Setelah nyaris luput, akhirnya Selasa kemarin (1 Mei) berhasil juga nonton Kala di TIM 21. Tepat sehari sebelum menghilang. Di pasar, Kala memang terhitung tidak terlalu berhasil menyerap penonton sehingga jatahnya untuk bercokol di jaringan bioskop 21 sangat singkat.
Setelah nonton, saya patut bersyukur tidak luput menonton. Cuma sayangnya kelancaran menikmati karya kedua Joko Anwar ini harus terganggu oleh sistem tata suara yang 'busuk' banget sehingga rasanya seperti sedang nonton di 'gerimis bubar' alias misbar. Suaranya keras sekeras-kerasnya dan memekakkan gendang telinga sampai di akhir film. Sayang sekali.
Setengah jam mengikuti cerita yang mengalir lancar dan menegangkan, saya dapat merasakan bahwa gaya artistik dan bercerita dari film ini seperti gaya film dari sutradara terkenal Wong Kar-Wai. Seperti film In The Mood for Love dan 2046, dua dari trilogi film Wong Kar-Wai yang sudah saya tonton, Kala menciptakan 'ruang' sendiri untuk ceritanya. Penonton tak perlu mencari 'konteksnya' karena 'ruang' adalah intepretasi bebas sang pencipta untuk menyampaikan gagasan utamanya. Kemampuan si pencipta kemudian menjadi sangat menentukan untuk membuat penonton dapat menikmati rangkaian cerita dan gambar yang disajikan tanpa perlu mengrenyitkan dahi melulu. Joko Anwar tergolong sukses, sekali pun belum sesempurna Wong Kar-Wai. Pujian tentu perlu disampaikan juga kepada tim produksi Kala. Dalam urusan melihat kesamaan gaya dengan Wong Kar-Wai, tentu saja saya bisa salah. Referensi tontonan film saya juga terbatas. Tapi, ya itulah yang langsung terbayang di kepala saya begitu melihat Kala.
Lepas dari itu, gagasan cerita film ini sendiri memikat. Didukung oleh sinematografi yang apik, film bisa bercerita tanpa 'kotbah' yang ceriwis atau sebaliknya sampai memerlukan selera artistik tingkat tinggi untuk memahaminya. Walau terhitung tidak berhasil secara komersial, kehadiran film Kala cukup menyenangkan bagi penonton seperti saya untuk lebih optimis dapat menikmati film-film Indonesia yang semakin baik ke masa depan.
Lebih menyenangkan lagi karena sebulan sebelum saya juga telah disodori film bagus lainnya: Naga Bonar Jadi 2 karya Deddy Mizwar. Ini film yang tidak cuma sangat bagus dan menghibur, tapi juga sangat sukses secara komersial. Hingga hari ini jumlah penontonnya sudah mendekati angka 1 juta penonton dan masih diputar terus di bioskop dan dipadati penonton.
Soal Naga Bonar Jadi 2, saya tentu tak perlu cerita banyak karena pasti sudah banyak orang yang menonton dan sepaham soal bagusnya film ini. Tapi yang membuat saya kagum justru pada saat menonton Kala, begitu selesai film dan lampu menyala saya bertemu dengan dua wajah yang familiar sekali di antara total 9 penonton di TIM 2. Salah satunya saya kenal karena pernah memproduksi salah satu karya iklan kantor saya dan ia mengenakan kaos Naga Bonar Jadi 2. Zairin Zain, yang di Naga Bonar Jadi 2 menjadi Associate Producer. Satunya lagi? Deddy Mizwar himself!
Ah, asyik juga nonton film bagus bersama pembuat film bagus. Mumpung bertemu, rasanya sangat tepat untuk menyampaikan apresiasi langsung. Dengan sok akrab (saya tidak kenal beliau secara pribadi, apalagi beliau tentu lebih tak mengenal saya, hehehe) di antara suara 'misbar' dari musik pengantar title film Kala, saya harus setengah berteriak sambil menyalami beliau, "Bung Deddy, terima kasih banyak ya. Saya sangat suka sekali film Anda." Lalu saya pun mengacungkan dua jempol. Reaksi beliau hanya terbahak kecil sambil bercanda mengibas tangannya. Sungguh jauh dari kesan seorang aktor dan film maker sombong yang telah memberi banyak kepada kemajuan perfilman tanah air. Sebagai penonton dan penggagum Naga Bonar Jadi 2, sungguh beruntung saya dapat menyampaikan apresiasi langsung kepada pembuatnya yang humble dan membumi. Pantas saja bisa melahirkan film bagus sekelas itu, hehehehe....
No comments:
Post a Comment