Thursday, March 22, 2007

Nasib orang mati lebih 'beruntung' dari orang sekarat (di Jakarta)

Postingan ini sama sekali tidak berniat mengeluarkan pernyataan kurang ajar. Kalau anda adalah warga Jakarta yang sering berjibaku dengan kemacetan di Jakarta, mungkin setuju dengan headline postingan saya ini.

Kenyataannya, berulang kali di tengah kemacetan Jakarta kita menjumpai mobil ambulans bernasib sama dengan kita. Tanpa pengawalan ekstra dari voorider, raungan sirine ambulans yang -- pastinya -- mengangkut pasien yang membutuhkan pertolongan segera di rumah sakit merambat berjibaku dalam hambatan kemacetan tanpa daya. Bahkan kendaraan-kendaraan di depannya yang cukup santun untuk memberikan jalan pun, kerap tak berdaya. Sirine ambulans tak lebih sekedar jadi peramai kekacauan lalu lintas Jakarta bersama bunyi klakson kendaraan lainnya. Dalam kasus ini, bahkan metro mini atau bis kota bisa jauh lebih berjaya di jalan raya.

Sekarang bandingkan dengan kendaraan pengangkut jenasah yang hampir selalu dikawal oleh pasukan bermotor 'berani mati'. Kita pasti pernah mengalaminya. Ajaib. Dengan sehelai bendera kuning, para pengendara motor pengawal mobil jenasah berlipat-lipat keberaniannya untuk memotong jalan kendaraan yang melaju, menghadang kemacetan, mengebuk-gebuk kendaraan agar menyingkir dan menghadang perempatan jalan dengan gagah berani. Tanpa helm. Kadang berbonceng bertiga sekaligus. Seolah-olah, dengan menjadi pengawal 'gagah berani' mereka otomatis mewarisi lapisan nyawa berlipat kali.

Cukup akrab dengan situasi tersebut, bukan? Ternyata, memang naas nasib orang sekarat di Jakarta. Tidak lebih baik dari jenasah yang, notabene, hidupnya tak perlu diselamatkan lagi sekalipun.