Friday, July 25, 2014

Semangat Kehidupan Laut: Kita Harus Pergi dan Mengalaminya.

Benar kata Jacques Cousteau: "The sea, once it casts its spell, holds one in its net of wonder forever." Raja Ampat adalah 'Amin' untuk semua ungkapan tentang laut bagi refleksi kemanusiaan kita. 


Hampir sebagian besar wilayah Raja Ampat belum tersentuh peradaban modern. Sepenuhnya, keindahan yang hadir di sini merupakan anugerah alam. Sejatinya, di tempat seperti inilah justru kita dapat merayakan kemampuan terbaik manusia membangun peradaban: menjaga apa yang dimiliki bumi untuk kepentingan seluruh umat manusia. Tanpa sekat. Tanpa beda.

Tanpa signal telepon. Tanpa kendaraan bermotor. Tanpa alat pendingin ruangan. Tanpa busana formal trend terbaru. Tanpa segala embel-embel produk modern, kita kerap lebih mudah menemukan nilai kemanusiaan pada diri kita sendiri. Seperti kata Edward Abbey: "Wilderness is not a luxury but a necessity of the human spirit." 

*Dimuat di Pelesir, Kompas Klass edisi Februari 2014

Sensasi Terbang di Bawah Laut Raja Ampat


Kebanyakan penyelam di dunia akan menjadikan Raja Ampat sebagai destinasi utama. Keragaman bawah lautnya menjadi semacam perpustakaan lengkap tentang kehidupan bawah laut bumi ini. Kekayaan alamnya tidak mungkin kita nikmati sekaligus hanya dengan berkunjung sekali-dua kali saja.

Bagi penggemar fotografi bawah laut, Raja Ampat adalah lokasi terbaik di dunia untuk adagium "Take only pictures and memories... leave only bubbles." Tidak hanya melihat spesies bawah laut yang spesial, kita juga pasti akan mudah menjumpai ribuan ikan berkelompok (school of fish) dan keindahan koral warna-warni yang berjajar rapat dan banyak.

Raja Ampat bukan hanya aset negeri ini. Ia telah menjadi aset dunia. Bekal berharga bumi ini untuk masa depan. Itu sebabnya, di sini, setiap penyelam dianjurkan sudah memiliki kemampuan 'terbang' di bawah laut cukup baik agar tidak mudah menyentuh apapun di dalamnya. Karena 'terbang' melayang mengikuti irama arus bawah laut Raja Ampat adalah sebuah ritual yang luar biasa indah bagi setiap penyelam.


*Tulisan dan foto ini terbit di KOMPAS KLASS, edisi 20 September 2013.

Friday, July 18, 2014

Jangan Pandang Donggala Sebelah Mata

Kita jarang mendengar Donggala disebut-sebut para penyelam sebagai daerah tujuan yang ingin dikunjungi. Bahkan dari para penyelam yang kini makin banyak di kota-kota besar, kita mungkin akan mendengar ekspresi terkejut: “Di mana itu Donggala? Memangnya bisa diving di sana?” Donggala memang belum banyak dikenal. Padahal, bagi penyelam yang tidak suka repot-repot menempuh perjalanan berbelit, Donggala patut dipertimbangkan. Donggala bahkan bisa disebut destinasi menyelam di Sulawesi yang paling mudah untuk dicapai.


Kenapa begitu?

Pertama: Donggala dapat dicapai dengan maskapai Garuda mengambil rute Jakarta – Palu via Makassar. Para penyelam yang membawa peralatan sendiri, apalagi ditambah dengan peralatan pemotretan bawah laut, tahu persis cara menghindari keribetan masalah kelebihan beban bagasi: terbanglah dengan Garuda dan gunakan fasilitas keanggotaan. Garuda melayani 1 kali sehari penerbangan menuju Palu via Makasar. Tentu masih ada pilihan lainnya. Lion Air dan Batavia Air juga melayani penerbangan Jakarta – Palu.

Kedua: Jarak dari bandara Mutiara di Palu ke Donggala hanya 45 menit. Paling lama 1 jam. Perjalanan santai dan cepat. Bahkan dibanding tempat menyelam favorit di Bali, yaitu Tulamben, yang perlu 2 jam berkendara dari bandara Ngurah Rai.

Ketiga: Jika anda memilih bermalam di Prince John Diving Resort, satu-satunya resor diving di Donggala, aktivitas menyelam mudah dilakukan dari depan resor. Apalagi mereka punya housereef yang cukup diunggulkan pesona bawah lautnya. Titik masuk dan keluar menyelam bisa kita lakukan persis dari depan resor.

Saya pun, saat ikut divetrip ke Donggala pada tanggal 26 Desember 2011 sampai 1 Januari 2012, tak membayangkan perjalanannya akan semudah ini.


Tidak ada diving di Donggala, tanpa Prince-John Resort

Kegiatan menyelam rekreasi di Donggala memang dimotori oleh kehadiran Prince John Diving Resort (www.prince-john-diving-resort.com). Hingga saat ini, merekalah satu-satunya resor untuk menyelam di pantai Tanjung Karang, Donggala.
Memiliki 15 bungalow, resor ini menempati lahan seluas 2 hektar dengan kontur berbukit yang langsung bertemu bibir pantai. Setiap beranda bungalow menghadap laut, menciptakan pemandangan cantik menyejukkan mata. Walau tanpa pendingin udara, bungalow tetap nyaman dan resik. Sepertinya, pemiliknya paham betul bahwa para penyelam manca negara bukan mencari fasilitas super mewah, tapi tempat menginap yang cukup layak dan pelayanan menyelam yang mematuhi standar-standar keselamatan yang baik. Kita juga langsung menikmati paket lengkap bila menginap di sini: penginapan, menyelam dan makan pagi-siang-malam setiap hari.
Prince John Diving Resort sendiri memang lebih aktif dipasarkan ke para penyelam asing, terutama dari dataran Eropa. Itu sebabnya, seperti diakui oleh pemiliknya, belum banyak tamu penyelam dalam negeri yang mengunjungi Donggala.


“Pesta” Wrecks

Inilah kesimpulan pribadi saya setelah menikmati 12 kali penyelaman selama 4 hari bersama Prince John Diving Center. 3 dari 12 penyelaman kami lakukan di wreck (bangkai kapal) Gili Raja, Mutiara dan Prince-John. Untuk wreck Mutiara dan Prince-John (ini adalah wreck baru dari sebuah kapal kecil yang sengaja ditenggelamkan di depan resor untuk jadi titik penyelaman) kita bisa menyelam dengan mudah untuk semua level sertifikasi selam, karena relatif berada di kedalaman yang dangkal (15 hingga 20 meter) dan nyaris tidak ada arus yang berarti. Tapi khusus untuk Gili Raja yang merupakan kapal kargo yang tenggelam pada tahun 1958 di masa pemberontak Permesta, tidak semua penyelam diijinkan turun di sini. Bahkan, saking konservatifnya, dive center tidak akan memasukkan Gili Raja sebagai agenda menyelam dalam sebuah trip penyelaman berulang.
Pelayanan yang menciptakan rasa nyaman, tenang dan aman, memang bisa disebut sebagai unggulan Prince John Diving Center. Mereka tidak gegabah membolehkan setiap tamu menyelam di Gili Raja yang berada di kedalaman 50 meter. Tanpa disadari, dari beberapa kali penyelaman mereka ‘memantau’ tingkat kemampuan para penyelam dan memeriksa secara seksama tingkat sertifikasi. Bahkan jumlah log yang banyak dapat mereka abaikan bila penyelam terlihat masih tidak nyaman dengan penyelaman dalam. Alhasil, hanya 8 orang diijinkan menyelam ke Gili Raja. 3 di antaranya sudah menyandang sertifikat instruktur.
Pada saat turun di Gili Raja, diterapkan standar pelaksanaan sangat ketat. Tiap 4 penyelam harus didampingi oleh 2 pemandu yang masing-masing membawa tanki cadangan. Waktu maksimum di kedalaman 50 meter ditetapkan hanya 12 menit (pada prakteknya bahkan 10 menit) untuk kemudian semuanya naik perlahan ke 10-15 meter untuk waktu minimal 15 menit. Semua prosedur itu tidak sia-sia, bila kita telah melihat bangkai kapal Gili Raja sepanjang 80 meter yang masih terbaring utuh di dasar samudera. Pemandangan yang sungguh megah dan misterius. Sayang, karena bulan Desember, kejernihan bawah laut banyak terganggu partikel sehingga menyulitkan pemotretan wide-angle untuk wreck ini.
Buat mereka yang tidak bisa menyelam di Gili Raja, tentu tidak perlu kecewa. Wreck Mutiara juga menyajikan pengalaman sama menakjubkan. Seperti Gili Raja, Mutiara juga merupakan bangkai kapal yang relatif utuh di kedalaman 26 meter. Di sekitar bangkai kapal, lazim kita temui ikan-ikan besar seperti bumphead parrotfish, barracuda, giant trevally, dan lain-lain.


Nudibranchs, Baby Sharks dan Dugong



Di sini, memang kita tidak menemui kerapatan koral sepadat Raja Ampat atau Wakatobi, tapi keragaman nudibranchs bagi para pemotret makro, boleh dibandingkan. Beragam nudibranchs yang cukup sulit ditemui, mudah didapat di sini. Begitu pun dengan pygmy seahorse. Asiknya lagi, itu semua bisa kita jumpai di housereef. Kami juga menjumpai seekor pufferfish besar (hampir 1 meter) berbaring malas di kedalaman 5 meter pada saat melakukan safety stop. Jarang sekali.
Bayi-bayi hiu yang jauh yang ‘divers friendly’ juga sangat mudah dijumpai selama menyelam. Mereka biasanya bersemayam di sela-sela koral keras. Kami pun dengan senangnya mengabadikan sosok mereka dari berbagai sudut. Keberadaan mereka tentu menggembirakan karena berarti perburuan hiu relatif rendah di kawasan ini. Semoga tetap terjaga.
Kurang beruntungnya, kami gagal bertemu highlight selam Donggala yang selalu disebut-sebut para pemandu: dugong atau lembu laut atau ikan duyung. Mamalia laut ini kerap muncul di Natural Reef, tidak jauh dari housereef. Sayangnya, dari 2 kali penyelaman di sini, kami tetap belum berjodoh. Lebih apes lagi,

saat kami naik, para penjaga kapal mengabarkan mereka melihat kehadiran dugong tapi berada di arah yang berlawanan dengan tempat kami menyelam. Errrrrr!



Terakhir, Urusan Makan: Kaledo!
Inilah nama makanan khas setempat. Kaledo kepanjangan dari Kaki Lembu Donggala. Sempatkan mencoba. Di kota Palu, bertebaran rumah makan yang menyajikan hidangan khas ini. Kuliner yang sangat menantang bagi para penghindar kolesterol ini disajikan dalam kuah berbumbu. Lezat sekali. Rekomendasi saya, bila ke sini, nikmatilah Kaledo sebagai signature penutup untuk perjalanan anda ke Donggala.


*Ditulis untuk majalah DIVEMAG edisi April 2012

Thursday, January 16, 2014

The Flock Without A Song



The Flock Without A Song

We are a group of singing birds
a flock of the same feather
We flew in with the morning dew
and sang our songs in morning prayer


In this small patch we called our own
a tune was called, a cadence started
a song rose, skyward with the sun
a signature to our birthright


A weary traveller chirps by
heard the song and felt his heart beat
a rhythm of discovery
so in he flew, to join the fun


But he failed to harmonize
despite his plumes, tints and colors
and thought that he doesn't belong
among the great and beautiful


Slowly he lost his tune, and voice
and finally, gone are his songs
not realizing then: it takes two
to harmonize and sing a song


Not knowing that the other birds
eventually lost their songs too
for they had shut their ears and hearts
to different tunes to harmonize


The silence that came was final
in this small patch, we called our own
When winter come, we flew our ways
a proud flock still, without a song.


Jakarta, June 21, 2001
Andreas A.D



Pernahkah anda menyimpan sepotong kenangan pribadi seorang diri dari seorang yang sungguh anda hormati selama hidupnya?

Puisi di atas adalah karya almarhum Andreas A. Danandjaja. Beliau sempat menjabat sebagai HRD Director Satucitra Advertising, tempat saya bekerja, selama sepuluh tahun lebih sebelum beliau meninggal dunia. Sebagai Guru Besar bidang Psikologi di Universitas Indonesia, saya sering bertukar pikiran dan menggali kedalaman ilmu beliau di bidang sumber daya manusia. Kaya dan dalam. Sungguh kita yang pernah bekerja di era beliau, beruntung sekali.

Tapi yang tidak pernah saya duga, suatu ketika dia menghampiri saya dengan sepucuk amplop, lalu berkata: "Pak Ricky, saya tahu anda suka sekali membaca dan menulis puisi. Saya tidak bisa menulis puisi dan ingin sekali. Jadi ini puisi pertama yang pernah saya tulis dan tolong dikomentari. Ini saya tulis hanya untuk dibaca Pak Ricky saja ya. Tolong disimpan dan nanti kapan-kapan kita obrolin."

Kalau benar puisi ini adalah puisi pertama beliau, kualitasnya benar-benar mencerminkan kelas penulisnya. Sebagai sparring partner diskusi dan pengambilan kebijakan perusahaan perihal sumber daya manusia, visi perusahaan dan hal-hal menyangkut manajerial, saya yakin beliau ingin menyampaikan sebuah pesan pribadi yang sangat penting kepada saya melalui metafor. Apalagi ketika beliau sudah memasuki usia sangat sepuh, 70 tahun, dan meminta ijin untuk terus bisa menjadi bagian dari keluarga besar Satucitra. Alasan beliau sederhana, dalam pengalaman karirnya sebagai pengelola sumber daya manusia, Satucitra dianggap sebagai organisasi yang dinamis dan tidak pernah khawatir maupun takut mengubah diri.
Bahkan sebagai perusahaan yang relatif berusia mapan, beliau menilai Satucitra termasuk perusahaan yang menarik karena berani mengubah diri berkali-kali dan tetap punya pijakan. Mungkin karena kami perusahaan bidang kreatif yang hanya berukuran menengah, jadi perubahan tidak terlalu 'membahayakan'. Beliau, selama masa kerjanya di Satucitra, sungguh betah mempelajari dan berbagi pandangannya tentang berbagai perubahan di industri periklanan dari kacamata kepakarannya. Begitu banyak pengetahuan kami bertambah perihal hal prinsip dalam pengelolaan sumber daya manusia. Di tangan Pak Andreas pernah diluncurkan sebuah program khusus pelatihan dan penambahan wawasan karyawan melalui pembicara-pembicara non-periklanan yang menarik. Program tersebut kami namai Satucitra Candradimuka.

Saya kemudian, akhirnya, tidak pernah membahas puisi karya beliau ini. Apalagi perlu mengoreksinya, seperti permohonan beliau. Saya hanya sempat menyampaikan kepada beliau untuk meneruskan menulis puisi atau esai sastra dalam bahasa Inggris. Tentu saja beliau adalah orang yang tidak awam pada dunia sastra, mengingat saudara kandung beliau adalah seorang ahli foklor Indonesia ternama. Entah, apakah kemudian Pak Andreas meneruskan menulis sastra. Karena saya tidak sempat bertanya lebih jauh kepada keluarganya yang kini berdomisili di luar negeri.

Tigabelas tahun puisi ini saya simpan sendiri. Tadinya, ingin saya tulis sebagai In Memoriam pada saat beliau meninggal. Tapi kemudian saya mengubah pikiran dan menyimpan puisinya lebih lama. Sekarang, saatnya saya bagi ke banyak orang, sebagai bentuk penghormatan saya kepada beliau yang telah mewarnai hidup saya. Sebuah puisi yang bagus. Mengandung metafor yang cukup kelam, namun sungguh dalam.

Di sana, saya rasa, beliau tidak keberatan bila puisinya saya publikasikan lewat blog ini. Selamat beristirahat, Pak Andreas. Terima kasih untuk puisi tunggalnya yang sarat makna.

Pak Andreas bersama isteri tercinta di outing kantor ke Bunaken dan Manado, 2002 *)
Bersama rekan-rekan kantor di dalam pesawat Star Air saat berangkat outing *)

*) foto dari Stevie Sulaiman, Art Director Satucitra salah satu rekrutan Pak Andreas



Saturday, January 11, 2014

Divedoskop 2013

Di akhir Desember 2013, ketika tidak berlibur sama sekali, iseng mengumpulkan semua foto perjalanan diving selama tahun 2013 dan membuat mozaik berdasarkan enam destinasi. Saya sebut saja Divedoskop, plesetan dari Kaleidoskop. Kemudian saya posting di Path dengan tulisan pengantar pendek.

Saya lalu memutuskan untuk menyatukan semua divedoskop ini ke dalam satu artikel untuk dipajang di blog. Mumpung blog saya sudah lama sekali juga tidak pernah diisi lagi.

Saya melakukan sedikit penambahan dan penyesuaian agar deskripsinya lebih umum. Ini sepenuhnya catatan pribadi. Sebagai orang yang beruntung berkeliling menikmati kegiatan menyelam di pelosok nusantara, tidak semua catatan saya melulu perayaan tentang keindahan dan kekayaan alam. Karena apa yang saya temui dan lihat, ternyata bukanlah keindahan semata. 



AMBON 

Merayakan tahun baru ke Ambon, ternyata, keputusan yang kurang tepat karena banyak tempat makan tutup dari natal sampai beberapa hari setelah tahun baru. Padahal di sini, banyak restoran enak yang legendaris.

Memilih menginap di Aston Natsepa, sementara diving bersama Maluku Divers yang berlokasi di dekat bandara, juga bukan keputusan tepat. Karena model pulaunya berbentuk U, setiap hari menempuh jarak yang jauh: Aston Hotel di pantai Natsepa ke Maluku Divers dan ke kota cari makan. Tiga lokasi ini letaknya dari ujung ke ujung huruf U. Belum lagi dapat supir mobil sewaan yang gaya mengemudinya seperti sedang menguji sirkuit F1. Setelah diomelin, baru pada hari ketiga nyetirnya agak mendingan. Tapi hotel Aston Natsepa ini tempat yang enak, jauh dari keriuhan kota.

Lebih apes lagi, bertahun diving saya belum pernah bertemu mandarin fish. Di penyelaman terakhir, karena malas dan agak sakit kepala, saya memutuskan menunggu di kapal. Dilalah, teman-teman yang turun malah pesta mandarin fish di kedalaman 8-9 meter saja. Begitulah diving, diperlukan kesabaran panjang untuk akhirnya menemukan apa yang kita cari. Seperti hidup orang biasa gitu deh.

Menyelam di Ambon memang istimewa. Terutama di teluk yang berdekatan dengan kota. Segala hal yang aneh bisa kita temukan, baik binatang laut yang jarang sampai pampers dan sepatu bayi pun ada. Tak terhitung botol plastik dan kemasan produk lainnya.

Ambon memang manise. Tapi teluknya juga kotore :)


PULAU WEH






































Tahun ini, dalam jarak waktu hanya tiga minggu, dua kali mendatangi Pulau Weh. April dan Mei 2013. Berarti ini, ke lima dan enam kalinya mendatangi pulau paling barat Indonesia yang berpenduduk. Di kedua kunjungan itu, kami menginap di Pade Resort

Setelah bencana tsunami, kapal ferry cepat (kurang dari 1 jam) beroperasi dua kali melayani penyeberangan dari Banda Aceh ke Sabang. Belum lagi bandara baru Banda Aceh yang mentereng. Semuanya, mulai meningkatkan jumlah wisatawan ke sini.

Sabang adalah pelabuhan bebas pertama di Indonesia. Bahkan sejak 1895. Hanya memang tidak diseriusi pemerintah dan kalah pamor karena masalah konflik di era Orde Baru.

Dua kali bersama rombongan outing, perjalanan ke pulau ini lebih tepat sebagai perjalanan keriaan daripada menyelam. 'Prestasi' saya tiap outing ke laut adalah ngomporin teman untuk menyelam atau turun ke laut untuk pertama kalinya. Selalu makan 'korban'.

Pulau Weh adalah destinasi menyelam termudah dijangkau dan terbaik di Indonesia bagian barat. Ada shipwreck Sophie Rickmers lengkap dengan onggokan double tank penyelam Jepang yang mati di sana. Ada underwater volcano yang mengeluarkan gelembung-gelembung cantik hanya di kedalaman 6-8 meter. Serta titik selam tepat di depan Tugu KM Nol, menghadap langsung samudera lepas Andaman yang arusnya sungguh menantang.

Kalau Banda Aceh adalah Serambi Mekkah. Pulau Weh bisa disebut Serambi Andaman.


PULAU PEF






































Raja Ampat adalah Mekkah untuk para penyelam di seluruh dunia. Riset Dr. Gerald Allen membuka temuan bahwa biodeversity laut terbesar di dunia ada di kawasan ini, kemudian berkembanglah wisata selam di Raja Ampat dengan pesat.

Kawasan yang terdiri lebih dari 600 pulau ini demikian luasnya dan sedikit penduduknya, hingga hari ini, biar pun berbagai resort tumbuh menjamur, tetap saja kawasan ini terasa seperti belum tersentuh. Menjelajah seluruh Raja Ampat juga bukan hal yang bisa dilakukan hanya dengan beberapa kunjungan. Pilihan tempat menginap pun terdiri dari banyak pilihan, mulai dari yang sangat ekonomis hingga yang harganya menyamai biaya berlibur ke Eropa.

Dari semua resort di Raja Ampat, ada 2 tempat yang dari melihat lokasi dan desainnya saja sudah membuat kita klepek-klepek pengen berlibur di situ: Misool Eco Resort di pulau Misool dan Raja4Divers di pulau Pef.

Walau pulau ini sungguh terpencil, tidak ada signal telepon selain wifi menggunakan satelit, tapi manajemen pengelolaannya menerapkan standar hospitality bintang 5. Dikelola oleh orang Swiss yang mengerti betul bisnis ini. Staffnya ada 62 orang untuk maksimal jumlah tamu 18 orang. Setiap detail diperhatikan betul. Pembangunan dan pengelolaan resor dijaga betul untuk tidak merusak lingkungan.

Ironisnya, hampir 3 tahun berdiri, saya dan isteri adalah tamu pertama orang Indonesia. Padahal, tidak ada diskriminasi dalam pelayanan. Bahkan acara ultah isteri disiapkan secara istimewa oleh pengelola resor ini.

Bagi saya, setiap ke Raja Ampat, selalu dengan pikiran: mumpung belum perlu pakai paspor untuk berlibur ke sini. Karena, tidak ada jawaban yang bisa saya temukan kenapa Papua harus tetap jadi bagian Indonesia, selain sumber daya alamnya dilego melulu untuk kepentingan politik penguasa pusat. Terserah lah mau dibilang tidak nasionalis juga. Menurut saya pribadi, inilah kenyataan yang telanjang.


SANGALAKI

Kawasan kepulauan di Kalimantan Timur ini adalah destinasi menyelam andalan pulau Kalimantan: Derawan, Maratua, Kakaban, Nabucco, Samama dan Sangalaki. Paling padat, sekaligus paling kotor dan berantakan, adalah pulau Derawan. Mungkin karena pulau ini paling berpenghuni. 

Ada tiga keunggulan wisata laut di kawasan ini: stingless jellyfish di danau Kakaban yang hanya ada 2 di dunia (satu lagi di Palau), schooling baracuda di Maratua Channel yang berarus deras, serta surga ikan manta di Sangalaki. Yang pertama bisa dinikmati siapa pun, karena cukup berenang untuk melihatnya.

Sialnya, empat kali turun menyelam di Sangalaki tidak bertemu seekor manta pun. Bahkan selama enam hari di sana, manta menghilang entah ke mana. Turun di Maratua Channel pun gagal. Begitu turun, regulator bocor kemasukan pasir, saya membatalkan menyelam demi keamanan. Alhasil, cuma stingless jellyfish di danau Kakaban saja yang sempat dinikmati. Alasan kuat buat kembali lagi, suatu saat nanti.

Semua kegagalan itu, terbayar penuh oleh pilihan tempat di Sangalaki Dive Lodge. Pulau kecil yang bisa dikelilingi dengan berjalan kaki santai selama 30 menit, dikelilingi oleh pasir pantai putih dan laut yang tenang. Setiap sore, laut yang surut menjadi surga pengunjung untuk kumkuman di pantai. Tenang. Bersih. Menyenangkan.

Sangalaki merupakan tempat penyu-penyu besar berlabuh untuk bertelur. Lalu menetaskan tukik (anak-anak penyu) untuk dilepas ke laut. Setiap hari, inilah peristiwa alam yang pasti dialami para pengunjung. Sayangnya, resor ini belum punya ijin memasarkan minuman beralkohol. Jadi selama enam hari di sini, sama sekali tidak mendapat asupan alkohol. Bir sekalipun. Kurang afdol sih.

Sejak Garuda Indonesia membuka penerbangan ke Tarakan dan Berau, kawasan ini makin menarik bagi wisatawan Jakarta. Asal saja tahan melakukan perjalanan sekitar 3 jam dengan perahu motor sederhana dari Tarakan atau ferry umum dari Tanjung Redep (bila mendarat di Berau).

Tidak jauh dari kawasan ini, terletak Sipadan. Sebuah pulau yang kini menjadi milik Malaysia. Sipadan kini adalah salah satu destinasi menyelam favorit dunia. Sejak resmi dimiliki Malaysia, semua resor dan penghuni dipindah ke pulau sekitar. Sipadan dikonservasi dengan ketat dan jumlah penyelam dibatasi per hari hanya boleh 100 orang. Terbukti, kita memang tertinggal jauh dalam kemampuan mengelola aset pariwisata dengan modern dan baik. Terutama political will pemerintah pusat maupun daerah untuk sungguh-sungguh melakukan investasi infrastruktur terintegrasi. Anggaran yang ada, entah terhambur jadi apa.

Entah sampai kapan kita harus jadi pembayar pajak yang sedih, ya?


NUSA PENIDA

Pulang dari Sangalaki, di bandara Soeta cuma pindah pesawat, bergabung dengan dua teman saya, Elwin Mok dan Rico Ishak, untuk menuju Bali. Kami mendaftar ikut workshop pemotretan manta. Janji bersama yang terucap di meja lapo pada saat makan siang bersama, pantang dibatalkan. Sekalian membayar kegagalan bertemu manta di Sangalaki.

Untung tidak jadi batal. Workshop yang diselenggarakan oleh D'Scuba Club dan dipandu oleh fotografer bawah laut jagoan Chris Simanjuntak ini, jadi pengalaman seumur hidup yang tidak terlupakan. Pertama kalinya kami semua menyelam dengan puluhan manta sekaligus. Melihat mereka bermain sambil makan plankton dan dibersihkan tubuhnya (di cleaning station). Bagi Elwin Mok, ini bahkan pengalaman pertama menyelam bertemu manta. Bermodal perangkat GoPro dan tongsis, dia berhasil membuat dokumentasi yang menakjubkan. Silakan nikmati videonya: My First Encounter with Manta

Banyak penyelam menjadikan pertemuan dengan hiu sebagai pencapaian dalam kegiatan menyelam. Saya malah tidak. Buat saya: manta. Ukuran, bentuk, gerakan, atraksi mereka di bawah laut adalah keindahan bawah laut paling hebat. Manta adalah binatang yang sungguh ramah. Pemakan plankton ini tidak akan menubruk kita. Apalagi melukai. Dalam posisi berhadapan, mereka akan menghindar ke atas atau ke bawah kita. Selama kita tidak berperilaku agresif kepada mereka, tentunya.

Workshop ini seperti memiliki mantra pemanggil manta. Dalam empat kali penyelaman di hanya tiga titik, kami merayakan keagungan puluhan manta di bawah air. Bahkan musim mola-mola di Chrystal Bay Penida kami cuekin saja. Tak tertarik sedikit pun untuk ikut bertumpuk bersama ratusan penyelam di sana.

Workshop ini mengingatkan saya pada pengalaman paling tidak terlupakan seumur hidup di perairan Kri, Raja Ampat, tiga tahun silam. Ketika sedang menelpon di geladak kapal, saya menyaksikan tiga ekor manta dengan bentang tubuh 3-4 meter meloncat anggun dan indah ke permukaan laut bersamaan. Tiga kali. Sebuah pengalaman visual yang mungkin tak akan pernah terulang lagi.

Bumi ini memang hanya memiliki satu lautan. Disajikan tanpa batas untuk kita jelajahi. Mari.


SERAYA

Saya punya seorang teman baik yang saya komporin untuk menyelam, sekarang malah kesengsem habis pada dunia ini. Sampai dia masuk berbisnis di bidang diving. Ikut menanam investasi di dive center dan dive resort.

Berbulan-bulan lamanya dicereweti dia untuk mampir, akhirnya kesampaian di bulan November saya menyambangi dive resort-nya. Itu pun bersifat 'colongan' karena ada rapat di Bali. Karena bersifat 'colongan', saya pun melenggang ke sana seadanya. Tidak membawa peralatan selam dan fotografi sama sekali.

Scuba Seraya Dive Resort letaknya persis sebelum Tulamben. Enaknya tinggal di sini, kita bisa diving ke Tulamben hanya 10 menit, tapi terbebas dan keriuhan Tulamben. Tempat sepi ini, sungguh nikmat untuk leyeh-leyeh sehabis menyelam.

Wreck USS Liberty Tulamben sendiri sekarang, bagi saya, semakin kehilangan banyak pesonanya. Terlalu riuh oleh penyelam di bawah laut. Schooling jackfish yang monumental entah pergi ke mana. Hiu juga makin jarang kelihatan. Tidak selalu akan bertemu bumphead seperti dulu. Tentunya, Tulamben tetap masih menarik untuk memperkenalkan kegiatan selam.

Ternyata, saya lebih menikmati Seraya dan sekitarnya yang tidak banyak disambangi. Seraya adalah surga bagi para pecinta pemotretan makro, atau binatang-binatang laut kecil. Saya membuktikan sendiri. Dalam sekali menyelam di satu titik yang tidak dikenal banyak orang, saya seperti sedang menyelam di Lembeh - surga makro dunia. Sekaligus ketemu rhino, seahorse, aneka nudibrunch, serta segala macam binatang kecil yang jarang. Untunglah, saya sempat dipinjamkan kamera dari dive center untuk mengabadikan penyelaman terakhir saya di sana. Enaknya punya teman baik :) Jadi, semua foto bawah laut di divedoskop ini asalnya dari satu kali penyelaman saja.

Seraya, tempat yang patut didatangi lagi dengan peralatan kamera bawah laut yang lengkap. Menyisir pesisir Seraya untuk menemukan kekayaan bawah lautnya yang tidak terduga.

Friday, January 14, 2011

Jangan Hanya VOTE Komodo. Ayo, VISIT Komodo.

Apabila anda masih berpikiran bahwa Kepulauan Komodo hanyalah sebuah tujuan wisata bagi para penyelam dan backpackers dengan fasilitas super minim, anda salah besar.
Pikiran seperti itu, saya yakin, masih melekat pada banyak kalangan menengah kota besar Indonesia yang sekarang gandrung melakukan wisata nusantara. Terutama bagi mereka yang biasa berwisata bersama keluarga: ayah-ibu dan putera-puterinya. Faktor kenyamanan perjalanan dan kelengkapan fasilitas di daerah tujuan wisata, menjadi faktor pertimbangan yang sangat penting.

Pengalaman ini saya alami sendiri selama dua kali di tahun 2010. Berwisata jalan-jalan dan snorkeling dan menyelam bersama sebuah kapal. Tapi di artikel ini, saya akan mencerita yang pertama dulu.

Wisata jalan-jalan dan snorkeling di Komodo saya lakukan bersama sejumlah rekan-rekan se-industri dengan latar pengalaman berwisata yang tidak seragam, perencanaan perjalanan pun memperoleh sejumlah pertanyaan yang biasa kita temui. Seperti: apakah ada pesawat menuju Kepulauan Komodo; seperti apa pesawatnya dan berapa lama perjalanannya; apakah dari bandara ke hotel jalannya bagus dan berapa dekat; seperti apa hotelnya di sana; bagaimana kita berkeliling di sana; seperti apa perjalanan ke Pulau Komodo; bagaimana ombak di lautnya; apakah aman mengunjungi binatang komodo yang sangat ganas itu; seperti apa kapalnya; dan berbagai pertanyaan lainnya yang, pada intinya, menunjukkan kurangnya informasi yang kita miliki terhadap Kepulauan Komodo.

Labuan Bajo: Kota Kecil yang Siap Menerima Anda

Cara paling mudah menuju Kepulauan Komodo adalah melalui kota pelabuhan Labuan Bajo. Posisi peran Labuan Bajo ini persis seperti Marina Ancol dengan Kepulauan Seribu di Jakarta. Sementara, cara paling mudah menuju Labuan Bajo adalah dengan pesawat terbang dari Denpasar.
Setiap hari ada 2 kali penerbangan Denpasar - Labuan Bajo pp dengan Transnusa/Aviastar (www.transnusa.co.id) dengan jenis pesawat berbeda. Lama perjalanan kurang lebih hanya 50 menit. Dekat bukan? Namun, karena pada saat kami ke sana hanya ada satu airline ini yang beroperasi, harga tiket pesawatnya memang relatif mahal. Jarak Denpasar - Labuan Bajo yang hanya 50 menit, harga tiketnya berkisar antara 600 - 800 ribu rupiah satu arah. Ketika terakhir berada di sana bulan Agustus 2010, saya membaca di bandara bahwa Batavia Air juga akan segera beroperasi dengan rute yang sama. Semoga, dengan adanya itu, harga tiket akan turun karena terjadinya persaingan.

Penerbangan Denpasar - Labuan Bajo dan sebaliknya, bila cuaca sangat cerah, adalah penerbangan yang sangat menyenangkan. Karena kita akan mendapat pemandangan yang spektakuler sepanjang perjalanan. Terutama ketika memasuki wilayah perairan Kepulauan Komodo. Bila anda peminat fotografi, siapkan lensa tele dan pesanlah tempat duduk di pinggir jendela sebelah kanan (saat kembali menuju Denpasar, jendela sebelah kiri). Niscaya anda akan memperoleh kesenangan mengabadikan panorama kepulauan Komodo yang cantik.

Bandara Komodo di kota Pelabuhan Labuan Bajo sendiri adalah sebuah bandara yang sangat sederhana. Kategorinya hanya sebuah bandara perintis. Tentu saja, tidak ada penerbangan malam hari menuju Labuan Bajo. Selain tujuan ke Denpasar, bandara ini hanya melayani rute Kupang dan Mataram dengan airline yang sama. Untuk tujuan dari dan ke Kupang, hanya ada 3 kali penerbangan dalam seminggu.

Bila mau lebih terorganisir dengan rapi, walaupun menjadi lebih mahal, anda bisa mengatur seluruh trip perjalanan ke Komodo melalui biro perjalanan di Bali. Sudah cukup banyak yang melayani. Mereka bisa mengatur semuanya dalam 1 paket, mencakup: pesawat Denpasar - Labuan Bajo - Denpasar, hotel, guide dan transportasi penjemputan dan keliling, sewa kapal dan peralatan snorkeling termasuk mengunjungi Komodo, dan makan siang dan malam. Untuk paket yang cukup nyaman, dengan pilihan menginap di Hotel Bintang Flores (www.bintangfloreshotel.com) atau Jayakarta Hotel (www.jayakartahotelsresorts.com/hotels-and-resorts/suites-komodo-flores), seluruhnya terkena biaya sekitar Rp 4,8 juta per orang. Tentunya berlaku jumlah minimal. Semakin sedikit orang akan semakin mahal.

Bila Ingin Nyaman: Pilih Hotel Bintang Flores atau Jayakarta

Hotel Bintang Flores yang kami tempati adalah sebuah hotel yang sangat nyaman. Sebuah hotel bintang empat milik kelompok hotel Ramada yang berbasis di Bali. Jaraknya dari bandara hanya 10 menit. Berada di hotel ini dan menikmati fasilitas di dalamnya, anda tidak akan merasa ada bedanya ketika sedang berada di sebuah resort yang modern di Bali. Posisinya menghadap laut, sehingga anda bisa menikmati panorama matahari terbenam yang indah setiap sore dari pinggir kolam renang atau pantai. Bila ingin yang lebih 'mojok' lagi, anda bisa memilih Jayakarta Hotel yang jaraknya kurang lebih 4 kilometer dari Hotel Bintang Flores. Juga berada di tepi pantai menghadap ke gugusan kepulauan Komodo. Bagi para backpacker, pilihan hotel-hotel sederhana justru berjejer di dekat dive shops dan pelabuhan. Nampaknya memang disiapkan untuk melayani para penyelam manca negara yang hanya butuh tempat 'numpang' tidur saja. 

Gua Batu Cermin yang Eksotis

Hari pertama, kami mengunjungi tempat wisata darat yang jadi andalan kota Labuan Bajo, yakni Gua Batu Cermin. Gua yang ditemukan oleh orang Belanda ini dinamakan demikian karena di salah satu sudut di gua tersebut ada cahaya matahari yang menembus bebatuan yang berair sehingga menciptakan refleksi seperti cermin. Rute-rute di dalam gua ini cukup dalam dan menarik dengan berbagai mitos bentuk-bentuk wujud yang ada pada bebatuannya. Kurang lebih, membutuhkan waktu 1 sampai 1,5 jam untuk berkeliling di dalam gua ini. Jangan khawatir, pemandu wisata anda akan menyediakan senter dan memandu kita melakukan perjalanan menembus gua, yang di beberapa bagiannya memang benar-benar gelap total. Bersiaplah menemui berbagai jenis serangga atau binatang yang cukup unik di dalam gua tersebut.
Selesai dari gua Batu Cermin yang jaraknya hanya sekitar 15 menit dari Labuan Bajo, kami langsung menuju pelabuhan. Mendekati pelabuhan, karena kontur kota yang sedikit berbukit, kita akan menikmati pemandangan yang menarik dari atas ke arah pelabuhan. Tempat yang asik untuk berhenti sebentar dan mengambil foto-foto dengan latar pelabuhan, laut dan gugusan pulau. Selanjutnya, tujuan utama hari ini adalah snorkeling di Pulau Bidadari atau Angel Island. Benar, nama pulaunya sama dengan yang di Kepulauan Seribu, Jakarta. Tapi tentu dengan pemandangan dan alam bawah laut yang berbeda.
Dengan sebuah kapal sewaan yang cukup besar tapi kecepatan yang lambat, jarak dari pelabuhan Labuan Bajo ke Pulau Bidadari ternyata tidak sampai 30 menit. Karena itu, Angel Island Resort (angelisleflores.com) sebuah resort di pulau ini yang dikelola oleh orang Inggris merupakan salah satu pilihan yang menarik. Di pulau ini kami beramai-ramai menikmati snorkeling yang tidak kalah indahnya dengan snorkeling di Bali, Lombok atau Bunaken. Padahal kami cuma snorkeling di sisi lain dari pulau ini yang diijinkan untuk publik. Saya yakin, pantai tepat di depan resort yang hanya boleh untuk tamu mereka akan memperlihatkan panorama bawah laut yang lebih keren buat para snorkeller. Jadi, pulau ini bisa menjadi salah satu alternatif menarik untuk menginap apabila anda berkunjung ke Komodo dan semata betul ingin menikmati keindahan laut.




Lebih Dekat Melihat Komodo di Pulau Rinca


Hari kedua, adalah hari di mana kami punya waktu penuh seharian. Inilah tujuan utama perjalanan wisata kami: melihat sang komodo. Kami mengubah sedikit rencana di hari ini. Semula, kami berencana menuju Pulau Komodo dan Pink Beach yang berlokasi di dekatnya. Hanya perjalanan menuju Pulau Komodo dengan jenis kapal yang kami sewa, akan memakan waktu 4 jam. Itu berarti, pulang-pergi 8 jam. Apalagi, Pulau Komodo adalah kepulauan terluas di gugusan kepulauan Komodo. Menurut pemandu, dengan jumlah populasi komodo yang tidak berbeda jauh dengan Pulau Rinca yang lebih kecil (2.000 ekor lebih). Sementara jarak ke pulau Rinca bisa ditempuh dalam waktu kurang dari 2 jam dari Labuan Bajo. Sementara, sebagian peserta masih ingin menikmati snorkeling. Akhirnya, menikmati dan mengabadikan Pink Beach yang dikorbankan. 

Perjalanan menuju Pulau Rinca diwarnai dengan cuaca yang sangat cerah dan laut yang sangat tenang hingga sore hari. Begitu tenangnya, kapal nyaris seperti berlayar di atas permukaan agar-agar. Sepanjang perjalanan kita menikmati profil khas pulau-pulau di kepulauan Komodo yang kering dan kecoklatan, namun indah dipandang. Ketika tiba di pulau Rinca, kita harus berjalan kaki sejauh 500 meter untuk mencapai bangunan tempat pengelola Taman Nasional Komodo, markasnya para rangers pemandu wisata komodo. Di pulau Rinca, ada 2 pilihan waktu trekking untuk melihat komodo. 1 jam dan 2 jam. Selama trekking, anda juga bisa berjumpa dengan satwa lainnya, antara lain kerbau hutan yang sangat besar. Berhadapan dengan salah satu satwa paling purba di muka bumi ini, memang terasa aura keganasannya. Hal itu makin menjadi justru karena gerak-geriknya yang sangat tenang. Tapi tidak ada ruginya untuk bisa melihatnya langsung dalam jarak dekat selama kita ikuti panduan dari para ranger yang faham betul perilaku satwa purba ini.

Seperti niat semula, dari Rinca, dalam perjalanan pulang kami pun mampir di pulau Sebayur untuk snorkeling lagi. Berhubung sebagian besar peserta bukanlah orang yang sudah terbiasa nyemplung di laut, kami pun hanya snorkeling persis di tepi pantai dan di sekitar jetty tempat kapal berlabuh. Di jetty, bagian terdalam di mana kapal merapat, untuk pertama kalinya di saat snorkeling, saya menemukan school of fish (kelompok ikan) berjumlah ribuan sedang 'parkir' di kedalaman jetty. Saking banyaknya, bahkan saya sempat menyangkanya mereka adalah dasar laut, karena gelap sekali. Luar biasa.

Talenta yang Tersembunyi di Bidadari Bar

Catatan terakhir dari wisata ini adalah Bidadari Bar. Restoran dan tempat minum berlokasi di tepi laut yang pada malam hari menyajikan pemandangan pelabuhan Labuan Bajo yang cantik. Memang tidak ada yang istimewa dari kuliner di Labuan Bajo. Bahkan, untuk sebuah kota pelabuhan agak aneh bila sulit ditemukan hidangan laut seperti kepiting dan lobster yang menjadi favorit banyak wisatawan. Namun, selama 2 hari berturut kami makan di Paradise Bar sudah sangat dipuaskan oleh 2 menu: ikan tuna besar yang dibakar dan live music yang menampilkan pemuda-pemuda lokal bernyanyi akustik dengan sangat bagus. Bahkan dengan kualitas suara di atas idol-idol di televisi. Mereka bahkan tidak punya nama untuk grup mereka, ketika ditanyakan. Mereka biasanya hanya tampil setiap hari Sabtu malam. Bila anda berada di Labuan Bajo pada Sabtu malam, jangan lewatkan kesempatan untuk menikmati hiburan mereka. 

Oleh-oleh apa yang pantas dibawa dari Labuan Bajo? Saya tidak terlalu mengamati. Tapi tentu Flores terkenal dengan kain tenun tradisionalnya. Hanya saya tidak melihat mudah ditemukan selama berada di Labuan Bajo. Ketika pulang, kami memesan kopi lokal tanpa merek melalui pemandu wisata. Ternyata, rasanya benar-benar enak. Ini tentu sekaligus menegaskan bahwa Indonesia adalah salah satu surganya kopi di dunia.

Kepulauan Komodo, memang sudah sangat lama terkenal sebagai salah satu tempat yang istimewa di Indonesia. Wilayah ini menyimpan banyak jejak sejarah bumi yang purba. Itu sebabnya sekarang tempat ini sedang dikampanyekan untuk, tetap terpilih sebagai salah satu Keajaiban Dunia. Namun, era wisata yang lebih nyaman, memang baru bisa dilakukan baru-baru ini. Semuanya relatif sudah mudah dan nyaman di sana. Satu-satunya kendala dalam perencanaan wisata ke sini, mungkin harga tiket pesawat Denpasar - Labuan Bajo yang masih di atas rata-rata penerbangan murah yang sekarang bertaburan. Bila anda bandingkan dengan harga tiket penerbangan perintis di wilayah Indonesia Timur, harga di kisaran Rp 600 ribu sampai 800 ribu sekali jalan, memang umum. Tapi anda tak akan menyesal. Ayo, VISIT Komodo. 

Thursday, December 16, 2010

Didedikasikan ulang untuk Timnas Indonesia di AFF Cup 2010



Lagu ini rasanya masih relevan dijadikan lagu pendukung untuk Tim Nasional Indonesia berlaga di piala AFF 2010 yang sedang berlangsung. Enjoy!

Tuesday, February 09, 2010

Terlalu Cepat ke Raja Ampat

Kalau tulisan ini mau diartikan sebagai sebuah oleh-oleh, tentu sudah sangat basi dan bulukan. Karena perjalanan menyelam ke kawasan Raja Ampat ini sudah saya lakukan satu tahun lebih.
Namun, berhubung cuma cerita yang tidak bisa basi dan bulukan, saya putuskan tetap membaginya dalam bentuk cerita ringkas perjalanan. Semoga tidak menjemukan.


Tempat Idaman Para Penyelam dari Seluruh Dunia

Nama kawasan Raja Ampat jadi makin mendunia setelah hasil penelitian Dr. Gerald Allen asal Australia diakui secara ilmiah. Temuan penelitian ini menetapkan Raja Ampat sebagai greatest biodiversity ever registered untuk kehidupan bawah laut. 970 species bawah laut tercatat sebagai terbanyak yang pernah ada di dunia.

Sejak itu, liputan mengenai Raja Ampat di berbagai media televisi dan cetak makin melambungkan popularitas tempat ini. Untungnya, kawasan ini belum (dan mudah-mudahan tidak) layak dijadikan kawasan tujuan wisata umum karena beberapa sebab, antara lain: infrastruktur pariwisatanya secara khusus baru menampung kegiatan menyelam, harga penginapan yang di atas rata-rata, serta perjalanan menuju Sorong, kota terdekat dari kawasan Raja Ampat, masih termasuk kategori perjalanan 'penuh perjuangan' yang tidak mudah, seperti yang saya alami sendiri.

Max Ammer adalah nama yang harus disebut sebagai 'penemu' dan pelopor kegiatan diving di kawasan Raja Ampat. Pria asal Belanda ini telah jatuh cinta dan menetap di kawasan ini lebih dari 15 tahun yang lalu. Dia membuka mata dunia terhadap kekayaan bawah laut Raja Ampat dan menjadikan kawasan ini sebagai semacam ultimate destination bagi para penyelam di seluruh dunia melalui Kri Eco Resort (dan kemudian belakangan bertambah dengan Sorido Bay Resort dengan standard yang lebih mewah). Kedua resor ini sejak awal sudah dibangun dengan visi yang jelas: kapasitas dibuat sangat terbatas agak kegiatan penyelaman di kawasan ini tidak terlalu mengganggu ekosistemnya, mengajak masyarakat sekitar menjadi sumber daya, dan bekerjasama dengan pemerintah daerah menerapkan sistem pemeliharaan lingkungan dan dukungan ekonomi kepada nelayan setempat untuk membatasi eksplorasi keanekaragaman sumber laut Raja Ampat. Tidak heran bila biaya entrance fee di kawasan ini sangat mahal. Sebagai WNI saja saya harus membayar Rp 500.000,-, separuh dari yang dibayar para penyelam asing.

Kini, Raja Ampat bisa dibilang adalah permata paling bersinar di kawasan coral triangle dunia. Tidak heran bila kebanyakan penyelam tidak sabar untuk memasukkan kawasan ini ke dalam diving log book mereka, begitu kesempatan datang. Termasuk saya.

Untuk kategori penyelam pemula seperti saya, perjalanan menyelam ke Raja Ampat memang bisa dianggap terlalu cepat. Bagaimana tidak, di dalam log book saya pada saat itu, baru ada Lombok dan Bali. Belum ada Bunaken, Komodo, Wakatobi, Derawan, bahkan Kepulauan Seribu dan sekitarnya yang sangat dekat dari Jakarta. Saya dianggap mengambil 'jalan pintas' menuju lokasi terbaik yang ada di tanah air, hehehehe.


Kri Eco Resort



jetty Sorido Bay Resort


Jakarta - Sorong: Perjalanan Ringan Jadi Berat

Perjalanan Jakarta - Sorong lewat Makasar seharusnya perjalanan yang biasa saja. Dengan transit kurang dari 1 jam, Jakarta - Sorong dapat dicapai kurang dari 5 jam. Itu sebabnya, dengan jadwal berangkat pukul 5 pagi dengan Merpati, saya sudah dijadwalkan untuk mulai menyelam sore hari. Apa lacur, perjalanan ke Sorong harus saya tempuh lebih panjang dari perjalanan Jakarta - London. Terbang dari Jakarta jam 5 pagi di hari Sabtu saya tiba di Sorong baru hari Minggu pukul 9 pagi. Total 28 jam perjalanan. Pesawat dari Makasar ke Sorong yang rencananya berangkat 1 jam setelah kami mendarat di Makasar, dipakai untuk tujuan lain. Dan kami pun terlunta-lunta di Bandara Hasanudin sampai pukul 7 malam akhirnya digelandang ke sebuah hotel melati yang lebih mirip motel esek-esek. Pukul 2 pagi kami mendadak dibangunkan untuk berangkat ke bandara karena pesawat akan berangkat pukul 5 pagi. Ternyata kami baru diberangkatkan ke Sorong pukul 7 pagi. Jadi, siapa bilang Merpati tak pernah ingkar janji?

Saya baru menyadari kemudian, bahwa bandara di Sorong tidak bisa mendaratkan pesawat di malam hari karena lampu bandaranya dicuri. Itu sebabnya kami pun tidak bisa diterbangkan dari Makasar malam hari. Bandara yang sungguh seadanya ini ternyata tidak menyurutkan ribuan penyelam datang ke Raja Ampat untuk menikmati wisata menyelam kelas dunia.

Beberapa menit setelah berada di atas kapal motor cepat milik Papua Diving yang akan membawa kami ke Pulau Kri tempat Kri Eco Resort berada, di tepi laut kota Sorong baru terlihat betapa Raja Ampat adalah sebuah kawasan wisata menyelam terkenal. Jajaran kapal-kapal liveaboard yang bertarif ribuan dollar untuk satu trip berkumpul di sini. Sudah jelas tentu pasar dari wisata ini bukanlah wisatawan lokal.

Seperti tahu bahwa kami telah menempuh perjalanan yang sangat melelahkan, Raja Ampat tidak menunggu hingga kami turun ke dalam laut untuk memamerkan kekayaan alam lautnya. Sepanjang perjalanan 2 jam, kami bertemu dengan 3 ekor ikan paus yang sedang melintas. Pemandangan yang cukup langka ini sedikit menghibur kami yang kelelahan.





Kri Eco Resort: Lebih Indah dari yang Terlihat di Internet

Hiburan kedua terbesar setelah menempuh perjalanan yang melelahkan adalah tempat saya menginap: Kri Eco Resort. Ketika berencana ke Raja Ampat dan melakukan riset kiri-kanan, harga Kri Eco Resort adalah tempat yang paling terjangkau buat saya, dibanding Sorido Bay Resort (yang pemiliknya sama dan terletak satu pulau dengan Kri Eco Resort) serta Misool Eco Resort yang bisa membuat setiap penggemar liburan ke laut meneteskan air liurnya. Namun sayang, harganya berlipat kali lebih mahal. Untuk orang dengan pendapatan rupiah seperti saya, tarif 4000an Euro untuk sungguh sangat berat. Bisa buat DP mobil dong, hehehe (catatan: saat ini mungkin di Raja Ampat sudah ada beberapa tempat baru di luar ketiga ini).

Dari melihat foto-foto Kri Eco Resort di internet, saya berangkat dengan ekspektasi yang tidak tinggi. Bersiap tinggal di sebuah tempat khas untuk backpacker bule yang seadanya. Kenyataannya, Kri Eco Resort adalah sebuah resort alami yang memiliki standar pemeliharaan dan pelayanan tidak kalah dengan resort berbintang lima sekalipun. Tempatnya sungguh lebih nyaman, bersih dan menyenangkan dari yang saya lihat di internet. Jadi dengan nyaman, para penyelam yang tinggal di sini bisa hilir mudik tanpa sandal. Setiap kali mau memasuki kamar atau tempat makan, sudah disediakan baskom besar di pinggir untuk membilas kaki dari pasir-pasir yang menempel.








Kri Eco Resort yang nyaman dan bersih












Bukan Tempat bagi Penyelam Pemula

Saya adalah seorang penyelam berlisensi Open Water. Tergolong pemula. Hanya kebetulan saya sudah melakukan lebih dari 20 kali menyelam, makanya diperbolehkan ikut.

Selain banyak dive site yang arusnya deras, lanskap bawah laut Raja Ampat yang penuh dengan koral hidup yang sangat luas, membutuhkan ketrampilan menyelam sangat baik untuk menghindari rusaknya koral oleh para penyelam yang belum mampu menguasai keseimbangan tubuh di bawah laut. Itulah alasan kenapa kawasan Raja Ampat memprioritaskan para penyelam dengan lisensi advanced dan jumlah penyelaman yang cukup banyak (minimal 20 kali).

Terbukti, pada penyelaman pertama di sore hari di tempat berarus deras, saya langsung terpisah dari kelompok. Beruntung, Papua Diving membekali setiap penyelam dengan pengait darurat. Alhasil, saya harus mengaitkan diri ke karang keras supaya tidak terbawa arus lebih jauh, untuk kemudian naik sendiri setelah menunggu 5 menit tidak melihat kelompok. Inilah sambutan pertama di Raja Ampat: pengalaman pertama saya terbawa arus kencang sampai terpisah dengan kelompok (anggota kelompok saya terdiri dari para penyelam kelas instruktur).

Selain situs-situs yang masih bagus dan sangat kaya dengan spesies bawah laut, lokasi menyelam yang paling mengesankan dan unik untuk saya di Raja Ampat adalah The Passage. Di tempat ini kita menyelam ke semacam gua di pulau kecil hingga kedalaman 18 meter dan menemukan palung terbuka di dalamnya yang menjadi semacam lagoon untuk bersantai. Lebih menarik lagi, penyelaman di The Passage diakhiri dengan meloncat ke arus kencang yang membawa kita 'terbang' ke laut lepas untuk mengakhiri penyelaman. Ingat ketika Nemo mengikuti rombongan penyu melintasi samudera dengan 'membonceng' arus deras? Ya, kurang lebih seperti itulah rasanya.

Sebagai penyelam yang belum terlalu banyak menjelajah wilayah di Indonesia, saya juga sangat terkesan dengan Manta Point. Situs yang berada di tengah laut ini adalah cleaning station untuk puluhan manta ray. 2 macam manta berdada putih dan hitam berukuran raksasa (terbesar bentang sayapnya bisa mencapai 5 meter) hilir mudik ke tempat 'parkir' untuk membiarkan puluhan ikan kecil membersihkan badan mereka. Sama sekali tidak terganggu kehadiran para penyelam yang sedang mengabadikan mereka. Bahkan kita bisa berada dekat sekali (kurang lebih jarak 50 cm saja) dan tidak membuat mereka melarikan diri.

Secara keseluruhan, dari tanggal 19 sampai dengan 25 Januari 2009 tinggal di Kri Eco Resort, saya hanya menyelam di 11 spots yaitu Cape Kri, Chicken Reef, Five Rocks, Mios Kon, Sardine Reef, Manta Point (2 kali), Merpati Reef, Mike's Point, Wasrer, The Passage dan West Mansuar. Berarti, pengalaman menyelam di Raja Ampat bagi saya masih sangat jauh dari cukup mengingat kawasan ini memiliki ratusan spots dengan keunikannya masing-masing.












Salah satu wilayah yang masih mengundang keinginan untuk saya kunjungi di kawasan ini adalah wilayah Misool yang berjarak 4 jam dari kota Sorong yang terkenal dengan dive resort kelas atas: Misool Eco Resort. Sudah pasti harus masuk agenda menyelam saya berikutnya. Tapi entah kapan.

Pilihan untuk melakukan jelajah ke lebih banyak dive site memang lebih baik dilakukan dengan liveaboard, atau tinggal di kapal yang membawa berkeliling. Hal ini tidak saya lakukan, ketika pertama kali ke Raja Ampat, karena saya lebih memilih berada di antara lingkungan setempat. Kurang elok rasanya mendatangi sebuah tempat pertama kali tapi kita hanya berada di kapal terus menerus tanpa menyatu dengan lingkungan. Dengan tinggal di Kri Eco Resort, saya banyak ngobrol dan berinteraksi dengan para pegawai lokal di sana dan sedikit banyak mendapat banyak pengetahuan mengenai berbagai kondisi dan kearifan lokal masyarakat Raja Ampat.


Catatan Penutup: Perjalanan Ini Jadi Lebih Mahal

Satu perbuatan yang sungguh bodoh, saya lakukan dalam perjalanan ini. Sore menjelang gelap, setelah minum 2 botol bir saya berjalan ke arah jetty untuk bersantai menikmati matahari tenggelam yang sungguh indah. Begitu santainya suasana, ketika bermaksud kembali ke kamar, saya sibuk ber-sms tanpa sadar bahwa langit sudah gelap, penerangan sangat minim dan jembatan dari jetty menuju kamar tidak memiliki pembatas. Alhasil, saya tiba-tiba sudah berada setengah di udara dengan tangan memegang telepon genggam. Kemudian sayapun nyemplung dari ketinggian 1 meter ke laut bersama sebuah Blackberry Bold.

Sebuah keteledoran yang sungguh mahal karena air laut langsung membuat telepon genggam saya tidak bisa berfungsi, sekalipun segala macam teknik pengeringan sudah dilakukan: membasuh dengan air tawar, mengeringkan dengan angin dari tabung selam yang sangat kuat, merendam di dalam beras, dan lain sebagainya. Omel istri kepada saya, harga sebuah bold itu sama dengan mengajak dia ke Raja Ampat. Apa lacur, nasi sudah menjadi bubur, hehehehe.