif mudah, bila anda sudah akrab menggunakan MRT. Bahkan kalau pun belum pernah, percaya deh petunjuk MRT Singapura, yang merupakan salah satu yang terbaik di dunia, tidak akan membuat anda nyasar. Cari saja tujuan ke stasiun MRT Outram Road. Turun dari sini, cari arah pintu keluar ke North Bridge Road. Setelah keluar langsung saja ke arah kanan. Anda akan ketemu tempat parkiran kecil dan deretan ruko. Lihat saja ke deretan ruko di seberang pintu keluar MRT North Bridge Road, kalau ketemu KTV bernama unik Kinky Pink dan di sebelahnya terdapat kantor Singapore Amoy Association berarti sudah berada di jalan yang betul. Anda tinggal berjalan lurus ke arah kanan, kurang lebih 100 meter akan bertemu dengan New Majestic Hotel di sebelah kanan dan gedung ruko kuno 1928. Ini sudah di jalan Bukit Pasoh Road, tinggal berjalan sekitar 30 meter lagi di sebelah kiri, anda ketemu dengan Restoran Magma. Tentunya waktu makan malam lebih tepat untuk berkunjung ke sini.

Kalau sudah mencoba, silakan ceritakan ke saya, apakah saya bohong atau tidak. Soalnya, kalau kata teman-teman di kantor, saya ini tipe penikmat makanan yang hanya punya dua kategori: Enak dan Enak Sekali. Tapi Bondan Winarno di Wisata Kuliner kan sama juga, bukan? hehehe...

Sunday, April 22, 2007

Biji Kopi Pilihan (saya)

Kayak bunyi iklan ya? hehehe. Memang sih, sebagai penggemar kopi yang bisa menyeruput sampai 5-6 cangkir per hari, saya punya sedikit pengalaman membeli biji kopi dari berbagai sumber. Pabrik Koffie Aroma adalah salah satu tempat favorit di Bandung yang pernah saya tulis. Sekarang saya mau nambahin daftarnya. Siapa tahu ada yang pengen mencobanya juga.

Koffie Flores

Ini kopi yang paling sering saya beli akhir-akhir ini. Setahu saya hanya ada satu tempat untuk membelinya, di Matahari Supermarket di CITOS (Cilandak Town Square). Koffie Flores ini ada di belakang deretan kasir menempati 'stand' sendiri dan dilayani hanya oleh seorang penjaga. Katanya kopi yang sama bisa Anda nikmati di Mister Bean yang juga ada di CITOS.

Di 'stand' itu dijual berbagai jenis racikan biji kopi. Ada yang original dengan label Premium Gold dan Gold. Ada Italian Roast. Ada Toraja. Ada pula yang sudah dicampur dengan rasa, seperti Hazelnut dan Cinnamons. Favorit saya justru yang sudah dicampur rasa, yakni Hazelnut. Bila sudah diseduh dan dihidangkan, aroma Hazelnut-nya yang khas dapat tercium dari jarak yang cukup jauh. Ini mengingatkan saya pada salah satu ciri khas sebuah coffee shop global paling ternama yang kini hadir hampir di semua mal kelas menengah kota besar Jakarta. Keistimewaan aroma yang memancing indera penciuman adalah juga ciri khasnya. Saya juga menyukai biji kopi dari merek ini. Hanya saja, untuk satu bungkus biji kopi di sini, saya bisa mendapat 5 bungkus di Koffie Flores. Jadi, yah dibela-belain deh ke CITOS secara rutin dua bulan sekali, he..he..he..

Coffee Tree

Tampaknya tempat ini baru ada satu. Letaknya ada di lantai 3 Mal Artha Gading, persis di sebelah pintu masuk ACE Harware. Saya baru 2 kali berkunjung ke sini. Dan 2 kali pula mencoba biji kopi yang dijual. Harganya cukup pantas, walau tidak semurah Koffie Flores. Namun, jenis biji kopi yang dijual di sini memperlihatkan bahwa negeri ini adalah 'surga' kopi dunia. Coffee Tree menawarkan biji kopi dari tempat-tempat terbaik di Indonesia, seperti Toraja, Sidikalang dan Flores. Termasuk kopi houseblend yang menjadi andalannya. Bila ingin menikmati rasa otentik body kopi yang kuat, datanglah ke sini.

Lebih menarik lagi adalah sikap penjualnya yang punya passion kuat terhadap kopi. Seorang pria muda berkacamata akan mendatangi dengan ramah dan mengajak berbincang. Dua kali saya ke sana membeli biji kopi, dua kali saya diberikan kartu nama dan diminta menghubungi setiap saat untuk mengomentari kekurangan atau memberi masukan terhadap kopi yang saya beli. Sebuah sikap yang sungguh simpatik buat setiap penggila kopi yang mampir ke sana.

Tornado

Coffeeshop kecil ini tadinya berlokasi di Bangka Raya, persis di sebelah Pasir Putih. Ini nampaknya tempat yang cukup favorit jadi tempat nongkrong kalangan kreatif periklanan, perfileman dan pekerja lepas kreatif lainnya. Bahkan tak jarang saya 'memergoki' tim sidejob di sini, hehehe.

Sekarang Tornado ini sudah pindah ke Kemang Utara, sebelum jalan belok kanan menuju Kemang Timur bila dari arah Kemang Raya (McD). Dan membuka satu outlet lagi di Wolter Monginsidi, dekat Ciragil. Masih tetap menjadi tempat kongkow-kongkow komunitas yang saya sebut di atas. Di Tornado Kemang, seorang senior copywriter sebuah biro iklan multinasional besar bahkan hampir bisa dijumpai setiap hari di sini. Sudah seperti rumah keduanya, he..he..he..

Jenis biji kopi yang dijual di sini memang lebih terbatas. Dari nama pilihan jenis kopi yang ada jelas sekali yang dijual adalah bji kopi 'coffeeshop'. Namun begitu rasanya tetap istimewa karena ini datang dari sebuah coffeeshop yang 'serius' jualan kopi. Saya yakin pasti banyak teman-teman saya di dunia periklanan sudah cukup akrab dengan tempat ini. Sekali-sekali boleh dicoba itu biji kopinya untuk dinikmati di rumah atau kantor.

Kegembiraan Penggila Apple memang Ga Ada Matinye


Steve Jobs memang pantas ‘diagungkan’oleh para penggila Apple. Karena Apple seperti tak habis-habis memanjakan penggemarnya dengan hal-hal baru yang ‘mencerahkan’. Lebih hebatnya, perkembangan Apple kini bukan lagi sekedar urusan komputer belaka.

Kita tentu masih ingat gebrakan revolusioner iPod yang membuat semua produsen penguasa pasar perangkat audio player kelimpungan habis. Steve Jobs cs nampak akan terus menebar ‘ancamannya’ ke bidang lain. Secara tegas Apple telah memproklamirkan diri tidak lagi berpijak di bidang komputer belaka dengan mencabut nama Computer pada nama perusahaannya.

Tebaran ‘ancaman’ selanjutnya dari Apple kini masuk ke bidang perangkat telekomunikasi. Steve Jobs secara resmi telah memperkenalkan iPhone yang telah mulai dipasarkan di Amerika Serikat awal tahun ini. Inilah perangkat yang mungkin akan segera mengubah peta pasar telepon genggam dunia sekaligus memberi kegembiraan baru bagi setiap penggila Apple.

Seperti karya Apple lainnya, dari tampangnya saja iPhone dapat membuat kita kesengsem berat. Mengusung konsep multi-touch screen yang canggih, desain iPhone jadi simple dan keren tanpa keypad menonjolkan semata-mata layar besar berukuran 3,5 inch. Pas seukuran genggaman tangan. Secara resmi iPhone dikategorikan oleh Apple sebagai kombinasi 3 macam produk: sebuah telepon bergerak yang revolusioner, sebuah iPod berlayar lebar dengan kendali sentuh, dan sebuah terobosan perangkat internet dengan fasilitas desktop. Dengan mengusung sistem operasi Mac OS X, iPhone menjanjikan features desktop dengan kemampuan multi-tasking layaknya di komputer Mac. Plus semua standar kebutuhan koneksi seperti Wi-Fi dan Bluetooth. Kehebatan desain teknologi iPhone terpamer jelas pada kemampuan advance sensor, dimana layar secara otomatis dapat mengubah diri mengikuti gerak pandang pemakainya. Jadi bila kita ubah posisi layar horizontal ke mata kita, maka secara otomatis layarnya akan berubah menjadi horizontal. Demikian pula sebaliknya. Semua kehebatan iPhone bisa Anda simak lengkap di www.apple.com/iphone/.

Buat para pemakai Mac komputer dan notebook, kehadiran iPhone ini juga – pastinya - akan sangat-sangat mempermudah sinkronisasi data karena sistem operasi dan semua piranti lunaknya persis sama. Saat ini, pasti banyak penggila Apple yang sudah tidak sabar ingin segera memiliki iPhone segera. Seperti penjelasan salah seorang rekan yang mendeskripsikan iPhone sebagai sebuah gadget yang kabar kesaktiannya sudah mampu mensugesti konsumen untuk segera memiliki benda ‘keramat’ ini. Sayangnya, iPhone baru akan dipasarkan di Asia pada tahun 2008. Sementara di Amerika Serikat sendiri, sekalipun iPhone menggunakan GSM, ia masih dijual paket dengan sebuah operator di sana. Jadi penggila Apple masih harus bersabar setahun lagi, kecuali Apple berubah pikiran. Moga-moga saja.

(ditulis untuk free magazine AdDiction edisi 7, Maret 2007)

Thursday, March 22, 2007

Nasib orang mati lebih 'beruntung' dari orang sekarat (di Jakarta)

Postingan ini sama sekali tidak berniat mengeluarkan pernyataan kurang ajar. Kalau anda adalah warga Jakarta yang sering berjibaku dengan kemacetan di Jakarta, mungkin setuju dengan headline postingan saya ini.

Kenyataannya, berulang kali di tengah kemacetan Jakarta kita menjumpai mobil ambulans bernasib sama dengan kita. Tanpa pengawalan ekstra dari voorider, raungan sirine ambulans yang -- pastinya -- mengangkut pasien yang membutuhkan pertolongan segera di rumah sakit merambat berjibaku dalam hambatan kemacetan tanpa daya. Bahkan kendaraan-kendaraan di depannya yang cukup santun untuk memberikan jalan pun, kerap tak berdaya. Sirine ambulans tak lebih sekedar jadi peramai kekacauan lalu lintas Jakarta bersama bunyi klakson kendaraan lainnya. Dalam kasus ini, bahkan metro mini atau bis kota bisa jauh lebih berjaya di jalan raya.

Sekarang bandingkan dengan kendaraan pengangkut jenasah yang hampir selalu dikawal oleh pasukan bermotor 'berani mati'. Kita pasti pernah mengalaminya. Ajaib. Dengan sehelai bendera kuning, para pengendara motor pengawal mobil jenasah berlipat-lipat keberaniannya untuk memotong jalan kendaraan yang melaju, menghadang kemacetan, mengebuk-gebuk kendaraan agar menyingkir dan menghadang perempatan jalan dengan gagah berani. Tanpa helm. Kadang berbonceng bertiga sekaligus. Seolah-olah, dengan menjadi pengawal 'gagah berani' mereka otomatis mewarisi lapisan nyawa berlipat kali.

Cukup akrab dengan situasi tersebut, bukan? Ternyata, memang naas nasib orang sekarat di Jakarta. Tidak lebih baik dari jenasah yang, notabene, hidupnya tak perlu diselamatkan lagi sekalipun.