Saturday, June 09, 2007

Kenangan tentang Pelacur-Pelacurku yang Melankolis

Jangan dulu terkecoh. Ini sama sekali bukan judul cerita porno semacam stensilan. Judul di atas adalah terjemahan saya untuk judul novel terbaru dari Gabriel Garcia Marquez (dikenal juga dengan panggilan Gabo). Judul asli dalam bahasa Spanyol novel terbaru peraih Nobel Sastra 1982 asal Kolombia ini adalah Memorias de Mis Putas Tristes. Sedangkan judul terjemahan bahasa Inggris yang saya baca adalah Memories of My Melancholy Whores yang diterjemahkan oleh Edith Grossman.

Sebagai peraih Nobel Sastra, Gabo tentu bukan sembarang penulis. Ia disetarakan dengan penulis dunia seperti Leo Tolstoy dan Charles Dickens, bahkan dinobatkan oleh para pengamat sastra dunia sebagai The Peoples' Writer in The Hispanic World. Novel-novel hebatnya telah diterjemahkan ke berbagai bahasa, termasuk bahasa Indonesia. Dua karya beliau yang paling populer diterjemahkan adalah One Hundred Years of Solitude dan Love in The Time of Cholera. Selain novel, Gabo yang sekarang telah berusia 78 tahun dan bermukim di Mexico ini banyak menulis esai-esai politik tentang Amerika Latin. Selain novelis, sahabat Fidel Castro ini juga dikenal sebagai jurnalis, publisher dan aktivis politik. Kita dapat menemukan kesamaan 'kelas' Gabo dengan seorang penulis Indonesia yang berkali-kali menjadi kandidat peraih Nobel Sastra, Pramoedya Ananta Toer. Karya populer keduanya juga sama-sama sedang dalam proses pembuatan film layar lebar. Bumi Manusia dari Pramoedya. Love in The Time of Cholera dari Gabo yang dikerjakan oleh sutradara Inggris, Mike Newell. Gaya bercerita Gabo dalam novel-novelnya yang khas dan dianggap sebagai pelopor cerita magical realism juga pernah dianggap sejumlah pengamat sastra di tanah air sangat mempengaruhi gaya menulis Ayu Utami dalam menulis Saman, salah satu novel kontemporer terbaik yang ada di Indonesia.

Kembali ke novel terbaru Gabo ini, Memories of My Melancholy Whores (MMMW) adalah novel terbaru Gabo dalam kurun waktu 10 tahun terakhir. Jauh lebih pendek dari novel-novel sebelumnya, MMMW juga terasa lebih ringan dan mudah dicerna bagi penikmat novel biasa seperti saya. Tanpa kehilangan sentuhan bertuturnya yang khas, Gabo bercerita tentang 'penemuan' cinta yang justru terjadi di penghujung hayat seorang lelaki yang sepanjang hidupnya hanya membeli kebutuhan seksualnya dari para pelacur langganannya, justru pada momen ia tak sanggup meniduri pelacur muda yang 'dipesannya' untuk merayakan ulang tahunnya yang ke 90.

"On the night of her birthday I sang the entire song to Delgadina, and I kissed her all over her body until I was breathless: her spine, vertebra by vertebra, down to her languid buttocks, the side with the mole, the side of her inexhaustible heart. As I kissed her the heat of her body increased, and it exhaled a wild, untamed fragrance. She responsed with new vibrations along every inch of her skin, and on each one I found a distinctive heat, a unique taste, a different moan, and her entire body resonated inside with an arpeggio, and her nipples opened and flowered without being touched."

Sepotong kutipan novel di atas memperlihatkan detil tutur MMMW yang sangat sensual dan dalam. MMMW memang banyak dinilai pengamat karya-karya Gabo bukan sebagai pencapaian terbaiknya. Namun, untuk orang sekaliber Gabo justru menarik karena di usia senja ia bersedia menjadi lebih 'santai' dan membumi dalam bercerita. Tanpa kehilangan sentuhannya pada kedalaman dan kejujuran pemahamannya terhadap kehidupan. Ia tak jadi mengeras dan membeku karena kelegendaan dirinya, sebaliknya bahkan mencair dan mengalir ke ranah yang lebih mudah dijangkau. MMMW adalah novel kelas Nobel yang paling nge-pop bagi saya. Enak dibaca dan mudah dinikmati.

2 comments:

rangga said...

Love in The Time of Cholera adalah salah satu buku favorit gua...

atau emang itu gara-gara gua adalah seorang hopeless romantic?

hehehehe...

Ricky Pesik said...

Ga, gue baru tahu kalau The Man That Woman Want to Go Home With di AdOrgy ternyata seorang hopeless romantic, hahahahaha