mengandung tawa, senang, kagum, sebel, jengkel, protes, sinis, haru, geli, bingung, marah, mimpi, harap, suka, duka, kangen, sok tahu, emosi, pasrah, malu, tanya, takut, gelisah, penasaran, pusing, kesal, cuek, bengong, sirik, sedih, gombal...
Tuesday, December 27, 2005
Friday, December 23, 2005
Ini Bukan Ujian yang Sesungguhnya!
Rabu, 14 Desember 2005. 57 mahasiswa/i Semester 7 jurusan DKV (Desain Komunikasi Visual) Universitas Tarumanegara (Untar) mengikuti Ujian Akhir Semester. Mereka menerima selembar soal berisi 3 pertanyaan sederhana dari saya untuk mata kuliah Periklanan II yang harus mereka selesaikan selama 1,5 jam.
Apakah jawaban mereka di atas selembar atau dua lembar kertas kosong tersebut dapat dipakai untuk mengukur tingkat keberhasilan mereka memahami dunia periklanan? Sudah pasti tidak! Bahkan waktu satu semester pun – kurang lebih 12 kali pertemuan setiap Rabu pagi selama 1,5 jam – saya yakin tidak mampu menjamin hal tersebut.
Lalu kenapa saya menerima tawaran untuk jadi dosen di Untar?
Ketika Mas Adiet (Arief Adityawan), kenalan saya yang juga adalah Ketua Jurusan DKV Untar menawarkan, dalam kapasitas sebagai seorang praktisi periklanan, untuk ikut mengajar agar para mahasiswa/i dapat mengenal dunia periklanan langsung dari para pelakunya, saya pikir tidak ada salahnya saya coba. Apalagi saya tak sendiri. Gandhi Suryoto, Creative Director Dentsu; Randy Rinaldi, Creative Director Leo Burnett Kreasindo; Nico Owen, Art Director BBDO dan pemenang Daun Muda Award 2005, juga berhasil ‘dirayu’ oleh Mas Adiet untuk mengajar atau menjadi pembimbing Tugas Akhir di sana.
Tapi setelah saya iyakan, saya malah keder sendiri. Pertama: ini pengalaman pertama saya mengajar. Walau pernah beberapa kali jadi pembicara di seminar atau workshop tentang periklanan, mengajar tentu persoalan berbeda. Kedua: saya ini kuliahnya saja DO alias drop out. Bukan ‘contoh’ yang baik buat para mahasiswa/i. Anehnya di kotak surat ruang dosen saya malah dapat gelar ‘gratisan’: Ricky Pesik, S.Sn. hehehe. Ketiga: saya sama sekali tidak dibekali silabus. Bahkan tujuan memberi kuliah selama satu semester hanya dibekali dengan ucapan: “Terserah Mas Ricky. Mas kan sudah pengalaman di industri ini, tentu tahu apa yang diperlukan oleh mahasiswa/i untuk masuk ke industri ini.” Nah lho! Jadi saja saya tambah keder!
Saya pun coba menduga-duga. Sebagian besar mahasiswa/I tentu masuk DKV karena merasa memiliki bakat atau minat pada urusan gambar-menggambar. Sebagian lagi mungkin hanya ikut-ikutan saja memilih jurusan yang kian popular ini. Sebagiannya lagi, mungkin, pokoknya asal kuliah saja. Menyandang status mahasiwa/i. Dengan asumsi seperti ini saya pikir tidak semua mahasiswa/i akan tertarik untuk masuk ke dunia periklanan. Materi Periklanan apa yang sebaiknya saya sampaikan kepada mereka?
Bila melihat semua materi kuliah di jurusan ini, bejibun mata kuliah siap mengasah ketrampilan teknis mereka untuk urusan visual. Termasuk ketrampilan art direction dan penulisan naskah iklan. Jadi saya putuskan sendiri, sebaiknya saya back to basic. Saya mau mencoba mengajak mereka untuk membiasakan diri berpikir menelusur. Maksudnya, di balik setiap iklan – dari yang canggih, keren, kreatif sampai yang kacangan, butut dan kampungan (mungkin) -- sejatinya terdapat proses panjang yang dapat mengurai pokok-pokok pikiran strategisnya. Dari sana bisa dikenali, dipelajari dan dipahami sistematika berpikirnya. Ujungnya, saya berharap mereka bisa mengerti bahwa setiap iklan itu memerlukan proses berpikir yang tidak ‘kacangan’ untuk sampai ke ide yang hebat. Syukur-syukur, kalau tertarik, berinisiatif untuk mempelajari sendiri lebih dalam tentang proses strategic thinking dan planning. Lebih hebat lagi bila ada 1 atau 2 saja dari mereka yang sanggup menjadikan strategic thinking menjadi semacam ‘way of life’. Keanekaragaman kehidupan manusia sehari-hari akan menjadi tempat melakukan ‘riset’ yang tak ada habis-habisnya untuk digali, dipelajari dan dipahami, bukan?
Makanya, dengan niat seperti itu, saya tidak melihat lagi urgensi dari sebuah ujian formal seperti yang terlihat di foto. Dengan objective di atas, ujian terberat justru akan mereka hadapi di kehidupan sehari-hari. Ujian terberat justru adalah bagaimana mereka menetapkan dan melakoni masa depan mereka dengan sikap yang lebih jelas. Termasuk memutuskan, apakah industri periklanan adalah masa depan mereka atau bukan. Ujian terberat ada di tangan mereka sendiri. Dalam waktu dekat ini.
Apakah jawaban mereka di atas selembar atau dua lembar kertas kosong tersebut dapat dipakai untuk mengukur tingkat keberhasilan mereka memahami dunia periklanan? Sudah pasti tidak! Bahkan waktu satu semester pun – kurang lebih 12 kali pertemuan setiap Rabu pagi selama 1,5 jam – saya yakin tidak mampu menjamin hal tersebut.
Lalu kenapa saya menerima tawaran untuk jadi dosen di Untar?
Ketika Mas Adiet (Arief Adityawan), kenalan saya yang juga adalah Ketua Jurusan DKV Untar menawarkan, dalam kapasitas sebagai seorang praktisi periklanan, untuk ikut mengajar agar para mahasiswa/i dapat mengenal dunia periklanan langsung dari para pelakunya, saya pikir tidak ada salahnya saya coba. Apalagi saya tak sendiri. Gandhi Suryoto, Creative Director Dentsu; Randy Rinaldi, Creative Director Leo Burnett Kreasindo; Nico Owen, Art Director BBDO dan pemenang Daun Muda Award 2005, juga berhasil ‘dirayu’ oleh Mas Adiet untuk mengajar atau menjadi pembimbing Tugas Akhir di sana.
Tapi setelah saya iyakan, saya malah keder sendiri. Pertama: ini pengalaman pertama saya mengajar. Walau pernah beberapa kali jadi pembicara di seminar atau workshop tentang periklanan, mengajar tentu persoalan berbeda. Kedua: saya ini kuliahnya saja DO alias drop out. Bukan ‘contoh’ yang baik buat para mahasiswa/i. Anehnya di kotak surat ruang dosen saya malah dapat gelar ‘gratisan’: Ricky Pesik, S.Sn. hehehe. Ketiga: saya sama sekali tidak dibekali silabus. Bahkan tujuan memberi kuliah selama satu semester hanya dibekali dengan ucapan: “Terserah Mas Ricky. Mas kan sudah pengalaman di industri ini, tentu tahu apa yang diperlukan oleh mahasiswa/i untuk masuk ke industri ini.” Nah lho! Jadi saja saya tambah keder!
Saya pun coba menduga-duga. Sebagian besar mahasiswa/I tentu masuk DKV karena merasa memiliki bakat atau minat pada urusan gambar-menggambar. Sebagian lagi mungkin hanya ikut-ikutan saja memilih jurusan yang kian popular ini. Sebagiannya lagi, mungkin, pokoknya asal kuliah saja. Menyandang status mahasiwa/i. Dengan asumsi seperti ini saya pikir tidak semua mahasiswa/i akan tertarik untuk masuk ke dunia periklanan. Materi Periklanan apa yang sebaiknya saya sampaikan kepada mereka?
Bila melihat semua materi kuliah di jurusan ini, bejibun mata kuliah siap mengasah ketrampilan teknis mereka untuk urusan visual. Termasuk ketrampilan art direction dan penulisan naskah iklan. Jadi saya putuskan sendiri, sebaiknya saya back to basic. Saya mau mencoba mengajak mereka untuk membiasakan diri berpikir menelusur. Maksudnya, di balik setiap iklan – dari yang canggih, keren, kreatif sampai yang kacangan, butut dan kampungan (mungkin) -- sejatinya terdapat proses panjang yang dapat mengurai pokok-pokok pikiran strategisnya. Dari sana bisa dikenali, dipelajari dan dipahami sistematika berpikirnya. Ujungnya, saya berharap mereka bisa mengerti bahwa setiap iklan itu memerlukan proses berpikir yang tidak ‘kacangan’ untuk sampai ke ide yang hebat. Syukur-syukur, kalau tertarik, berinisiatif untuk mempelajari sendiri lebih dalam tentang proses strategic thinking dan planning. Lebih hebat lagi bila ada 1 atau 2 saja dari mereka yang sanggup menjadikan strategic thinking menjadi semacam ‘way of life’. Keanekaragaman kehidupan manusia sehari-hari akan menjadi tempat melakukan ‘riset’ yang tak ada habis-habisnya untuk digali, dipelajari dan dipahami, bukan?
Makanya, dengan niat seperti itu, saya tidak melihat lagi urgensi dari sebuah ujian formal seperti yang terlihat di foto. Dengan objective di atas, ujian terberat justru akan mereka hadapi di kehidupan sehari-hari. Ujian terberat justru adalah bagaimana mereka menetapkan dan melakoni masa depan mereka dengan sikap yang lebih jelas. Termasuk memutuskan, apakah industri periklanan adalah masa depan mereka atau bukan. Ujian terberat ada di tangan mereka sendiri. Dalam waktu dekat ini.
Thursday, December 15, 2005
10 Desember 2005 Tanpa Yap Thiam Hien Award
Setiap tanggal 10 Desember, biasanya saya selalu menemukan tulisan dan berita yang dominan tentang persoalan hak-hak asasi manusia. Juga tentang peraih Yap Thiam Hien Award (YTHA), individu atau lembaga yang dinilai berperan besar dan konsisten dalam upaya penegakan hak-hak asasi manusia (HAM) di Indonesia. Tapi tidak di tahun ini. Kemana berita tentang peraih Yap Thiam Hien Award 2005?
Yap Thiam Hien Award tahun ini ditiadakan! Kepastian itu saya peroleh langsung dari Todung Mulya Lubis, Dewan Pendiri Yayasan Pusat Studi Hak-hak Asasi Manusia (Yapusham) sekaligus Ketua Komite Pengarah kepanitiaan Yap Thiam Hien Award.
Kepada publik, kabar ini disampaikan langsung oleh Bang Mulya, begitu biasa kita memanggil Todung Mulya Lubis, melalui acara konferensi pers di Klub Rasuna Jakarta tanggal 13 Desember kemarin. Intinya Komite Pelaksana menyampaikan bahwa semakin tahun kepedulian dan dukungan masyarakat kepada persoalan HAM semakin susut. Termasuk dukungan dari kalangan dunia usaha. Minimnya dukungan ini membuat YTHA 2005 tidak mungkin diselenggarakan.
Sebagai orang yang pernah mengemban tanggung jawab sebagai Ketua Komite Penyelenggara selama 5 tahun, sebelum resmi mundur dan tidak terlibat sama sekali di tahun 2005 ini, saya hanya bisa terdiam dan tercenung bisu. Hal ini sebenarnya setiap tahun sudah kami khawatirkan akan terjadi. Masalah susutnya dukungan ini, harus diakui, juga tak lepas dari keterbatasan kerja yang berbentuk ad hoc setiap tahunnya. Padahal sebagaimana layaknya sebuah lembaga penghargaan yang kredibel, dibutuhkan kerja penuh untuk mengembangkannya. Di tingkat regional kita bisa belajar dari Magsaysay Award di Filipina. Di tingkat dunia, idealnya seperti anugerah Nobel.
Semua pihak yang terlibat di kepanitiaan bukannya tidak menyadari kelemahan ini. Sudah lama terpikir untuk mendirikan Yayasan Yap Thiam Hien yang akan bekerja sepenuhnya untuk menyelenggarakan sekaligus mengembangkan Yap Thiam Hien Award setiap tahun. Sayangnya, gagasan berdirinya yayasan terus terbentur berbagai kendala, sementara 'kekuatan' kerja kepanitiaan makin tahun makin menyusut. Bisa dimaklumi, mengingat sebagian besar anggota komite pelaksana adalah para karyawan di perusahaan maupun lembaga lain yang relatif bekerja pro bono untuk penyelenggaraan YTHA.
Alhasil, impian untuk mengembangkan YTHA sebagai lembaga yang mengambil peran penting dalam mempromosikan pentingnya penegakan dan perjuangan hak-hak asasi manusia di Indonesia semakin surut ke belakang. Padahal, sejak Soeharto lengser di tahun 1998, YTHA sudah mulai berhasil direposisi untuk menjadi 'ujung tombak' promosi kepedulian terhadap hak-hak asasi manusia dengan approach yang lebih popular ke khalayak yang lebih luas - di luar lingkungan aktivis dan LSM. 'Bibit' ke arah sana sudah mulai ditanam oleh komite pelaksana sejak tahun 2000. Ditandai dengan tampilnya perusahaan swasta sebagai pendukung resmi. Terpilihnya sosok-sosok 'non-aktivis' seperti Wiji Thukul dan Maria Hartiningsih yang dinilai memiliki peran sama besar dalam bidang HAM sebagai peraih YTHA. Melakukan kerjasama tahunan dengan Jakarta International Film Festival (JiFFest) untuk menampilkan film-film bertema hak asasi. Sampai partisipasi para pengusaha, professional, sampai kelompok musik Slank dalam acara penganugerahan YTHA dari tahun ke tahun.
Bila YTHA bisa dianggap sebagai salah satu ikon penting dari kegiatan promosi yang dapat mendorong masyarakat lebih luas untuk makin peduli dan sanggup menumbuhkan komitmen terhadap penegakan hak-hak asasi, sungguh akan menjadi sebuah persoalan besar sebenarnya bagi civil society bila YTHA gagal dipertahankan dan dikembangkan di tahun-tahun selanjutnya.
Inisiatif yang lebih serius untuk segera melembagakan keberadaan YTHA memang harus segera dimulai. Agar ia tidak kembali ke titik nol dan hilang. Keberadaan lembaga resmi yang menaungi YTHA akan menghadirkan sebuah organisasi yang dedicated untuk mengembangkan berbagai program promoting yang penting untuk menjangkau khalayak luas dengan approach yang popular. Dalam jangka panjang, menurut keyakinan saya, ini adalah sebuah tujuan yang sangat penting bagi bangsa ini untuk mengatasi berbagai persoalan pelanggaran hak asasi yang tetap marak bahkan, di tingkat konflik horisontal, cenderung meningkat dan budaya impunitas tidak juga pupus dari kamus penguasa yang ada.
Semoga energi ini belum punah dari sosok-sosok penting seperti Bang Mulya, Rachland Nashidik, dan kawan-kawan lain yang selama ini 'menjaga' keberadaan YTHA dari tahun ke tahun. Pada 10 Desember 2006, mudah-mudahan kita akan melihat YTHA hadir kembali dengan peran yang lebih besar lagi dalam bidang promosi hak-hak asasi manusia.
Saturday, December 10, 2005
‘Oleh-oleh’ dari Pembukaan JiFFest 2005
Jumat malam, 9 Desember ini, JiFFest 2005 resmi dibuka di Graha Bakti Budaya, Taman Ismail Marzuki. Acara utama pembukaan khusus untuk undangan ini memutar film La Grand Voyage karya Ismael Ferroukhi, seorang sineas asal Maroko yang besar di Perancis.
Tentu saja, sebagai kegiatan budaya tahunan di ibukota, pembukaan JiFFest pasti pula dihadiri oleh berbagai kalangan. Termasuk yang kategorinya ‘selebritis’. Utamanya dari kalangan perfilman. Syukurlah JiFFest juga sebuah ajang yang ‘egaliter’, sehingga saya dan banyak undangan lain yang masuk kategori ‘orang biasa’ bisa masuk lewat red carpet juga serta pating seliwer sama bebasnya di tempat acara, he.. he.. he..
Ditemani makanan dan bir gratis yang dihidangkan oleh panitia, undangan bisa menikmati pameran foto-foto pembuatan film layar lebar Indonesia. Dari film Belahan Jiwa, Mirror, Cinta Silver, Ungu Violet yang sudah muncul di bioskop sampai film Berbagi Suami karya Nia Dinata yang akan diputar bulan Maret 2006 dan film Sinta Obong karya Garin Nugroho.
Yang sungguh memikat saya adalah hadirnya 3 poster film Garasi karya Agung Sentausa dari Miles Film (www.garasithemovie.com). Menurut saya poster film Garasi termasuk salah satu poster film Indonesia yang well done. Pameran ini sendiri masih akan berlangsung sampai JiFFest berakhir tanggal 18 Desember nanti. Jadi kalau pengen lihat, datang saja ke Graha Bakti Budaya TIM. Poster-poster film Garasi sendiri terpasang di paling ujung kanan ruang pamer sehingga agak tersembunyi.
Film pembuka JiFFest 2005 sendiri adalah sebuah film yang reflektif tentang hubungan ayah dan anak. Tentang persoalan hubungan antar generasi. Mengambil cerita tentang perjalanan bermobil seorang anak mengantar ayahnya naik haji sejauh 3.000 mil dari Perancis sampai Mekah di Arab Saudi.
Walau bukan tema baru, film ini sangat bagus. Ceritanya, walau berfokus pada ‘perjalanan spiritual’ seorang ayah bersama anaknya yang tidak peduli urusan keimanan, film ini bisa mengalir tanpa ‘ceramah’ dan tanpa ‘kotbah’ sedikitpun. Ironisnya, film ini justru dibuka oleh ‘kotbah’ panjang lebar berupa sambutan Gubernur DKI yang dibacakan oleh utusannya. Tapi ya sudahlah, namanya juga salah satu sponsor utama.
Terakhir, ada ‘oleh-oleh’ memikat satu lagi yang saya temukan di dalam goodie bag Aksara yang dibagikan panitia. Saya menemukan sebuah free magazine bernama Mu-phi. Tampilan logo majalah ini sendiri cukup aneh karena menggunakan tanda ilmu pasti. Sekilas mengesankan sebuah majalah 'eksakta'. Majalah baru yang diterbitkan oleh PT JDC Sukses Kreasimax ini, menurut pengantar editorialnya, akan memfokuskan diri pada film-film ‘festival’. Saya sendiri tidak menemukan nama ‘seleb’ perfilman di daftar redaksinya. Menarik sekali ada orang-orang yang sungguh ‘bernyali’ memodali sebuah majalah gratisan dengan konsep editorial yang begitu fokus. Dari penyajian yang sangat rapi, terlihat penggagas dan tim yang mengerjakan menguasai sekali perkembangan JiFFest dari tahun ke tahun. Semoga para penonton JiFFest bisa mendapatkan majalahnya di sepanjang acara. Dan semoga juga Mu-phi bisa bernafas panjang.
Tentu saja, sebagai kegiatan budaya tahunan di ibukota, pembukaan JiFFest pasti pula dihadiri oleh berbagai kalangan. Termasuk yang kategorinya ‘selebritis’. Utamanya dari kalangan perfilman. Syukurlah JiFFest juga sebuah ajang yang ‘egaliter’, sehingga saya dan banyak undangan lain yang masuk kategori ‘orang biasa’ bisa masuk lewat red carpet juga serta pating seliwer sama bebasnya di tempat acara, he.. he.. he..
Ditemani makanan dan bir gratis yang dihidangkan oleh panitia, undangan bisa menikmati pameran foto-foto pembuatan film layar lebar Indonesia. Dari film Belahan Jiwa, Mirror, Cinta Silver, Ungu Violet yang sudah muncul di bioskop sampai film Berbagi Suami karya Nia Dinata yang akan diputar bulan Maret 2006 dan film Sinta Obong karya Garin Nugroho.
Yang sungguh memikat saya adalah hadirnya 3 poster film Garasi karya Agung Sentausa dari Miles Film (www.garasithemovie.com). Menurut saya poster film Garasi termasuk salah satu poster film Indonesia yang well done. Pameran ini sendiri masih akan berlangsung sampai JiFFest berakhir tanggal 18 Desember nanti. Jadi kalau pengen lihat, datang saja ke Graha Bakti Budaya TIM. Poster-poster film Garasi sendiri terpasang di paling ujung kanan ruang pamer sehingga agak tersembunyi.
Film pembuka JiFFest 2005 sendiri adalah sebuah film yang reflektif tentang hubungan ayah dan anak. Tentang persoalan hubungan antar generasi. Mengambil cerita tentang perjalanan bermobil seorang anak mengantar ayahnya naik haji sejauh 3.000 mil dari Perancis sampai Mekah di Arab Saudi.
Walau bukan tema baru, film ini sangat bagus. Ceritanya, walau berfokus pada ‘perjalanan spiritual’ seorang ayah bersama anaknya yang tidak peduli urusan keimanan, film ini bisa mengalir tanpa ‘ceramah’ dan tanpa ‘kotbah’ sedikitpun. Ironisnya, film ini justru dibuka oleh ‘kotbah’ panjang lebar berupa sambutan Gubernur DKI yang dibacakan oleh utusannya. Tapi ya sudahlah, namanya juga salah satu sponsor utama.
Terakhir, ada ‘oleh-oleh’ memikat satu lagi yang saya temukan di dalam goodie bag Aksara yang dibagikan panitia. Saya menemukan sebuah free magazine bernama Mu-phi. Tampilan logo majalah ini sendiri cukup aneh karena menggunakan tanda ilmu pasti. Sekilas mengesankan sebuah majalah 'eksakta'. Majalah baru yang diterbitkan oleh PT JDC Sukses Kreasimax ini, menurut pengantar editorialnya, akan memfokuskan diri pada film-film ‘festival’. Saya sendiri tidak menemukan nama ‘seleb’ perfilman di daftar redaksinya. Menarik sekali ada orang-orang yang sungguh ‘bernyali’ memodali sebuah majalah gratisan dengan konsep editorial yang begitu fokus. Dari penyajian yang sangat rapi, terlihat penggagas dan tim yang mengerjakan menguasai sekali perkembangan JiFFest dari tahun ke tahun. Semoga para penonton JiFFest bisa mendapatkan majalahnya di sepanjang acara. Dan semoga juga Mu-phi bisa bernafas panjang.
Saturday, December 03, 2005
JiFFest Tidak Hanya Putar Film
Di atrium Plasa Senayan, Jumat, Sabtu dan Minggu ini (2-4 Desember) ada JiFFest Film Music in Concert. Berturut-turut menyajikan musisi Dwiki Dharmawan, Thoersi Argeswara dan Jaya Suprana ‘berkolaborasi’ dengan 3 film bisu klasik hitam putih berjudul The Cameraman, Steamboat Bill Jr dan The General. Ketiganya dibintangi oleh Buster Keaton.
Konser ini tentu bukan konser berformat serius macam pertunjukan orkestra. Tempatnya saja di atrium sebuah mal kelas menengah atas yang terbuka. Bagi pengunjung mal, konser ini tak ubahnya seperti rekreasi. Pertunjukan berlangsung dengan santai. Ada anak-anak yang lari kesana kemari. Kadang mendekati musisi dengan rasa ingin tahu yang besar. Ada yang terbahak-bahak menikmati film yang penuh dengan adegan slapstik, khas film bisu hitam putih jaman dulu. Ada yang duduk rapi jali dan mencoba serius mengapresiasi interpretasi sang musisi terhadap film. Ada yang sambil ngobrol dengan kawan-kawannya. Ada yang menonton sambil berdiri di lantai atas. Ada yang cuma lewat, tengok-tengok sebentar, lalu berlalu entah untuk shopping maupun kongkow di kafe. Semuanya sah-sah saja. Namanya juga pertunjukan terbuka.
Hari Sabtu, tanggal 3 Desember, saya sempat menikmati sepotong penampilan Thoersi untuk film Steamboat Bill Jr yang tampil bersama 2 rekan musisi. Kurang lebih separuh pertunjukan di bagian tengah. Terus terang saya bukan orang yang paham untuk mengulas pertunjukan macam begini. Secara subyektif, saya menikmati saja. Menurut saya, pertunjukan ini menarik dan gagasannya ‘original’ karena dibawa ke tengah area publik yang tidak datang dengan sengaja untuk menikmati pertunjukan (tentu berbeda dengan konser Addie MS dengan Twilite Orchestra untuk film-film karya Teguh Karya dan Star Wars baru-baru ini). Saya sendiri tidak bisa mengapresiasi dengan canggih sebagus apa Thoersi menginterpretasi film tersebut dengan komposisinya. Yang jelas, kuping saya kadang menangkap sang musisi seolah-olah sedang ber-jam session dengan visual di layar. Terkadang, di bagian tertentu, saya seolah mendengar musisi membuat film scoring baru yang menghidupkan adegan di layar. Enak dan ringan untuk dinikmati sih buat saya.
Kalau ada kelemahan pada pertunjukan ini adalah proyeksi film di layar yang tidak tajam. Wajar saja karena proyeksi ke layar harus melawan lampu terang Plasa Senayan yang tentu tidak bisa dimatikan macam di bioskop. Tapi namanya sebuah pertunjukan rekreasi, tentu bisa dimaklumi. Kekurangan lain, menurut saya, untuk pertunjukan semenarik ini, dukungan promosi khusus untuk acara ini sendiri terasa minim. Seingat saya hanya orang-orang yang sudah membaca buku program JiFFest atau membuka website JiFFest yang mendapat informasi tentang acara ini. Itupun kalau membacanya secara lengkap.
Ini adalah tahun kedua JiFFest menghadirkan Film Music in Concert. Keduanya di Plasa Senayan. Bagi pengunjung Plasa Senayan, berarti publik kelas menengah atas Jakarta, ini tentu alternatif hiburan yang menyegarkan. Gratis pula. Kalau mau nonton, masih ada kesempatan hari Minggu ini menikmati ‘kolaborasi’ Jaya Suprana dengan film berjudul The General. Kalau kelewatan waktunya, mudah-mudahan JiFFest Film Music in Concert masih akan datang di tahun-tahun mendatang buat anda. Semoga saja.
Konser ini tentu bukan konser berformat serius macam pertunjukan orkestra. Tempatnya saja di atrium sebuah mal kelas menengah atas yang terbuka. Bagi pengunjung mal, konser ini tak ubahnya seperti rekreasi. Pertunjukan berlangsung dengan santai. Ada anak-anak yang lari kesana kemari. Kadang mendekati musisi dengan rasa ingin tahu yang besar. Ada yang terbahak-bahak menikmati film yang penuh dengan adegan slapstik, khas film bisu hitam putih jaman dulu. Ada yang duduk rapi jali dan mencoba serius mengapresiasi interpretasi sang musisi terhadap film. Ada yang sambil ngobrol dengan kawan-kawannya. Ada yang menonton sambil berdiri di lantai atas. Ada yang cuma lewat, tengok-tengok sebentar, lalu berlalu entah untuk shopping maupun kongkow di kafe. Semuanya sah-sah saja. Namanya juga pertunjukan terbuka.
Hari Sabtu, tanggal 3 Desember, saya sempat menikmati sepotong penampilan Thoersi untuk film Steamboat Bill Jr yang tampil bersama 2 rekan musisi. Kurang lebih separuh pertunjukan di bagian tengah. Terus terang saya bukan orang yang paham untuk mengulas pertunjukan macam begini. Secara subyektif, saya menikmati saja. Menurut saya, pertunjukan ini menarik dan gagasannya ‘original’ karena dibawa ke tengah area publik yang tidak datang dengan sengaja untuk menikmati pertunjukan (tentu berbeda dengan konser Addie MS dengan Twilite Orchestra untuk film-film karya Teguh Karya dan Star Wars baru-baru ini). Saya sendiri tidak bisa mengapresiasi dengan canggih sebagus apa Thoersi menginterpretasi film tersebut dengan komposisinya. Yang jelas, kuping saya kadang menangkap sang musisi seolah-olah sedang ber-jam session dengan visual di layar. Terkadang, di bagian tertentu, saya seolah mendengar musisi membuat film scoring baru yang menghidupkan adegan di layar. Enak dan ringan untuk dinikmati sih buat saya.
Kalau ada kelemahan pada pertunjukan ini adalah proyeksi film di layar yang tidak tajam. Wajar saja karena proyeksi ke layar harus melawan lampu terang Plasa Senayan yang tentu tidak bisa dimatikan macam di bioskop. Tapi namanya sebuah pertunjukan rekreasi, tentu bisa dimaklumi. Kekurangan lain, menurut saya, untuk pertunjukan semenarik ini, dukungan promosi khusus untuk acara ini sendiri terasa minim. Seingat saya hanya orang-orang yang sudah membaca buku program JiFFest atau membuka website JiFFest yang mendapat informasi tentang acara ini. Itupun kalau membacanya secara lengkap.
Ini adalah tahun kedua JiFFest menghadirkan Film Music in Concert. Keduanya di Plasa Senayan. Bagi pengunjung Plasa Senayan, berarti publik kelas menengah atas Jakarta, ini tentu alternatif hiburan yang menyegarkan. Gratis pula. Kalau mau nonton, masih ada kesempatan hari Minggu ini menikmati ‘kolaborasi’ Jaya Suprana dengan film berjudul The General. Kalau kelewatan waktunya, mudah-mudahan JiFFest Film Music in Concert masih akan datang di tahun-tahun mendatang buat anda. Semoga saja.
Tuesday, November 29, 2005
JiFFest Datang Lagi
Jakarta International Film Festival (JiFFest) datang lagi. Tapi saya bukan mau cerita soal film-film yang bakal diputar. Soal itu, tengok saja blognya Totot Indrarto (www.pakde.com), sahabat sekaligus sejawat kantor saya yang terkenal fasih sekali bicara tentang film. Atau kalau mau lihat film-film dan jadwal langsung saja klik ke www.jiffest.org
Di tulisan ini, saya ingin mengungkap sedikit pandangan tentang problem JiFFest yang muncul di harian Kompas tanggal 27 November 2005 dengan tajuk “JIFFest menuju Antiklimaks”. JiFFest 2005 (9 - 18 Desember 2005) yang sudah memasuki tahun ke 7 ini kelihatan tidak jadi lebih mudah, walaupun untuk tahun ini akan menjadi kegiatan terbesar yang pernah diselenggarakan.
Saya termasuk orang yang beruntung punya pengetahuan sedikit lebih tentang penyelenggaraan JiFFest. Pertama, karena selama 3 tahun, Yap Thiam Hien Award (YTHA) – sebuah lembaga yang memberi penghargaan tahunan kepada individu maupun institusi yang dinilai berperan besar dalam bidang penegakan hak-hak asasi manusia di Indonesia -- pernah menjadi mitra strategis JiFFest untuk section film-film Human Rights (2002-2004). Di YTHA saya pernah menjadi Ketua Komite Pelaksana selama 5 tahun (mulai tahun ini tidak lagi terlibat). Kedua, Penny, isteri saya, bekerja di Yayasan Masyarakat Mandiri Film Indonesia (YMMFI) yang menaungi kegiatan JiFFest. Penny di JiFFest 2005 menjadi Operational Manager. Jadi, sedikit-sedikit saya mengikuti keluh kesah mereka kerja berjibaku menyiapkan JiFFest dari tahun ke tahun.
Seperti diungkap Orlow Seunke (Director) maupun Shanty Harmayn (Chairman) kepada Kompas, problem mendasar JiFFest adalah upaya penggalangan dana, baik dari institusi maupun sponsor, selalu harus dimulai dari nol setiap tahun. Berbeda sekali dengan penyelenggara film festival di manca negara seperti Singapore, Bangkok, Pusan, dan lain-lain yang sudah memiliki dukungan dana yang tetap dari otoritas pemerintah terkait sehingga bisa berkonsentrasi menyiapkan kegiatan festival yang mumpuni, penyelenggara JiFFest ternyata harus berjibaku mencari dukungan dana setiap tahun. Sepanjang penglihatan saya, hal ini sangat menyita waktu terbesar dari aktivitas panitia. Fakta yang tidak aneh, karena selama 5 tahun terlibat dalam kepanitiaan penyelenggaraan YTHA, saya juga menghadapi problem serupa. Hanya porsinya saja yang lebih kecil.
Selain tidak adanya dukungan dana yang signifikan dari pemerintah, salah satu titik pangkal adalah juga persoalan kompensasi nilai komersial yang dituntut pihak sponsor kepada panitia. Setiap sponsor, dengan kerangka berpikir bisnis belaka seperti layaknya menyelenggarakan sebuah below the line akan melakukan negosiasi ‘dagang’, membayar sekecil-kecilnya untuk mendapat sebesar-besarnya. Sementara JiFFest, yang sejatinya punya sasaran jangka panjang untuk menempatkan Jakarta dalam peta perfilman dunia sekaligus menjadi alternatif bagi masyarakat untuk mengapresiasi kekayaan budaya dari berbagai belahan dunia melalui media film, hampir tak mungkin hidup dengan metode ‘dagang’ model begitu.
JiFFest, sebagai sebuah film festival yang masuk dalam agenda festival-festival film dunia, harus mengalokasikan dana yang besar untuk membayar royalti film-film yang diputar. Dengan biaya mencapai kurang lebih 500 sampai 1500 euro per film untuk 3-4 kali screening (beberapa film bahkan hanya 1-2 kali screening), panitia jelas menerapkan subsidi bagi para penonton yang hanya membayar tiket 10.000 – 20.000 rupiah. Belum lagi biaya mendatangkan dan mengembalikan setiap film yang dipinjam. Belum juga biaya kerja kepanitiaan yang melibatkan lebih dari 100 tenaga relawan lepas dalam setiap penyelenggaraan. Bila setiap sponsor menuntut bentuk manfaat komersial yang mereka peroleh vis-à-vis dengan dana yang mereka berikan, darimana mereka memperoleh biaya untuk mendatangkan dan menyelenggarakan festival? Memang selama ini JiFFest juga mendapat dukungan dari lembaga donor asing (ironisnya komitmen terbesar dan kontinyu justru diperoleh JiFFest dari mereka), namun ini sungguh kondisi yang tidak ideal untuk jangka panjang. Ataukah memang kegiatan semacam ini take it for granted hanya bisa berjalan di Indonesia bila mendapat dukungan penuh dari donor asing? Betapa ironisnya…
Tapi, bila masih ada harapan, sejatinya penyelenggaraan kegiatan sosial atau kultural macam ini tidak bisa dilihat oleh para sponsor dalam kerangka keuntungan pemasaran semata-mata. Ajang semacam JiFFest, YTHA dan lainnya selayaknya didukung dalam kerangka program Corporate Social Responsibility (CSR), sebuah istilah yang kini sedang digandrungi oleh banyak perusahaan tapi pada kenyataannya masih diterapkan setengah hati.
Di negara-negara maju dan berkesadaran untuk maju, kegiatan sosial dan kultural semacam JiFFest memang selalu menjadi agenda penting pemerintah/negara. Sementara pihak swasta umumnya mendukung dalam bentuk CSR. Komitmen dukungan juga bersifat jangka panjang karena mereka menyadari sepenuhnya hasil yang dicapai tidak akan terlihat dalam waktu singkat dan lebih bersifat intangible. Namun ujung dari semua hasil akan sangat berarti bagi kemajuan peradaban masyarakat dan bangsa itu sendiri. Kemajuan peradaban masyarakat tentu akan lebih memudahkan terjadinya peningkatan dan pemerataan kesejahteraan sehingga pada akhirnya membawa manfaat kepada para pendukungnya, baik pemerintah maupun perusahaan.
Sayangnya, komitmen seperti inilah yang belum diperoleh oleh JiFFest setelah mereka bergelut selama 7 tahun. Saya yakin pasti sangat melelahkan buat mereka. Tak heran bila Orlow Seunke, yang saya dengar punya enerji ekstra besar dan persistensi yang luar biasa untuk menjadikan JiFFest sebagai festival penting di peta dunia, dengan muka lelah dan agak frustasi mengatakan tahun depan akan mengundurkan diri sebagai Direktur JiFFest.
Saya jadi khawatir, masihkah kita bisa menikmati JiFFest di tahun-tahun mendatang bila kondisinya masih seperti ini? Bila orang sekaliber Orlow -- yang telah berjibaku mati-matian untuk meyakinkan ratusan pihak dengan segenap pikiran, tenaga dan waktunya – merasa frustasi dan tidak bisa melihat ‘titik terang’ di depan, bagaimana dengan kita yang notabene hanyalah sekedar para penonton setia JiFFest?
Kekhawatiran ini sempat membuat saya berangan-angan, apakah mungkin puluhan ribu penonton setia JiFFest selama ini yang tetap ingin JiFFest datang terus setiap tahun – ramai-ramai menandatangani semacam petisi untuk diajukan ke pihak Departemen Kebudayaan dan Pariwisata maupun Pemerintah Daerah DKI Jakarta menuntut mereka memastikan dukungan dan keberlangsungan JiFFest setiap tahun? Ah sudahlah, namanya juga cuma angan-angan. Memangnya akan didengar dan diperhatikan juga bila 'segelintir' penonton JiFFest menuntut seperti itu? Jangan-jangan nanti malah dituduh 'kenes' dan 'genit' pula, hahaha
Atau memang tidak perlu kita pusingkan. Ada JiFFest kita senang. Tidak ada, ya tidak apa-apa, toh hidup kita bakal baik-baik saja. Jakarta masih akan tetap berkembang. Masih banyak mal yang akan dibangun. Masih banyak trade center yang akan berdiri. Masih banyak patung pahlawan yang sedang dibuat. Masih banyak taman yang sedang dipercantik. Dan masih banyak lain-lainnya yang membutuhkan biaya jauh berlipat-lipat daripada 'sekedar' sebuah festival film…
Sekarang mumpung JiFFest datang lagi, mari kita nonton. Menjadi penonton toh juga merupakan bagian dari dukungan kita terhadap eksistensi JiFFest. Siapa tahu otoritas yang seharusnya berkepentingan lalu jadi mudheng, kalau warga Jakarta juga memerlukan kegiatan semacam JiFFest sehingga mereka mau mendukung JiFFest setiap tahun dengan dana yang lebih pantas. Siapa tahu kan? Kalau ya, kan kita bisa menikmati film-film berkualitas dengan lebih banyak lagi. Untung kan? he..he..he..
Di tulisan ini, saya ingin mengungkap sedikit pandangan tentang problem JiFFest yang muncul di harian Kompas tanggal 27 November 2005 dengan tajuk “JIFFest menuju Antiklimaks”. JiFFest 2005 (9 - 18 Desember 2005) yang sudah memasuki tahun ke 7 ini kelihatan tidak jadi lebih mudah, walaupun untuk tahun ini akan menjadi kegiatan terbesar yang pernah diselenggarakan.
Saya termasuk orang yang beruntung punya pengetahuan sedikit lebih tentang penyelenggaraan JiFFest. Pertama, karena selama 3 tahun, Yap Thiam Hien Award (YTHA) – sebuah lembaga yang memberi penghargaan tahunan kepada individu maupun institusi yang dinilai berperan besar dalam bidang penegakan hak-hak asasi manusia di Indonesia -- pernah menjadi mitra strategis JiFFest untuk section film-film Human Rights (2002-2004). Di YTHA saya pernah menjadi Ketua Komite Pelaksana selama 5 tahun (mulai tahun ini tidak lagi terlibat). Kedua, Penny, isteri saya, bekerja di Yayasan Masyarakat Mandiri Film Indonesia (YMMFI) yang menaungi kegiatan JiFFest. Penny di JiFFest 2005 menjadi Operational Manager. Jadi, sedikit-sedikit saya mengikuti keluh kesah mereka kerja berjibaku menyiapkan JiFFest dari tahun ke tahun.
Seperti diungkap Orlow Seunke (Director) maupun Shanty Harmayn (Chairman) kepada Kompas, problem mendasar JiFFest adalah upaya penggalangan dana, baik dari institusi maupun sponsor, selalu harus dimulai dari nol setiap tahun. Berbeda sekali dengan penyelenggara film festival di manca negara seperti Singapore, Bangkok, Pusan, dan lain-lain yang sudah memiliki dukungan dana yang tetap dari otoritas pemerintah terkait sehingga bisa berkonsentrasi menyiapkan kegiatan festival yang mumpuni, penyelenggara JiFFest ternyata harus berjibaku mencari dukungan dana setiap tahun. Sepanjang penglihatan saya, hal ini sangat menyita waktu terbesar dari aktivitas panitia. Fakta yang tidak aneh, karena selama 5 tahun terlibat dalam kepanitiaan penyelenggaraan YTHA, saya juga menghadapi problem serupa. Hanya porsinya saja yang lebih kecil.
Selain tidak adanya dukungan dana yang signifikan dari pemerintah, salah satu titik pangkal adalah juga persoalan kompensasi nilai komersial yang dituntut pihak sponsor kepada panitia. Setiap sponsor, dengan kerangka berpikir bisnis belaka seperti layaknya menyelenggarakan sebuah below the line akan melakukan negosiasi ‘dagang’, membayar sekecil-kecilnya untuk mendapat sebesar-besarnya. Sementara JiFFest, yang sejatinya punya sasaran jangka panjang untuk menempatkan Jakarta dalam peta perfilman dunia sekaligus menjadi alternatif bagi masyarakat untuk mengapresiasi kekayaan budaya dari berbagai belahan dunia melalui media film, hampir tak mungkin hidup dengan metode ‘dagang’ model begitu.
JiFFest, sebagai sebuah film festival yang masuk dalam agenda festival-festival film dunia, harus mengalokasikan dana yang besar untuk membayar royalti film-film yang diputar. Dengan biaya mencapai kurang lebih 500 sampai 1500 euro per film untuk 3-4 kali screening (beberapa film bahkan hanya 1-2 kali screening), panitia jelas menerapkan subsidi bagi para penonton yang hanya membayar tiket 10.000 – 20.000 rupiah. Belum lagi biaya mendatangkan dan mengembalikan setiap film yang dipinjam. Belum juga biaya kerja kepanitiaan yang melibatkan lebih dari 100 tenaga relawan lepas dalam setiap penyelenggaraan. Bila setiap sponsor menuntut bentuk manfaat komersial yang mereka peroleh vis-à-vis dengan dana yang mereka berikan, darimana mereka memperoleh biaya untuk mendatangkan dan menyelenggarakan festival? Memang selama ini JiFFest juga mendapat dukungan dari lembaga donor asing (ironisnya komitmen terbesar dan kontinyu justru diperoleh JiFFest dari mereka), namun ini sungguh kondisi yang tidak ideal untuk jangka panjang. Ataukah memang kegiatan semacam ini take it for granted hanya bisa berjalan di Indonesia bila mendapat dukungan penuh dari donor asing? Betapa ironisnya…
Tapi, bila masih ada harapan, sejatinya penyelenggaraan kegiatan sosial atau kultural macam ini tidak bisa dilihat oleh para sponsor dalam kerangka keuntungan pemasaran semata-mata. Ajang semacam JiFFest, YTHA dan lainnya selayaknya didukung dalam kerangka program Corporate Social Responsibility (CSR), sebuah istilah yang kini sedang digandrungi oleh banyak perusahaan tapi pada kenyataannya masih diterapkan setengah hati.
Di negara-negara maju dan berkesadaran untuk maju, kegiatan sosial dan kultural semacam JiFFest memang selalu menjadi agenda penting pemerintah/negara. Sementara pihak swasta umumnya mendukung dalam bentuk CSR. Komitmen dukungan juga bersifat jangka panjang karena mereka menyadari sepenuhnya hasil yang dicapai tidak akan terlihat dalam waktu singkat dan lebih bersifat intangible. Namun ujung dari semua hasil akan sangat berarti bagi kemajuan peradaban masyarakat dan bangsa itu sendiri. Kemajuan peradaban masyarakat tentu akan lebih memudahkan terjadinya peningkatan dan pemerataan kesejahteraan sehingga pada akhirnya membawa manfaat kepada para pendukungnya, baik pemerintah maupun perusahaan.
Sayangnya, komitmen seperti inilah yang belum diperoleh oleh JiFFest setelah mereka bergelut selama 7 tahun. Saya yakin pasti sangat melelahkan buat mereka. Tak heran bila Orlow Seunke, yang saya dengar punya enerji ekstra besar dan persistensi yang luar biasa untuk menjadikan JiFFest sebagai festival penting di peta dunia, dengan muka lelah dan agak frustasi mengatakan tahun depan akan mengundurkan diri sebagai Direktur JiFFest.
Saya jadi khawatir, masihkah kita bisa menikmati JiFFest di tahun-tahun mendatang bila kondisinya masih seperti ini? Bila orang sekaliber Orlow -- yang telah berjibaku mati-matian untuk meyakinkan ratusan pihak dengan segenap pikiran, tenaga dan waktunya – merasa frustasi dan tidak bisa melihat ‘titik terang’ di depan, bagaimana dengan kita yang notabene hanyalah sekedar para penonton setia JiFFest?
Kekhawatiran ini sempat membuat saya berangan-angan, apakah mungkin puluhan ribu penonton setia JiFFest selama ini yang tetap ingin JiFFest datang terus setiap tahun – ramai-ramai menandatangani semacam petisi untuk diajukan ke pihak Departemen Kebudayaan dan Pariwisata maupun Pemerintah Daerah DKI Jakarta menuntut mereka memastikan dukungan dan keberlangsungan JiFFest setiap tahun? Ah sudahlah, namanya juga cuma angan-angan. Memangnya akan didengar dan diperhatikan juga bila 'segelintir' penonton JiFFest menuntut seperti itu? Jangan-jangan nanti malah dituduh 'kenes' dan 'genit' pula, hahaha
Atau memang tidak perlu kita pusingkan. Ada JiFFest kita senang. Tidak ada, ya tidak apa-apa, toh hidup kita bakal baik-baik saja. Jakarta masih akan tetap berkembang. Masih banyak mal yang akan dibangun. Masih banyak trade center yang akan berdiri. Masih banyak patung pahlawan yang sedang dibuat. Masih banyak taman yang sedang dipercantik. Dan masih banyak lain-lainnya yang membutuhkan biaya jauh berlipat-lipat daripada 'sekedar' sebuah festival film…
Sekarang mumpung JiFFest datang lagi, mari kita nonton. Menjadi penonton toh juga merupakan bagian dari dukungan kita terhadap eksistensi JiFFest. Siapa tahu otoritas yang seharusnya berkepentingan lalu jadi mudheng, kalau warga Jakarta juga memerlukan kegiatan semacam JiFFest sehingga mereka mau mendukung JiFFest setiap tahun dengan dana yang lebih pantas. Siapa tahu kan? Kalau ya, kan kita bisa menikmati film-film berkualitas dengan lebih banyak lagi. Untung kan? he..he..he..
Wednesday, November 23, 2005
'Sogo Jongkok' Parking
Sudah lama saya penasaran dengan mobil-mobil yang sering parkir di jalan antara Hotel Indonesia dan Hotel Wisata (sekarang Hotel Wisata sudah rata dengan tanah dan Hotel Indonesia separuhnya juga sudah bablas. Di kawasan ini sedang dibangun kompleks baru bernama Grand Indonesia). Di pinggir jalan tersebut, yang bukan kawasan parkir, kerap saya lihat puluhan mobil parkir. Mobilnya pun macam-macam. Saya bahkan sering melihat mobil Jaguar, Mercedes terbaru, BMW anyar sampai Range Rover Vouge yang gagah parkir di pinggir sana. Kenapa mereka parkir di sana?
Kemungkinan pertama: supir-supir mencari makan di warung-warung di sekitar situ, sementara bosnya sedang berada di Plaza Indonesia (PI). Anehnya, saya sering lihat mobil tersebut berjam-jam parkir di situ. Berarti si supir selesai makan tidak memarkir mobilnya ke dalam Plaza Indonesia.
Kemungkinan kedua: Selain mencari makan (maupun tidak), supir-supir itu sengaja tidak parkir di PI untuk menghemat uang parkir. Kalau bosnya punya acara sampai 5 jam di sana, berarti si supir berhasil menghemat 8.000 perak (uang parkir 5 jam di PI dikurangi 2.000 perak untuk 'jatah preman' di sana). Uang hasil penghematan boleh dikantongi oleh si supir. Syukurlah kalau begitu. Lumayan kalau bosnya tiap hari meeting/belanja/kongkow di PI. Moga-moga ini dugaan paling betul.
Kemungkinan ketiga: Si supir menjalankan perintah bosnya untuk parkir di sana guna menghemat uang parkir. Tapi hasil penghematan tidak dinikmati si supir. Walau saya tidak mau berpikiran sinis, tapi bukan tidak mungkin kemungkinan tersebut ada. Betapa keterlaluannya. Jangan-jangan benar guyonan yang bilang kalau mau kaya harus pelit. Tapi ya masa sampai musti sepelit itu ya? Wong mobilnya aja milyaran. Kalau benar, edan juga.
Kapan-kapan kepingin nongkrong di warung sana dan ngobrol sama supir-supir sambil 'investigasi' ah!
Kemungkinan pertama: supir-supir mencari makan di warung-warung di sekitar situ, sementara bosnya sedang berada di Plaza Indonesia (PI). Anehnya, saya sering lihat mobil tersebut berjam-jam parkir di situ. Berarti si supir selesai makan tidak memarkir mobilnya ke dalam Plaza Indonesia.
Kemungkinan kedua: Selain mencari makan (maupun tidak), supir-supir itu sengaja tidak parkir di PI untuk menghemat uang parkir. Kalau bosnya punya acara sampai 5 jam di sana, berarti si supir berhasil menghemat 8.000 perak (uang parkir 5 jam di PI dikurangi 2.000 perak untuk 'jatah preman' di sana). Uang hasil penghematan boleh dikantongi oleh si supir. Syukurlah kalau begitu. Lumayan kalau bosnya tiap hari meeting/belanja/kongkow di PI. Moga-moga ini dugaan paling betul.
Kemungkinan ketiga: Si supir menjalankan perintah bosnya untuk parkir di sana guna menghemat uang parkir. Tapi hasil penghematan tidak dinikmati si supir. Walau saya tidak mau berpikiran sinis, tapi bukan tidak mungkin kemungkinan tersebut ada. Betapa keterlaluannya. Jangan-jangan benar guyonan yang bilang kalau mau kaya harus pelit. Tapi ya masa sampai musti sepelit itu ya? Wong mobilnya aja milyaran. Kalau benar, edan juga.
Kapan-kapan kepingin nongkrong di warung sana dan ngobrol sama supir-supir sambil 'investigasi' ah!
Tuesday, November 22, 2005
Dibuat 1994, Favorit 2005
Tanggal 30 September 2005 lalu, di milis para alumni Satucitra, Zaenul Muchtadien alumni Satucitra yang sekarang jadi Media Director di Hotline Advertising, memposting pesan berikut:
Kemarin saya datang ke acara 3rd Elshinta Award 2005 ternyata
Radio Alam Sutera (jingle ‘Armand Maulana’) - raih Elshinta award - iklan yang disukai pendengar.
Selamat buat Pak Ricky, dkk
Zainul M
Jingle tersebut dibuat oleh Satucitra pada tahun 1994. Pada saat itu saya copywriternya. Komposernya Doti Nugroho (Twodees) yang dikenal sebagai seorang musisi bertangan dingin yang banyak melahirkan jingle populer. Kliennya adalah Argo Manunggal Group, pemilik lahan 700 hektar lebih di kawasan Serpong yang bermaksud membangun sebuah pemukiman modern baru berkonsep Residential & Lifestyle Community. Rancangan pemukiman dibuat oleh sebuah perusahaan urban planning ternama dari Amerika Serikat, sedangkan logonya dibuat oleh sebuah biro desain Australia. Saat ini Alam Sutera sendiri bukan lagi klien Satucitra. Setelah ditangani lebih dari 7 tahun, mereka hijrah ke biro iklan lain. Kabarnya sekarang ditangani oleh Gama Ad.
“If you have nothing to say, sing it!” Itulah nasehat legendaris dari nabi periklanan modern David Ogilvy di buku Ogilvy On Advertising. Sebuah kredo yang diamini oleh banyak sekali pekerja kreatif hingga hari ini.
Lalu, apakah jingle Alam Sutera juga bias dibilang mengikuti kredonya Ogilvy? Tidak sepenuhnya benar. Di masa itu, ketika ibukota Jakarta booming dengan real estate baru, pilihan media massa favorit adalah iklan cetak di surat kabar (khususnya harian Kompas) dan radio. Pada saat itu, untuk iklan radio real estate, jingle jadi semacam mandatory (kewajiban). Biasanya dibuat dalam pola ‘donat’ alias ada ruang kosong di tengah tanpa suara penyanyi yang nantinya mudah diisi voice over yang menyampaikan berbagai program atau kegiatan dari real estate tersebut.
Konsep Residential & Lifestyle Community yang tertuang dalam masterplan Alam Sutera sendiri sesungguhnya memiliki banyak hal menarik, utamanya pada masa tersebut, untuk dikatakan. Desain pemukiman yang mengacu pada salah satu model perumahan terbaik di Los Angeles ini bahkan mengantar sejumlah tim untuk melakukan photosession ke Los Angeles langsung. Enin Supriyanto (Creative Director), Ima Susanti (Art Director) dan Joyce Tenardhi (Account Manager) yang menangani kampanye berangkat bersama tim fotografer Lee Japp ke sana untuk pengambilan gambar. Sebuah ‘kemewahan’ yang mungkin takkan terulang untuk sebuah kampanye periklanan perumahan di masa sekarang. Sayangnya, kampanye iklan hasil pemotretan di sana nasibnya hanya jadi ‘pajangan’ di kantor pemasaran. Apa yang terjadi? Sebuah iklan launching 1 halaman yang hanya memuat ilustrasi masterplan di harian Kompas membuat seluruh rumah yang tersedia habis terjual dalam waktu satu minggu. Seperti biasa, khas real estate, kegiatan periklanan pun harus dihentikan karena tidak ada lagi yang mau dijual.
Kembali ke urusan jingle yang meraih Elshinta Award 2005 ini. Saya sendiri tidak menduga jingle tersebut masih popular hingga sekarang. Pada saat diputar di berbagai radio di Jakarta tahun 1994, jingle ini cukup popular di kalangan pendengar radio. Walau tidak memenangkan award apa pun pada saat itu, saya berani bilang dengan pede bahwa jingle ini dikenali dan disukai banyak orang. Menariknya, jingle yang disukai pendengar ini ternyata bukan pilihan utama Satucitra dan Twodees pada saat itu. Ini adalah jingle kedua. Jingle yang pertama dan sekaligus unggulan dinyanyikan oleh Oppie. Dibuat dengan mood yang lebih personal dan kontemplatif. Karakternya jauh lebih kuat. Klien bukannya tidak menyukai. Hanya mereka juga ingin menampilkan suasana yang lebih ‘megah’ dan riang. Pada saat versi kedua dibuat, tanpa perubahan lirik, klien senang tapi sempat juga ragu. Karena jingle pertama memang tak bisa dipungkiri memiliki kekuatan karakter yang lebih kuat. Akhirnya, selera orang banyak menjadi 'hakim'. Dan jingle kedua yang dinyanyikan oleh Armand Maulana (waktu itu belum mendirikan GIGI) yang diputuskan tayang. Entah apa yang terjadi bila jingle pertama ini yang tayang, apakah akan tetap disukai pendengar seperti yang sekarang? Yang jelas jingle pertama ini kemudian diadopsi telak-telak untuk salah satu iklan televisi merek elektronik. Iklan itu berhasil meraih perunggu pada Citra Pariwara. Saya lupa tahun 1995 atau 1996. Selamat deh.
Saya sebenarnya bermaksud mengulas lebih jauh tentang lirik jingle yang saya buat ini, dan beberapa jingle lain yang pernah saya buat bersama Doti pada masa itu. Saya memang sudah lama ingin menulis tentang lirik jingle dari perspektif kerja kreatif periklanan, bukan semata sebuah kerja artistik seperti menulis lirik lagu. Tentu cuma berdasarkan pengalaman yang pernah saya alami saja. Sayangnya, kurang afdol bila tulisan tersebut tidak bisa memperdengarkan jingle yang saya ulas. Sialnya, saya masih 'gaptek' urusan blog dan belum mengerti teknik memasang audio file di blog. Maka rencana itu pun saya tunda dulu. Sabar ya, hehehe...
Kemarin saya datang ke acara 3rd Elshinta Award 2005 ternyata
Radio Alam Sutera (jingle ‘Armand Maulana’) - raih Elshinta award - iklan yang disukai pendengar.
Selamat buat Pak Ricky, dkk
Zainul M
Jingle tersebut dibuat oleh Satucitra pada tahun 1994. Pada saat itu saya copywriternya. Komposernya Doti Nugroho (Twodees) yang dikenal sebagai seorang musisi bertangan dingin yang banyak melahirkan jingle populer. Kliennya adalah Argo Manunggal Group, pemilik lahan 700 hektar lebih di kawasan Serpong yang bermaksud membangun sebuah pemukiman modern baru berkonsep Residential & Lifestyle Community. Rancangan pemukiman dibuat oleh sebuah perusahaan urban planning ternama dari Amerika Serikat, sedangkan logonya dibuat oleh sebuah biro desain Australia. Saat ini Alam Sutera sendiri bukan lagi klien Satucitra. Setelah ditangani lebih dari 7 tahun, mereka hijrah ke biro iklan lain. Kabarnya sekarang ditangani oleh Gama Ad.
“If you have nothing to say, sing it!” Itulah nasehat legendaris dari nabi periklanan modern David Ogilvy di buku Ogilvy On Advertising. Sebuah kredo yang diamini oleh banyak sekali pekerja kreatif hingga hari ini.
Lalu, apakah jingle Alam Sutera juga bias dibilang mengikuti kredonya Ogilvy? Tidak sepenuhnya benar. Di masa itu, ketika ibukota Jakarta booming dengan real estate baru, pilihan media massa favorit adalah iklan cetak di surat kabar (khususnya harian Kompas) dan radio. Pada saat itu, untuk iklan radio real estate, jingle jadi semacam mandatory (kewajiban). Biasanya dibuat dalam pola ‘donat’ alias ada ruang kosong di tengah tanpa suara penyanyi yang nantinya mudah diisi voice over yang menyampaikan berbagai program atau kegiatan dari real estate tersebut.
Konsep Residential & Lifestyle Community yang tertuang dalam masterplan Alam Sutera sendiri sesungguhnya memiliki banyak hal menarik, utamanya pada masa tersebut, untuk dikatakan. Desain pemukiman yang mengacu pada salah satu model perumahan terbaik di Los Angeles ini bahkan mengantar sejumlah tim untuk melakukan photosession ke Los Angeles langsung. Enin Supriyanto (Creative Director), Ima Susanti (Art Director) dan Joyce Tenardhi (Account Manager) yang menangani kampanye berangkat bersama tim fotografer Lee Japp ke sana untuk pengambilan gambar. Sebuah ‘kemewahan’ yang mungkin takkan terulang untuk sebuah kampanye periklanan perumahan di masa sekarang. Sayangnya, kampanye iklan hasil pemotretan di sana nasibnya hanya jadi ‘pajangan’ di kantor pemasaran. Apa yang terjadi? Sebuah iklan launching 1 halaman yang hanya memuat ilustrasi masterplan di harian Kompas membuat seluruh rumah yang tersedia habis terjual dalam waktu satu minggu. Seperti biasa, khas real estate, kegiatan periklanan pun harus dihentikan karena tidak ada lagi yang mau dijual.
Kembali ke urusan jingle yang meraih Elshinta Award 2005 ini. Saya sendiri tidak menduga jingle tersebut masih popular hingga sekarang. Pada saat diputar di berbagai radio di Jakarta tahun 1994, jingle ini cukup popular di kalangan pendengar radio. Walau tidak memenangkan award apa pun pada saat itu, saya berani bilang dengan pede bahwa jingle ini dikenali dan disukai banyak orang. Menariknya, jingle yang disukai pendengar ini ternyata bukan pilihan utama Satucitra dan Twodees pada saat itu. Ini adalah jingle kedua. Jingle yang pertama dan sekaligus unggulan dinyanyikan oleh Oppie. Dibuat dengan mood yang lebih personal dan kontemplatif. Karakternya jauh lebih kuat. Klien bukannya tidak menyukai. Hanya mereka juga ingin menampilkan suasana yang lebih ‘megah’ dan riang. Pada saat versi kedua dibuat, tanpa perubahan lirik, klien senang tapi sempat juga ragu. Karena jingle pertama memang tak bisa dipungkiri memiliki kekuatan karakter yang lebih kuat. Akhirnya, selera orang banyak menjadi 'hakim'. Dan jingle kedua yang dinyanyikan oleh Armand Maulana (waktu itu belum mendirikan GIGI) yang diputuskan tayang. Entah apa yang terjadi bila jingle pertama ini yang tayang, apakah akan tetap disukai pendengar seperti yang sekarang? Yang jelas jingle pertama ini kemudian diadopsi telak-telak untuk salah satu iklan televisi merek elektronik. Iklan itu berhasil meraih perunggu pada Citra Pariwara. Saya lupa tahun 1995 atau 1996. Selamat deh.
Saya sebenarnya bermaksud mengulas lebih jauh tentang lirik jingle yang saya buat ini, dan beberapa jingle lain yang pernah saya buat bersama Doti pada masa itu. Saya memang sudah lama ingin menulis tentang lirik jingle dari perspektif kerja kreatif periklanan, bukan semata sebuah kerja artistik seperti menulis lirik lagu. Tentu cuma berdasarkan pengalaman yang pernah saya alami saja. Sayangnya, kurang afdol bila tulisan tersebut tidak bisa memperdengarkan jingle yang saya ulas. Sialnya, saya masih 'gaptek' urusan blog dan belum mengerti teknik memasang audio file di blog. Maka rencana itu pun saya tunda dulu. Sabar ya, hehehe...
Thursday, November 17, 2005
Berkat sepotong kabel
Sebagai bagian dari generasi yang tumbuh di era 'baca-tulis' ketimbang 'tonton-dengar', saya menyadari sering mengalami 'lemah otak' menghadapi segala kecanggihan teknologi audio visual saat ini.
Itu sebabnya, setelah hampir 3 bulan memiliki handycam mini-DV, baru tadi malam saya berhasil 'mengawinkannya' dengan Powerbook 12 inch saya. Padahal, di operating system MacOS X jenis Tiger yang ter-install di Powerbook sudah ada piranti lunak iMovies yang sangat user-friendly bagi para home-video makers (konon piranti lunak paling keren untuk editing video di Mac adalah Final Cut Pro. Tapi saya cukup belajar iMovies saja, karena saya cuma seorang amatiran yang lagi senang dengan 'mainan' baru). Ini berkat sebuah kabel 4 pin to 6 pin (itu istilah teknis yang bisa menghubungkan saluran iLink yang terdapat di handycam ke saluran Firewire yang terdapat di Powerbook) merek BAFO seharga 90 ribu perak. Beruntung, saya tidak membeli kabel sejenis merek Sony yang harganya 350 ribu perak. Padahal fungsinya sama saja.
Keluar 'udik'nya, saya sungguh takjub dengan kemudahannya. Begitu kabel tersambung antara dock handycam dengan Powerbook, saya tinggal buka iMovies dan create new project. Kasih nama file, lalu tekan IMPORT di iMovies, semua hasil rekaman di kaset mini DV masuk ke dalam iMovies. Hebatnya lagi, setiap hasil 1 shot kita di handycam, di iMovies dianggap 1 clip. Memudahkan kita untuk memotong dan mengubah peletakan shot untuk pembuatan home-video versi kita. Semua fasilitas standar seperti model transisi shot, penambahan audio, pembuatan title, dan lain sebagainya sudah pula tersedia dalam berbagai bentuk templete. Sebenarnya semua fasilitas tersebut sudah lama ada di ruang audio visual sederhana di kantor saya. Berbasis Windows di PC. Cuma saya benar-benar buta soal pengetahuan teknisnya.
Berkat sepotong kabel ini, sekarang saya semangat jadi home-video maker. Hasil shot suasana lebaran di keluarga isteri kelihatannya bakal jadi 'kelinci percobaan' saya beberapa malam ini. Sekalian mengalami sendiri kalau bikin film itu - walau cuma dokumentasi amatiran - memang susah! Apalagi buat generasi 'baca-tulis' macam saya, hehehe
Itu sebabnya, setelah hampir 3 bulan memiliki handycam mini-DV, baru tadi malam saya berhasil 'mengawinkannya' dengan Powerbook 12 inch saya. Padahal, di operating system MacOS X jenis Tiger yang ter-install di Powerbook sudah ada piranti lunak iMovies yang sangat user-friendly bagi para home-video makers (konon piranti lunak paling keren untuk editing video di Mac adalah Final Cut Pro. Tapi saya cukup belajar iMovies saja, karena saya cuma seorang amatiran yang lagi senang dengan 'mainan' baru). Ini berkat sebuah kabel 4 pin to 6 pin (itu istilah teknis yang bisa menghubungkan saluran iLink yang terdapat di handycam ke saluran Firewire yang terdapat di Powerbook) merek BAFO seharga 90 ribu perak. Beruntung, saya tidak membeli kabel sejenis merek Sony yang harganya 350 ribu perak. Padahal fungsinya sama saja.
Keluar 'udik'nya, saya sungguh takjub dengan kemudahannya. Begitu kabel tersambung antara dock handycam dengan Powerbook, saya tinggal buka iMovies dan create new project. Kasih nama file, lalu tekan IMPORT di iMovies, semua hasil rekaman di kaset mini DV masuk ke dalam iMovies. Hebatnya lagi, setiap hasil 1 shot kita di handycam, di iMovies dianggap 1 clip. Memudahkan kita untuk memotong dan mengubah peletakan shot untuk pembuatan home-video versi kita. Semua fasilitas standar seperti model transisi shot, penambahan audio, pembuatan title, dan lain sebagainya sudah pula tersedia dalam berbagai bentuk templete. Sebenarnya semua fasilitas tersebut sudah lama ada di ruang audio visual sederhana di kantor saya. Berbasis Windows di PC. Cuma saya benar-benar buta soal pengetahuan teknisnya.
Berkat sepotong kabel ini, sekarang saya semangat jadi home-video maker. Hasil shot suasana lebaran di keluarga isteri kelihatannya bakal jadi 'kelinci percobaan' saya beberapa malam ini. Sekalian mengalami sendiri kalau bikin film itu - walau cuma dokumentasi amatiran - memang susah! Apalagi buat generasi 'baca-tulis' macam saya, hehehe
Wednesday, November 16, 2005
Tuesday, November 15, 2005
Namanya Matthew, panggilannya Memet
Adik perempuan saya satu-satunya, Laura, baru saja melahirkan anak pertama. Ini adalah keponakan saya yang ke empat. Sebentar lagi bahkan lima.
Dari semua keponakan saya yang menarik adalah nama-nama yang diberikan oleh orangtuanya masing-masing. Termasuk keponakan terbaru saya yang dinamai Matthew Monang Sinaga. Jelas, anak Medan bung. Wong, suaminya Laura adalah pemuda Batak bernama Bohem Sinaga. Tapi, sambil bercanda, ibunya sudah punya panggilan sayang untuk si Matthew: Memet, hehehe. Mukanya, biar masih bayi, memang sudah kelihatan 'Batak pisan'.
Soal nama-nama 'mentereng' dan 'panggilan sayang' yang biasanya tercipta secara alamiah ini yang paling menarik. Keluarga saya, dan cukup banyak keluarga lain di Indonesia, memang senang berkiblat pada nama-nama asing tanpa mempertimbangkan kalau nama-nama tersebut bisa tidak familiar dengan 'lidah' orang Indonesia.
Contoh lainnya adalah keponakan saya nomor dua bernama Josephine. Tapi karena nenek dari pihak Ibu seorang Sunda tulen, alhasil Josephine mendapat 'panggilan sayang' Epin, tentu diucapkan dengan cengkok Sunda yang kental. Sementara, adiknya yang bernama Dave mendapat 'panggilan sayang' Apit atau Epit. Tentu juga dengan cengkok Sunda yang kental.
Jadinya tak heran bila Matthew sudah dibercandai dengan 'panggilan sayang' Memet. Paling 'beruntung' mungkin keponakan tertua saya yang namanya Angela. Panggilan sayangnya Angel. Cukup afdol buat lidah kita, jadi jarang 'kepeleset' pengucapannya. Tidak ada yang memanggilnya 'Angel' dengan cengkok Jawa yang artinya susah.
Tapi apalah arti sebuah nama, kata Shakespeare. Nama-nama itu tentu telah ditentukan dengan penuh cinta oleh ayah ibunya tercinta. Saya sendiri selaku oom akan memanggil mereka dengan pengucapan yang benar sesuai dengan harapan dari orang tua mereka, tentunya. Mudah-mudahan tidak sering 'terpeleset' lidah ini. Sayang saya sama mereka juga tidak ditakar dari nama kok, hehehe
Anak saya sendiri nama siapa? Uniknya, sekalipun saya anak paling tua bagi ibu saya, saya adalah satu-satunya anak yang belum memberi cucu ke beliau. Jadi belum tahu juga deh -- apabila sampai dianugerahi oleh yang 'di atas' -- apakah saya akan mengikuti jejak adik-adik saya, atau malah memberi nama yang sangat Indonesia.
Dari semua keponakan saya yang menarik adalah nama-nama yang diberikan oleh orangtuanya masing-masing. Termasuk keponakan terbaru saya yang dinamai Matthew Monang Sinaga. Jelas, anak Medan bung. Wong, suaminya Laura adalah pemuda Batak bernama Bohem Sinaga. Tapi, sambil bercanda, ibunya sudah punya panggilan sayang untuk si Matthew: Memet, hehehe. Mukanya, biar masih bayi, memang sudah kelihatan 'Batak pisan'.
Soal nama-nama 'mentereng' dan 'panggilan sayang' yang biasanya tercipta secara alamiah ini yang paling menarik. Keluarga saya, dan cukup banyak keluarga lain di Indonesia, memang senang berkiblat pada nama-nama asing tanpa mempertimbangkan kalau nama-nama tersebut bisa tidak familiar dengan 'lidah' orang Indonesia.
Contoh lainnya adalah keponakan saya nomor dua bernama Josephine. Tapi karena nenek dari pihak Ibu seorang Sunda tulen, alhasil Josephine mendapat 'panggilan sayang' Epin, tentu diucapkan dengan cengkok Sunda yang kental. Sementara, adiknya yang bernama Dave mendapat 'panggilan sayang' Apit atau Epit. Tentu juga dengan cengkok Sunda yang kental.
Jadinya tak heran bila Matthew sudah dibercandai dengan 'panggilan sayang' Memet. Paling 'beruntung' mungkin keponakan tertua saya yang namanya Angela. Panggilan sayangnya Angel. Cukup afdol buat lidah kita, jadi jarang 'kepeleset' pengucapannya. Tidak ada yang memanggilnya 'Angel' dengan cengkok Jawa yang artinya susah.
Tapi apalah arti sebuah nama, kata Shakespeare. Nama-nama itu tentu telah ditentukan dengan penuh cinta oleh ayah ibunya tercinta. Saya sendiri selaku oom akan memanggil mereka dengan pengucapan yang benar sesuai dengan harapan dari orang tua mereka, tentunya. Mudah-mudahan tidak sering 'terpeleset' lidah ini. Sayang saya sama mereka juga tidak ditakar dari nama kok, hehehe
Anak saya sendiri nama siapa? Uniknya, sekalipun saya anak paling tua bagi ibu saya, saya adalah satu-satunya anak yang belum memberi cucu ke beliau. Jadi belum tahu juga deh -- apabila sampai dianugerahi oleh yang 'di atas' -- apakah saya akan mengikuti jejak adik-adik saya, atau malah memberi nama yang sangat Indonesia.
Sepotong kalimat perpisahan untuk Ken Sudarto
Sabtu pagi, 5 November 2005, kalangan industri periklanan modern Indonesia kehilangan salah seorang perintisnya.
Ken T. Sudarto, pendiri Matari Inc. biro iklan nasional papan atas, meninggal dunia di Singapura.
Satucitra tentu mengirim karangan bunga dan ucapan belasungkawa untuk keluarga beliau dan keluarga besar Matari.
Untuk menghormati peran beliau yang sungguh besar dalam kelahiran dan pertumbuhan periklanan modern Indonesia, saya mencoba menulis pesan yang, kurang lebih, bisa mewakili perasaan kami semua - sesama praktisi periklanan - untuk beliau.
Inilah pesan perpisahan dari keluarga besar Satucitra untuk beliau:
-----------------------------------------------------------------------------
Terima kasih Pak Ken...
Terima kasih telah meritis jalan dan mewariskan jejak bagi kita semua untuk terus berkarya.
Selamat jalan Pak Ken.
-----------------------------------------------------------------------------
Semoga dari 'atas sana', Pak Ken bisa menyaksikan kita semua masih terus bisa menghasilkan karya-karya sebesar impiannya.
Ken T. Sudarto, pendiri Matari Inc. biro iklan nasional papan atas, meninggal dunia di Singapura.
Satucitra tentu mengirim karangan bunga dan ucapan belasungkawa untuk keluarga beliau dan keluarga besar Matari.
Untuk menghormati peran beliau yang sungguh besar dalam kelahiran dan pertumbuhan periklanan modern Indonesia, saya mencoba menulis pesan yang, kurang lebih, bisa mewakili perasaan kami semua - sesama praktisi periklanan - untuk beliau.
Inilah pesan perpisahan dari keluarga besar Satucitra untuk beliau:
-----------------------------------------------------------------------------
Terima kasih Pak Ken...
Terima kasih telah meritis jalan dan mewariskan jejak bagi kita semua untuk terus berkarya.
Selamat jalan Pak Ken.
-----------------------------------------------------------------------------
Semoga dari 'atas sana', Pak Ken bisa menyaksikan kita semua masih terus bisa menghasilkan karya-karya sebesar impiannya.
cerita soal kamera idaman...
Biar bukan penggila fotografi, saya menyukai kegiatan memotret. Apalagi bila hasilnya bisa lebih bagus dari yang terekam di 'memori' saat menekan shutter. Senang rasanya.
Karenanya saya bukan pengguna jenis kamera SLR atau sekarang DSLR. Saya cuma punya dan pakai jenis kamera saku (compact). Sebelum era digital, saya lama menggunakan kamera saku Fuji. Saya lupa tipenya, yang jelas secara manual bisa dibuat jadi format panorama. Kamera ini termasuk kualitas terbaik di kategorinya bila melihat harganya yang mencapai 1,5 juta rupiah pada tahun 1998. Menyenangkan karena bisa eksperimen memotret dengan format panorama.
Setelah 4 tahun, kamera tersebut terjatuh secara tak sengaja. Penutup lensa dan baterenya hancur. Tidak rusak, tapi sungguh tak nyaman lagi menggunakannya. Hanya karena belum ada pengganti yang sreg, saya gunakan terus.
Kebetulan di akhir tahun 2003 isteri saya, Penny, dikirim kantornya ke Swedia lalu sempat mampir ke tempat oom-nya yang kerja di Jerman. Saya langsung ingat merek kamera Leica yang legendaris asal Jerman. Mulanya keder juga karena Leica juga terkenal mahal dan hanya 'layak' bagi para profesional. Beruntung saya, ternyata Leica juga sudah membuat jenis kamera saku dengan harga terjangkau. Bahkan sangat terjangkau untuk ukuran Leica. Sebuah kamera saku tipe C2 harganya 'cuma' 300an Euro (saat itu Euro masih 9000 perak). Kamera saku 35mm merek Fuji yang bagus juga harga sudah mendekati angka 3 juta perak.
Jadilah saya kirim seluruh informasi soal kamera dan outletnya ke Penny di Jerman, tepatnya di kota Hamburg. Dengan ditemani tantenya, menembus cuaca dingin dan hujan, mereka mencari outlet Leica. Setelah itu saya dapat omelan. Karena tempatnya kalau di Jakarta, seperti dari daerah Menteng ke sebuah ruko di Ciputat sana. Belum lagi dia dan tantenya cuma dipandang 'sebelah mata' oleh penjaga tokonya pada saat masuk. Mungkin dipikirnya, ini dua perempuan bertampang turis Asia 'lugu' kok berani-beraninya masuk ke toko Leica, hehehehehe. Untungnya, mereka membawa print out dari situs Leica. Langsung ditunjukkan dan penjaga toko cepat mafhum bahwa keduanya cuma turis cheap yang mau beli kamera saku Leica termurah, hahahaha....
Inilah dia kamera yang didapat dengan penuh 'perjuangan' itu. Entah ada atau tidak yang menjualnya di Jakarta.
'Perjuangan' tak sia-sia. Hasilnya sungguh mengagumkan. Petugas di Fuji Image Plaza yang mencetak hasilnya, selalu mengira itu hasil kamera SLR. Teman-teman kantor pun, setelah tahu hasilnya, setiap kali ada acara kantor bersama selalu dengan senang hati bergaya di depan kamera. Karena hasilnya 'lebih indah dari aslinya'.
Sayangnya, popularitas penggunaan kamera digital memang sulit dielakkan. Faktor hemat biaya cuci-cetak sungguh signifikan, karena kita bisa memilih yang mau kita cetak. Pokoknya, kelewatan kalau tidak beralih ke digital. Sebenarnya saya sudah punya sebuah kamera digital 4MP yang saya beli pada awal era kamera digital muncul. Sayangnya saya jadi 'korban' kepeloporan. kamera bermasalah berat dengan daya tahan baterenya. Cuma tahan 15 menitan bila dihidupkan terus. Kelewatan memang.
Tapi sudahlah. Sekarang saya mau cari kamera digital ganti. Hati kembali tertambat ke merek Leica. He, siapa tahu mereka mengeluarkan jenis kamera saku digital yang cocok di kantong, hehehe...
Hasil 'perburuan' pada kamera digital Leica bermuara pada tipe Digilux 2. Bukan sebuah kamera saku, tapi kategorinya pro-sumer. Artinya, walau ini jenis kamera fixed-lens seperti kamera saku tapi mampu dioperasikan secara manual seperti kamera DSLR. Jenis lensanya pun lebih canggih. Sayang seribu sayang... harganya membuat saya mundur teratur. Apalagi ia cuma mampu menangkap image 5MP saja. Ini nih kameranya...
Karena kadung jatuh cinta pada kehebatan lensa Leica, akhirnya saya membeli Panasonic Lumix FX-7. Sebuah kamera saku digital 5MP dengan preview screen yang memanjakan mata. Saya pikir, toh sekarang Leica sudah dibeli oleh Panasonic. Dan semua kamera Panasonic sudah menggunakan lensa Leica. Hasilnya? Tetap belum bisa menyamai hasil Leica C2 yang menggunakan seluloid 35mm. Cuma karena kepraktisan, kamera digital FX-7 tetap lebih sering saya gunakan.
Meski begitu saya tetap menunggu kehadiran kamera saku digital dari Leica yang budget-friendly. Siapa tahu? hehehehe
Tunggu punya tunggu, datanglah pengumuman dari situs Leica kalau akhir November 2005 ini mereka akan mengeluarkan kamera saku 8.4MP. Harganya belum diumumkan. Tapi menilik kembarannya Panasonic LX-1 (ini kali kedua muncul kembaran produk Panasonic dan Leica, sebelumnya tipe Digilux 2 juga punya kembaran merek Panasonic) yang hanya dibandrol 5,3 juta perak, mudah-mudahan Leica D-Lux 2 ini harganya tidak terlampau jauh.
Sementara menunggu harga, jadilah 'dia' kamera impian yang terpasang di layar monitor laptop dan id di YM, hehehe...
Inilah si 'dia' yang nampak 'sexy' dan canggih itu.
Karenanya saya bukan pengguna jenis kamera SLR atau sekarang DSLR. Saya cuma punya dan pakai jenis kamera saku (compact). Sebelum era digital, saya lama menggunakan kamera saku Fuji. Saya lupa tipenya, yang jelas secara manual bisa dibuat jadi format panorama. Kamera ini termasuk kualitas terbaik di kategorinya bila melihat harganya yang mencapai 1,5 juta rupiah pada tahun 1998. Menyenangkan karena bisa eksperimen memotret dengan format panorama.
Setelah 4 tahun, kamera tersebut terjatuh secara tak sengaja. Penutup lensa dan baterenya hancur. Tidak rusak, tapi sungguh tak nyaman lagi menggunakannya. Hanya karena belum ada pengganti yang sreg, saya gunakan terus.
Kebetulan di akhir tahun 2003 isteri saya, Penny, dikirim kantornya ke Swedia lalu sempat mampir ke tempat oom-nya yang kerja di Jerman. Saya langsung ingat merek kamera Leica yang legendaris asal Jerman. Mulanya keder juga karena Leica juga terkenal mahal dan hanya 'layak' bagi para profesional. Beruntung saya, ternyata Leica juga sudah membuat jenis kamera saku dengan harga terjangkau. Bahkan sangat terjangkau untuk ukuran Leica. Sebuah kamera saku tipe C2 harganya 'cuma' 300an Euro (saat itu Euro masih 9000 perak). Kamera saku 35mm merek Fuji yang bagus juga harga sudah mendekati angka 3 juta perak.
Jadilah saya kirim seluruh informasi soal kamera dan outletnya ke Penny di Jerman, tepatnya di kota Hamburg. Dengan ditemani tantenya, menembus cuaca dingin dan hujan, mereka mencari outlet Leica. Setelah itu saya dapat omelan. Karena tempatnya kalau di Jakarta, seperti dari daerah Menteng ke sebuah ruko di Ciputat sana. Belum lagi dia dan tantenya cuma dipandang 'sebelah mata' oleh penjaga tokonya pada saat masuk. Mungkin dipikirnya, ini dua perempuan bertampang turis Asia 'lugu' kok berani-beraninya masuk ke toko Leica, hehehehehe. Untungnya, mereka membawa print out dari situs Leica. Langsung ditunjukkan dan penjaga toko cepat mafhum bahwa keduanya cuma turis cheap yang mau beli kamera saku Leica termurah, hahahaha....
Inilah dia kamera yang didapat dengan penuh 'perjuangan' itu. Entah ada atau tidak yang menjualnya di Jakarta.
'Perjuangan' tak sia-sia. Hasilnya sungguh mengagumkan. Petugas di Fuji Image Plaza yang mencetak hasilnya, selalu mengira itu hasil kamera SLR. Teman-teman kantor pun, setelah tahu hasilnya, setiap kali ada acara kantor bersama selalu dengan senang hati bergaya di depan kamera. Karena hasilnya 'lebih indah dari aslinya'.
Sayangnya, popularitas penggunaan kamera digital memang sulit dielakkan. Faktor hemat biaya cuci-cetak sungguh signifikan, karena kita bisa memilih yang mau kita cetak. Pokoknya, kelewatan kalau tidak beralih ke digital. Sebenarnya saya sudah punya sebuah kamera digital 4MP yang saya beli pada awal era kamera digital muncul. Sayangnya saya jadi 'korban' kepeloporan. kamera bermasalah berat dengan daya tahan baterenya. Cuma tahan 15 menitan bila dihidupkan terus. Kelewatan memang.
Tapi sudahlah. Sekarang saya mau cari kamera digital ganti. Hati kembali tertambat ke merek Leica. He, siapa tahu mereka mengeluarkan jenis kamera saku digital yang cocok di kantong, hehehe...
Hasil 'perburuan' pada kamera digital Leica bermuara pada tipe Digilux 2. Bukan sebuah kamera saku, tapi kategorinya pro-sumer. Artinya, walau ini jenis kamera fixed-lens seperti kamera saku tapi mampu dioperasikan secara manual seperti kamera DSLR. Jenis lensanya pun lebih canggih. Sayang seribu sayang... harganya membuat saya mundur teratur. Apalagi ia cuma mampu menangkap image 5MP saja. Ini nih kameranya...
Karena kadung jatuh cinta pada kehebatan lensa Leica, akhirnya saya membeli Panasonic Lumix FX-7. Sebuah kamera saku digital 5MP dengan preview screen yang memanjakan mata. Saya pikir, toh sekarang Leica sudah dibeli oleh Panasonic. Dan semua kamera Panasonic sudah menggunakan lensa Leica. Hasilnya? Tetap belum bisa menyamai hasil Leica C2 yang menggunakan seluloid 35mm. Cuma karena kepraktisan, kamera digital FX-7 tetap lebih sering saya gunakan.
Meski begitu saya tetap menunggu kehadiran kamera saku digital dari Leica yang budget-friendly. Siapa tahu? hehehehe
Tunggu punya tunggu, datanglah pengumuman dari situs Leica kalau akhir November 2005 ini mereka akan mengeluarkan kamera saku 8.4MP. Harganya belum diumumkan. Tapi menilik kembarannya Panasonic LX-1 (ini kali kedua muncul kembaran produk Panasonic dan Leica, sebelumnya tipe Digilux 2 juga punya kembaran merek Panasonic) yang hanya dibandrol 5,3 juta perak, mudah-mudahan Leica D-Lux 2 ini harganya tidak terlampau jauh.
Sementara menunggu harga, jadilah 'dia' kamera impian yang terpasang di layar monitor laptop dan id di YM, hehehe...
Inilah si 'dia' yang nampak 'sexy' dan canggih itu.
Monday, November 14, 2005
Menulis lagi
Mudah-mudahan blog ini bukan hanya bisa saya isi dengan artikel yang 'terpaksa' ditulis karena pekerjaan. Semoga.
Thursday, February 24, 2005
Mencari Mimpi Besar di Tengah Billing Besar
“We believe that no one can understand and communicate with Indonesians, like other Indonesians…” Itulah prinsip utama Matari Advertising yang tertulis tegas di halaman website mereka. Ken T. Sudarto dan Paul Karmadi, yang memulai usahanya di era awal periklanan modern Indonesia, tentu sedang memimpikan sesuatu yang lebih besar dari sekedar masa depan Matari sendiri. Inilah – menurut pandangan saya -- mimpi besar para pendiri Matari untuk mewujudkan sebuah kondisi industri periklanan Indonesia, di mana biro-biro iklan lokal sanggup menjadi ‘tuan rumah’ di negerinya sendiri.
Kini, setelah lebih dari 30 tahun industri periklanan modern Indonesia bergulir, sudahkah mimpi besar mereka itu menjadi kenyataan? Mari kita periksa.
Faktanya: Biro-biro Iklan Lokal Berjaya!
Saya tidak asal ngecap. Coba kita periksa total belanja iklan nasional 5 tahun terakhir yang diterbitkan oleh PPPI. Rumusnya sederhana. Jumlahkan saja semua billing biro iklan 20 besar yang notabene sebagian didominasi oleh biro iklan multinasional. Adakah nilainya lebih dari 25% total belanja iklan nasional? TIDAK PERNAH.
Sekarang bayangkan, ada berapa biro iklan multinasional yang posisinya berada di ranking 21 ke bawah? Mungkin tidak lebih dari 20. Artinya, saya hakul yakin, bagian terbesar dari kue belanja iklan nasional masih dikuasai oleh biro-biro iklan lokal. Bahwa kue iklan yang besar itu harus dibagi di antara ratusan atau bahkan ribuan biro iklan lokal, itu persoalan yang berbeda.
Berikutnya. Matari Advertising adalah contoh faktual dari kejayaan biro iklan nasional. Sekalipun pernah berafiliasi, cap Matari tetap biro iklan lokal. Sepanjang keberadaannya, Matari selalu menjadi biro iklan papan atas. Bahkan pernah menjadi biro iklan terbesar, dan selalu menjadi biro iklan lokal terbesar. Matari, harus diakui, telah menjadi landmark dari kejayaan biro iklan lokal di negerinya sendiri.
Di samping Matari, berdasarkan Ranking Billing Tahunan PPPI, tidak sedikit biro-biro iklan lokal yang terus berada dalam mainstream bisnis periklanan nasional. Pendek kata, ‘kekuasaan’ belanja iklan nasional masih berada di tangan biro-biro iklan lokal. Lebih jelas lagi, perkembangan mutakhir industri periklanan pun menunjukkan kiprah biro-biro iklan lokal, baik pemain lama maupun baru, yang menunjukkan prestasi pertumbuhan bisnis sangat spektakuler karena mengalami kenaikan billing hingga ratusan persen.
Tapi tentu saja, kuat atau tidaknya peran biro iklan lokal dalam dinamika industri periklanan di negerinya sendiri tidak bisa hanya diukur dari 2 fakta di atas. Dengan kata lain, sekalipun penting, besar penguasaan billing bukanlah satu-satunya alat ukur. Apalagi periklanan jelas bukan jenis industri perdagangan komoditi yang semata-mata dapat diukur dari pencapaian kuantitatif belaka. Bukankah industri periklanan adalah sebuah industri jasa gagasan yang mengagungkan kreatifitas sebagai pencapaian? Dan urusan kreatifitas tidaklah ditentukan karena sebuah biro iklan lokal atau multinasional, apalagi kecil atau besar.
Industri Tanpa Indonesia Incorporated?
Kenyataannya, sejumlah besar biro iklan lokal di berbagai negara, tumbuh menjadi kuat dan besar di negerinya sendiri, bahkan mendunia, karena adanya gagasan National/Global Incorporated.
Batey Advertising tidak mungkin bisa menjadi biro iklan terbesar di Singapura dan ternama di dunia tanpa dukungan mimpi besar Singapore Airlines untuk menjadi merek kelas dunia. Leo Burnett tidak mungkin jadi salah satu worldwide agency terbesar bila Marlboro tidak bermimpi menjadi merek global yang dominan. Begitu pula dengan McCann Erikson dan Coca Cola, Dentsu dan Toyota, Lowe (Lintas) dan Unilever, dan seterusnya. Tentu kita semua tahu bahwa mereka tidaklah memperoleh komitmen ‘till death do us part’ dari kliennya. Tanpa kemampuan dan kreatifitas yang terus berkembang untuk mengimbangi mimpi besar klien, mereka juga bisa ‘dicerai’ klien sejak jauh-jauh hari.
Walau tidak mutlak, secara umum terwujudnya gagasan Incorporated ini membuat kita mudah melihat bahwa negara-negara yang telah berhasil membangun merek berskala global juga melahirkan biro iklan global dari negerinya. Bagaimana dengan Indonesia sendiri?
Ian Batey pendiri Batey Advertising dalam bukunya Asian Branding, A Great Way To Fly menyebutkan ada 5 kategori merek dari Indonesia yang sangat berpotensi untuk menjadi global brand yakni: kopi, mie instan, furnitur, batik dan sepeda motor. Penulis berpendapat Ian Batey luput mengamati dua kategori merek lagi, yakni rokok dan jamu/produk alami – dan terlalu optimis untuk kategori sepeda motor. Ian Batey bukanlah praktisi periklanan sembarangan. Optimisme beliau terhadap masa depan Indonesia untuk memiliki global brand tentunya membuat kita bertanya: akankah lahir global atau paling tidak regional agency dari Indonesia? Semoga.
Namun begitu, mari kita kesampingkan sejenak gagasan global incorporated. Bagaimana dengan Indonesia Incorporated? Masih adakah? Tanpa bermaksud menggugat atau menyalahkan siapapun, bagi klien gagasan ini mungkin sudah tidak lagi menjadi prioritas atau karena kondisi tertentu tidak relevan lagi untuk dilaksanakan. Sedikit banyak, beberapa fakta di industri periklanan dapat dijadikan contoh: Garuda Indonesia hanya bertahan 3 tahun di Matari. Bank Mandiri perlu ditangani oleh beragam biro iklan. Sejumlah bank pemerintah bahkan berganti biro iklan setiap selesai satu masa kampanye yang singkat. Ada juga yang hanya melakukan penunjukkan biro iklan dalam masa kontrak 3 bulan. Lebih edan lagi, cukup banyak pitching dilakukan hanya untuk storyboard saja. Alhasil, dengan mudah kita bisa melihat kampanye periklanan sebuah merek yang kerap berubah pesan dan pendekatannya. Padahal di muka bumi ini, merek-merek besar yang mampu bertahan hidup melewati berbagai jaman sudah mewarisi dan meneladani sebuah ‘kebenaran’ yang patut ditiru oleh semua merek yang berniat menjadi besar: konsistensi dalam jangka waktu yang panjang. Dengan kata lain, sulit sekali bagi setiap pengiklan untuk membangun kampanye merek yang kuat hanya dengan hubungan sepukul-duapukul dengan sebuah biro iklan.
Mencari Biro Iklan Lokal yang Creative-Driven
Menghadapi kondisi yang tergambar di atas, bisa dikatakan biro-biro iklan multinasional menjalani ‘hidup yang lebih tenang’ dengan klien-klien prinsipal lewat penunjukkan global ketimbang biro-biro iklan lokal yang terus-menerus berada dalam posisi insecure untuk mempertahankan klien. Secara tidak langsung, hal ini sangat mempengaruhi perkembangan mutakhir industri periklanan kita. Melahirkan fenomena-fenomena baru. Lahirnya biro-biro iklan media buying driven dan production driven jauh lebih menonjol dibanding creative driven. Alamiah, di tengah situasi ini tentu ‘menguasai’ belanja media jauh lebih secure bagi setiap biro iklan ketimbang ‘sekedar’ menghasilkan iklan-iklan hebat.
Sejak kehadiran Cabe Rawit dan Macs 909 lebih dari 10 tahun silam, agaknya belum terlihat tanda-tanda kemunculan biro iklan creative-driven yang menonjol. Fakta ini menimbulkan pertanyaan besar: sudah hilangkah daya pesona jenis biro iklan creative-driven karena dinilai tidak mampu lagi menjadi roda penggerak kemajuan bisnis sebuah biro iklan? Penulis sama sekali tidak memiliki analisa yang canggih-canggih untuk menjawab pertanyaan ini. Sejarah telah membuktikan bahwa biro-biro iklan besar yang telah berhasil membantu berbagai merek menjadi besar dan langgeng memimpin pasar dengan cara tetap memelihara dan meningkatkan creative-driven attitude yang terlihat jelas dari sikap penanganan klien dan karya-karya yang dihasilkan. Dunia periklanan berarti belum berubah. Barangkali kita saja yang sedang mengabaikannya, as long as our business running well.
Regenerasi Biro-biro Iklan Lokal?
Tak kalah penting dari persoalan semangat pencapaian kreatif setinggi langit, seperti yang dipesankan oleh almarhum Leo Burnett kepada setiap pegawainya di seluruh dunia, penulis juga melihat sebuah tantangan besar bagi biro-biro iklan lokal yang terdekat adalah faktor regenerasi. Coba kita periksa ada berapa biro iklan lokal yang sekarang telah dikelola manajemen generasi kedua atau ketiga di dalam organisasi perusahaan – baik oleh profesional maupun pewaris usahanya?
Upaya regenerasi kepemimpinan dalam sebuah biro iklan yang karakter usahanya kuat bergantung pada reputasi dan kepercayaan terhadap individu jelas bukan hal yang sepele. Upaya melakukan transformasi dari individual-based ke organisation-based jelas merupakan keniscayaan bagi biro-biro iklan lokal yang ingin tetap menjaga kelanggengan hidupnya, memelihara pertumbuhan bisnisnya, dan membangun mimpi besar untuk menjadi biro iklan lokal papan atas atau bahkan biro iklan regional/global di masa depan. Di titik tersebut, yang mungkin tidak akan lebih dari 20 tahun lagi, sejarah periklanan Indonesia akan mencatat seberapa besar mimpi biro-biro iklan lokal yang ada saat ini.
Ditulis untuk majalah Cakram
dimuat tahun 2003
Kini, setelah lebih dari 30 tahun industri periklanan modern Indonesia bergulir, sudahkah mimpi besar mereka itu menjadi kenyataan? Mari kita periksa.
Faktanya: Biro-biro Iklan Lokal Berjaya!
Saya tidak asal ngecap. Coba kita periksa total belanja iklan nasional 5 tahun terakhir yang diterbitkan oleh PPPI. Rumusnya sederhana. Jumlahkan saja semua billing biro iklan 20 besar yang notabene sebagian didominasi oleh biro iklan multinasional. Adakah nilainya lebih dari 25% total belanja iklan nasional? TIDAK PERNAH.
Sekarang bayangkan, ada berapa biro iklan multinasional yang posisinya berada di ranking 21 ke bawah? Mungkin tidak lebih dari 20. Artinya, saya hakul yakin, bagian terbesar dari kue belanja iklan nasional masih dikuasai oleh biro-biro iklan lokal. Bahwa kue iklan yang besar itu harus dibagi di antara ratusan atau bahkan ribuan biro iklan lokal, itu persoalan yang berbeda.
Berikutnya. Matari Advertising adalah contoh faktual dari kejayaan biro iklan nasional. Sekalipun pernah berafiliasi, cap Matari tetap biro iklan lokal. Sepanjang keberadaannya, Matari selalu menjadi biro iklan papan atas. Bahkan pernah menjadi biro iklan terbesar, dan selalu menjadi biro iklan lokal terbesar. Matari, harus diakui, telah menjadi landmark dari kejayaan biro iklan lokal di negerinya sendiri.
Di samping Matari, berdasarkan Ranking Billing Tahunan PPPI, tidak sedikit biro-biro iklan lokal yang terus berada dalam mainstream bisnis periklanan nasional. Pendek kata, ‘kekuasaan’ belanja iklan nasional masih berada di tangan biro-biro iklan lokal. Lebih jelas lagi, perkembangan mutakhir industri periklanan pun menunjukkan kiprah biro-biro iklan lokal, baik pemain lama maupun baru, yang menunjukkan prestasi pertumbuhan bisnis sangat spektakuler karena mengalami kenaikan billing hingga ratusan persen.
Tapi tentu saja, kuat atau tidaknya peran biro iklan lokal dalam dinamika industri periklanan di negerinya sendiri tidak bisa hanya diukur dari 2 fakta di atas. Dengan kata lain, sekalipun penting, besar penguasaan billing bukanlah satu-satunya alat ukur. Apalagi periklanan jelas bukan jenis industri perdagangan komoditi yang semata-mata dapat diukur dari pencapaian kuantitatif belaka. Bukankah industri periklanan adalah sebuah industri jasa gagasan yang mengagungkan kreatifitas sebagai pencapaian? Dan urusan kreatifitas tidaklah ditentukan karena sebuah biro iklan lokal atau multinasional, apalagi kecil atau besar.
Industri Tanpa Indonesia Incorporated?
Kenyataannya, sejumlah besar biro iklan lokal di berbagai negara, tumbuh menjadi kuat dan besar di negerinya sendiri, bahkan mendunia, karena adanya gagasan National/Global Incorporated.
Batey Advertising tidak mungkin bisa menjadi biro iklan terbesar di Singapura dan ternama di dunia tanpa dukungan mimpi besar Singapore Airlines untuk menjadi merek kelas dunia. Leo Burnett tidak mungkin jadi salah satu worldwide agency terbesar bila Marlboro tidak bermimpi menjadi merek global yang dominan. Begitu pula dengan McCann Erikson dan Coca Cola, Dentsu dan Toyota, Lowe (Lintas) dan Unilever, dan seterusnya. Tentu kita semua tahu bahwa mereka tidaklah memperoleh komitmen ‘till death do us part’ dari kliennya. Tanpa kemampuan dan kreatifitas yang terus berkembang untuk mengimbangi mimpi besar klien, mereka juga bisa ‘dicerai’ klien sejak jauh-jauh hari.
Walau tidak mutlak, secara umum terwujudnya gagasan Incorporated ini membuat kita mudah melihat bahwa negara-negara yang telah berhasil membangun merek berskala global juga melahirkan biro iklan global dari negerinya. Bagaimana dengan Indonesia sendiri?
Ian Batey pendiri Batey Advertising dalam bukunya Asian Branding, A Great Way To Fly menyebutkan ada 5 kategori merek dari Indonesia yang sangat berpotensi untuk menjadi global brand yakni: kopi, mie instan, furnitur, batik dan sepeda motor. Penulis berpendapat Ian Batey luput mengamati dua kategori merek lagi, yakni rokok dan jamu/produk alami – dan terlalu optimis untuk kategori sepeda motor. Ian Batey bukanlah praktisi periklanan sembarangan. Optimisme beliau terhadap masa depan Indonesia untuk memiliki global brand tentunya membuat kita bertanya: akankah lahir global atau paling tidak regional agency dari Indonesia? Semoga.
Namun begitu, mari kita kesampingkan sejenak gagasan global incorporated. Bagaimana dengan Indonesia Incorporated? Masih adakah? Tanpa bermaksud menggugat atau menyalahkan siapapun, bagi klien gagasan ini mungkin sudah tidak lagi menjadi prioritas atau karena kondisi tertentu tidak relevan lagi untuk dilaksanakan. Sedikit banyak, beberapa fakta di industri periklanan dapat dijadikan contoh: Garuda Indonesia hanya bertahan 3 tahun di Matari. Bank Mandiri perlu ditangani oleh beragam biro iklan. Sejumlah bank pemerintah bahkan berganti biro iklan setiap selesai satu masa kampanye yang singkat. Ada juga yang hanya melakukan penunjukkan biro iklan dalam masa kontrak 3 bulan. Lebih edan lagi, cukup banyak pitching dilakukan hanya untuk storyboard saja. Alhasil, dengan mudah kita bisa melihat kampanye periklanan sebuah merek yang kerap berubah pesan dan pendekatannya. Padahal di muka bumi ini, merek-merek besar yang mampu bertahan hidup melewati berbagai jaman sudah mewarisi dan meneladani sebuah ‘kebenaran’ yang patut ditiru oleh semua merek yang berniat menjadi besar: konsistensi dalam jangka waktu yang panjang. Dengan kata lain, sulit sekali bagi setiap pengiklan untuk membangun kampanye merek yang kuat hanya dengan hubungan sepukul-duapukul dengan sebuah biro iklan.
Mencari Biro Iklan Lokal yang Creative-Driven
Menghadapi kondisi yang tergambar di atas, bisa dikatakan biro-biro iklan multinasional menjalani ‘hidup yang lebih tenang’ dengan klien-klien prinsipal lewat penunjukkan global ketimbang biro-biro iklan lokal yang terus-menerus berada dalam posisi insecure untuk mempertahankan klien. Secara tidak langsung, hal ini sangat mempengaruhi perkembangan mutakhir industri periklanan kita. Melahirkan fenomena-fenomena baru. Lahirnya biro-biro iklan media buying driven dan production driven jauh lebih menonjol dibanding creative driven. Alamiah, di tengah situasi ini tentu ‘menguasai’ belanja media jauh lebih secure bagi setiap biro iklan ketimbang ‘sekedar’ menghasilkan iklan-iklan hebat.
Sejak kehadiran Cabe Rawit dan Macs 909 lebih dari 10 tahun silam, agaknya belum terlihat tanda-tanda kemunculan biro iklan creative-driven yang menonjol. Fakta ini menimbulkan pertanyaan besar: sudah hilangkah daya pesona jenis biro iklan creative-driven karena dinilai tidak mampu lagi menjadi roda penggerak kemajuan bisnis sebuah biro iklan? Penulis sama sekali tidak memiliki analisa yang canggih-canggih untuk menjawab pertanyaan ini. Sejarah telah membuktikan bahwa biro-biro iklan besar yang telah berhasil membantu berbagai merek menjadi besar dan langgeng memimpin pasar dengan cara tetap memelihara dan meningkatkan creative-driven attitude yang terlihat jelas dari sikap penanganan klien dan karya-karya yang dihasilkan. Dunia periklanan berarti belum berubah. Barangkali kita saja yang sedang mengabaikannya, as long as our business running well.
Regenerasi Biro-biro Iklan Lokal?
Tak kalah penting dari persoalan semangat pencapaian kreatif setinggi langit, seperti yang dipesankan oleh almarhum Leo Burnett kepada setiap pegawainya di seluruh dunia, penulis juga melihat sebuah tantangan besar bagi biro-biro iklan lokal yang terdekat adalah faktor regenerasi. Coba kita periksa ada berapa biro iklan lokal yang sekarang telah dikelola manajemen generasi kedua atau ketiga di dalam organisasi perusahaan – baik oleh profesional maupun pewaris usahanya?
Upaya regenerasi kepemimpinan dalam sebuah biro iklan yang karakter usahanya kuat bergantung pada reputasi dan kepercayaan terhadap individu jelas bukan hal yang sepele. Upaya melakukan transformasi dari individual-based ke organisation-based jelas merupakan keniscayaan bagi biro-biro iklan lokal yang ingin tetap menjaga kelanggengan hidupnya, memelihara pertumbuhan bisnisnya, dan membangun mimpi besar untuk menjadi biro iklan lokal papan atas atau bahkan biro iklan regional/global di masa depan. Di titik tersebut, yang mungkin tidak akan lebih dari 20 tahun lagi, sejarah periklanan Indonesia akan mencatat seberapa besar mimpi biro-biro iklan lokal yang ada saat ini.
Ditulis untuk majalah Cakram
dimuat tahun 2003
Kejarlah (Ilmu) Iklan Sampai ke Negeri Thailand
Pepatah yang mengatakan ‘Kejarlah Ilmu Sampai ke Negeri Cina’ nampaknya tidak berlaku untuk dunia periklanan. Pada penyelenggarakan Asia Pacific Advertising Festival (selanjutnya disingkat Adfest) ke VII yang berlangsung dari 18 sampai 20 Maret 2004 lalu, Thailand semakin mengukuhkan diri sebagai negara di kawasan Asia Pasifik yang paling layak menjadi salah satu episentrum perkembangan kreativitas periklanan dunia.
‘CANNES ASIA’
Walau Adfest hanya melombakan karya-karya iklan dari negara di kawasan Asia Pacific, kualitas penyelenggaraan dan standar penilaian lomba yang ditetapkan, makin tahun makin menunjukkan ambisi penyelenggara untuk menjadikan Adfest sebagai salah pusat perkembangan kreativitas periklanan global. Ambisi Thailand untuk menjadikan Adfest sebagai ‘Cannes Asia’ (merujuk pada lomba iklan internasional tahunan Cannes Lyon sebagai salah satu ajang lomba iklan paling bergengsi di dunia) dapat dikatakan kini makin mendekati kenyataan. Tak aneh bila sebagian besar karya iklan yang menyabet penghargaan di Adfest juga berjaya di berbagai lomba iklan kelas dunia, seperti Cannes, Clio, D&AD, dan lainnya.
Sepanjang 3 hari penyelenggaraan di Royal Cliff Beach Resort Hotel Pattaya yang megah dan luas, kurang lebih 1.000 peserta dari berbagai penjuru dunia, utamanya para praktisi iklan di kawasan Asia Pasifik, benar-benar difokuskan ke dalam sebuah forum yang reflektif tentang pencapaian kreativitas periklanan kawasan Asia Pasifik. Lepas dari sekedar acara seremoni pemberian penghargaan kepada para pemenang, acara utama Adfest lebih mengedepankan sebuah proses penggalian terhadap dunia kreativitas periklanan. Para kreator iklan yang menjadi peserta dimanjakan dengan suguhan iklan-iklan peserta yang tidak cukup diamati dalam waktu sehari. Peserta benar-benar dibuat khusuk mengamati satu-per-satu karya iklan peserta Adfest untuk semua kategori dan jenis media.
Tak pelak, suasana tenang dan wajah-wajah tekun mendominasi area pameran iklan media cetak dan media non-televisi yang berada di satu kawasan. Sementara, di area lain tempat penayangan peserta iklan televisi dan film, kerap pecah gelak tawa para penonton menyaksikan sejumlah karya iklan yang benar-benar segar dan penuh kejutan yang menghibur. Selama 3 hari penuh, Adfest juga dipenuhi dengan kegiatan seminar yang menampilkan para kreator iklan kaliber dunia. John Hunt, Worldwide Creative Director TBWA/Worldwide, New York membuka khasanah para kreator iklan tentang solusi-solusi kreatif beyond advertising lewat presentasinya yang dipenuhi dengan beragam contoh kasus di manca negara yang bertajuk “The Idea is King”. Thanonchai Sornsriwichai dari griya produksi Phenomena Bangkok, salah seorang sutradara iklan yang kini berada di ranking 3 dunia dalam perolehan penghargaan atas karya-karya iklannya, dengan bahasa Inggris yang terpatah-patah memberi ‘pencerahan’ kepada para kreator iklan yang hadir tentang pentingnya PASSION dalam menggarap setiap ide yang dimiliki.
Di tahun ke 7, Adfest jelas telah berhasil menjadikan dirinya sebagai ajang lomba dan forum periklanan paling utama di kawasan Asia Pasifik. Tak hanya itu, Adfest bahkan berhasil menarik perhatian para praktisi periklanan dari luar kawasan ini untuk memberi perhatian atas wacana dan karya-karya iklan yang bertarung di sini.
DOMINASI SINGAPURA, JEPANG DAN THAILAND
The King of Prints, julukan ini memang pantas disandang oleh Singapura. Seperti tahun-tahun sebelumnya, tahun ini biro-biro iklan dari Singapura kembali mendominasi peraihan penghargaan kategori Media Cetak. Termasuk penghargaan Best of Print yang diraih oleh TBWA Singapura lewat karya iklan Sphere 1/6th Action Figures. Sebagai negara dengan budaya membaca yang kuat, perkembangan iklan di Singapura memang terfokus di media cetak. Dari negara ini lahir berbagai kampanye iklan cetak yang fenomenal, dan lahir pula para kreator iklan cetak kelas dunia seperti Neil French dan Jim Atckinson (penulis buku periklanan Cutting Edge Advertising dan Cutting Edge Commercial).
Jepang, yang sudah jauh lebih mapan industri periklanannya, tetap menunjukkan kepiawaian melahirkan iklan-iklan yang brilian. Iklan-iklannya begitu sederhana dan ‘grafis’. Apapun mediumnya. Salah satu karya yang menyita perhatian adalah iklan media luar ruang untuk Adidas yang berjudul “Vertical Soccer” karya TBWA Jepang. Iklan yang meraih Best of Outdoor merupakan sebuah happening art di luar ruang, dimana mereka menggantung 2 orang peraga di puncak gedung yang sedang bermain bola di atas papan billboard bergambar lapangan sepakbola.
Bagaimana dengan sang tuan rumah, Thailand? Lebih dari sekedar keunggulan kreatif, kemajuan yang berhasil dicapai oleh industri periklanan Thailand dalam kurun waktu 5 tahun terakhir ini agaknya perlu menjadi sumber pelajaran yang berharga. Hasil yang dicapai Thailand dari Adfest tahun ini dan tahun lalu benar-benar menunjukkan kemampuan sumber daya periklanan Thailand mengembangkan diri. Jika tahun lalu karya-karya Saatchi & Saatchi Thailand yang mendominasi peraihan penghargaan, tahun ini giliran Euro RSCG Bangkok unjuk gigi. Karya-karya Euro RSCG Flagship, utamanya pada karya iklan televisi DVD Soken berjudul “Kill Bill… Kill Bill” yang meraih Best of Television dalam Adfest kali ini. Beserta sebagian besar karya-karya Thailand yang meraih penghargaan di tahun ini – terutama iklan televisi – terlihat jelas bahwa kreativitas periklanan mereka meningkat pesat. Iklan-iklan yang tampil menonjol tahun ini semakin mempertontonkan kepiawaian para kreatornya dalam menerjemahkan pengalaman nyata konsumen sehari-hari menjadi ide-ide yang kuat lewat eksekusi yang sederhana dan menghibur. Pada media televisi, terlihat sekali betapa 19 juri dari 13 negara yang diketuai oleh Tham Khai Meng, Co-Chairman, Asia Pacific Ogilvy & Mather, sangat fokus menganjar kekuatan ide sebagai factor utama penilaian. Beberapa pemenang utama bahkan dieksekusi dengan standar video berbiaya rendah tanpa teknik produksi yang canggih. Contohnya adalah seri iklan DVD Soken karya Euro RSCG Flagship Bangkok peraih Best of Film, seri iklan MC2 Awards karya Ogilvy & Mather Kuala Lumpur peraih Gold kategori Transport, Travel & Tourism Entertainment & Leisure, seri iklan sebuah stasiun radio Gold 90.5 FM berjudul Plumber dan Tennis karya Lowe & Partners Singapore peraih Silver dan Bronze di kategori Publication & Media, dan seri iklan UFJ Tsubasa Securities Bank karya D-Try Inc, Tokyo peraih Gold di kategori Corporate Image, dan lain sebagainya.
Menikmati karya-karya iklan pemenang Adfest VII terlihat jelas bahwa para kreator iklan maupun para pengambil keputusan akhir dalam proses persetujuan iklan tersebut tidak pernah berpretensi menganggap konsumennya bodoh dan sulit memahami pesan dan gagasan yang disampaikan. Dari sikap ini justru lahir iklan-iklan yang sederhana, fokus dan kuat yang mampu membuat konsumen memahami pesannya dan terhibur oleh idenya. Dari iklan-iklan tersebut, tidak nampak pula adanya teori khusus tentang local content yang konon diyakini banyak orang sebagai ‘rahasia sukses’ Thailand mengedepankan iklan-iklannya di ajang dunia. Sepanjang pengamatan penulis selama menikmati karya-karya pemenang Adfest tahun ini, semua gagasan bersifat universal walau menggunakan bahasa masing-masing negaranya. Bersama para praktisi iklan dari Vietnam, Jepang, Cina, India, Australia dan lainnya, penulis bisa sama-sama terhenyak iri, tertegun kagum dan juga tertawa menikmati iklan-iklan tersebut. Di arena ini, semua orang menggunakan satu bahasa yang sama: Big Idea.
MENCARI INDONESIA
Hampir semua pelaku industri periklanan di Asia tahu bahwa Adfest mampu mencapai posisi ini tak lepas dari kerja keras dan kekuatan visi yang dimiliki oleh industri periklanan Thailand. Lewat tangan dingin Vinit Suraphongchai, seorang praktisi periklanan senior yang mendedikasikan waktunya beberapa tahun terakhir ini sebagai Chairman dari Working Committee, Adfest kini bisa dipastikan menjadi salah satu kiblat penting periklanan Asia Pasifik. Bagi para kreator iklan di Asia Pasifik, Adfest telah menjadi semacam ritual ibadah profesi tahunan yang penting untuk mendalami perkembangan kreatif mutakhir sekaligus mengukur kemampuan diri dan menyerap perspektif dan visi kreatif dari berbagai negara lainnya.
Sejak tahun 2003, PPPI selaku penyelenggara ajang lomba iklan nasional Citra Pariwara telah memperbaharui visi Citra Pariwara untuk menjadi tempat bertolak iklan-iklan Indonesia bicara di ajang dunia, minimal setingkat Adfest. Tidak heran, kemudian, hasil Citra Pariwara 2004 yang baru usai serasa begitu kering kerontang dari penghargaan. Tidak ada satupun iklan peserta yang diganjar penghargaan emas. Termasuk penghargaan tertinggi Adhi Citra Pariwara (Best of The Best) yang untuk pertama kalinya dalam sejarah 17 tahun penyelenggaraan diputuskan oleh Dewan Juri tanpa pemenang.
Bila melihat kiprah Indonesia di ajang Adfest, sangat pantas rasanya Dewan Juri berkeras meningkatkan standar penilaian. Di Adfest tahun ini, dari 100 lebih iklan yang dikirim oleh peserta Indonesia, hanya 1 iklan cetak yang berhasil menembus posisi finalis (Iklan cetak Kotex karya Ogilvy Indonesia). Tahun-tahun sebelumnya, bahkan tidak satupun iklan Indonesia yang dapat meraih posisi terhormat dalam ajang ini.
Bagaimana kans iklan-iklan Indonesia dalam ajang festival iklan sekelas Adfest, Clio, Cannes di tahun-tahun mendatang? Ijinkan mengutip sebagian penjelasan yang disampaikan oleh Ariyanto Zaenal, Ketua Dewan Juri Citra Pariwara 2004 pada acara puncak penganugerahan Adhi Citra Pariwara tanggal 10 September silam: “…pemenangnya adalah keberanian kita untuk mengakui bahwa kita harus bekerja lebih keras di masa mendatang untuk mencapai standar yang lebih tinggi...”. Bagi penulis, ini merupakan sebuah pesan moral yang kuat kepada segenap kreator iklan Indonesia untuk berani mengakui bahwa jalan menuju ajang dunia bagi iklan-iklan Indonesia masih harus melalui upaya yang tidak kecil dan sederhana.
*Ditulis untuk pengantar pameran iklan Adfest 2004 Bentara Budaya - PPPI
‘CANNES ASIA’
Walau Adfest hanya melombakan karya-karya iklan dari negara di kawasan Asia Pacific, kualitas penyelenggaraan dan standar penilaian lomba yang ditetapkan, makin tahun makin menunjukkan ambisi penyelenggara untuk menjadikan Adfest sebagai salah pusat perkembangan kreativitas periklanan global. Ambisi Thailand untuk menjadikan Adfest sebagai ‘Cannes Asia’ (merujuk pada lomba iklan internasional tahunan Cannes Lyon sebagai salah satu ajang lomba iklan paling bergengsi di dunia) dapat dikatakan kini makin mendekati kenyataan. Tak aneh bila sebagian besar karya iklan yang menyabet penghargaan di Adfest juga berjaya di berbagai lomba iklan kelas dunia, seperti Cannes, Clio, D&AD, dan lainnya.
Sepanjang 3 hari penyelenggaraan di Royal Cliff Beach Resort Hotel Pattaya yang megah dan luas, kurang lebih 1.000 peserta dari berbagai penjuru dunia, utamanya para praktisi iklan di kawasan Asia Pasifik, benar-benar difokuskan ke dalam sebuah forum yang reflektif tentang pencapaian kreativitas periklanan kawasan Asia Pasifik. Lepas dari sekedar acara seremoni pemberian penghargaan kepada para pemenang, acara utama Adfest lebih mengedepankan sebuah proses penggalian terhadap dunia kreativitas periklanan. Para kreator iklan yang menjadi peserta dimanjakan dengan suguhan iklan-iklan peserta yang tidak cukup diamati dalam waktu sehari. Peserta benar-benar dibuat khusuk mengamati satu-per-satu karya iklan peserta Adfest untuk semua kategori dan jenis media.
Tak pelak, suasana tenang dan wajah-wajah tekun mendominasi area pameran iklan media cetak dan media non-televisi yang berada di satu kawasan. Sementara, di area lain tempat penayangan peserta iklan televisi dan film, kerap pecah gelak tawa para penonton menyaksikan sejumlah karya iklan yang benar-benar segar dan penuh kejutan yang menghibur. Selama 3 hari penuh, Adfest juga dipenuhi dengan kegiatan seminar yang menampilkan para kreator iklan kaliber dunia. John Hunt, Worldwide Creative Director TBWA/Worldwide, New York membuka khasanah para kreator iklan tentang solusi-solusi kreatif beyond advertising lewat presentasinya yang dipenuhi dengan beragam contoh kasus di manca negara yang bertajuk “The Idea is King”. Thanonchai Sornsriwichai dari griya produksi Phenomena Bangkok, salah seorang sutradara iklan yang kini berada di ranking 3 dunia dalam perolehan penghargaan atas karya-karya iklannya, dengan bahasa Inggris yang terpatah-patah memberi ‘pencerahan’ kepada para kreator iklan yang hadir tentang pentingnya PASSION dalam menggarap setiap ide yang dimiliki.
Di tahun ke 7, Adfest jelas telah berhasil menjadikan dirinya sebagai ajang lomba dan forum periklanan paling utama di kawasan Asia Pasifik. Tak hanya itu, Adfest bahkan berhasil menarik perhatian para praktisi periklanan dari luar kawasan ini untuk memberi perhatian atas wacana dan karya-karya iklan yang bertarung di sini.
DOMINASI SINGAPURA, JEPANG DAN THAILAND
The King of Prints, julukan ini memang pantas disandang oleh Singapura. Seperti tahun-tahun sebelumnya, tahun ini biro-biro iklan dari Singapura kembali mendominasi peraihan penghargaan kategori Media Cetak. Termasuk penghargaan Best of Print yang diraih oleh TBWA Singapura lewat karya iklan Sphere 1/6th Action Figures. Sebagai negara dengan budaya membaca yang kuat, perkembangan iklan di Singapura memang terfokus di media cetak. Dari negara ini lahir berbagai kampanye iklan cetak yang fenomenal, dan lahir pula para kreator iklan cetak kelas dunia seperti Neil French dan Jim Atckinson (penulis buku periklanan Cutting Edge Advertising dan Cutting Edge Commercial).
Jepang, yang sudah jauh lebih mapan industri periklanannya, tetap menunjukkan kepiawaian melahirkan iklan-iklan yang brilian. Iklan-iklannya begitu sederhana dan ‘grafis’. Apapun mediumnya. Salah satu karya yang menyita perhatian adalah iklan media luar ruang untuk Adidas yang berjudul “Vertical Soccer” karya TBWA Jepang. Iklan yang meraih Best of Outdoor merupakan sebuah happening art di luar ruang, dimana mereka menggantung 2 orang peraga di puncak gedung yang sedang bermain bola di atas papan billboard bergambar lapangan sepakbola.
Bagaimana dengan sang tuan rumah, Thailand? Lebih dari sekedar keunggulan kreatif, kemajuan yang berhasil dicapai oleh industri periklanan Thailand dalam kurun waktu 5 tahun terakhir ini agaknya perlu menjadi sumber pelajaran yang berharga. Hasil yang dicapai Thailand dari Adfest tahun ini dan tahun lalu benar-benar menunjukkan kemampuan sumber daya periklanan Thailand mengembangkan diri. Jika tahun lalu karya-karya Saatchi & Saatchi Thailand yang mendominasi peraihan penghargaan, tahun ini giliran Euro RSCG Bangkok unjuk gigi. Karya-karya Euro RSCG Flagship, utamanya pada karya iklan televisi DVD Soken berjudul “Kill Bill… Kill Bill” yang meraih Best of Television dalam Adfest kali ini. Beserta sebagian besar karya-karya Thailand yang meraih penghargaan di tahun ini – terutama iklan televisi – terlihat jelas bahwa kreativitas periklanan mereka meningkat pesat. Iklan-iklan yang tampil menonjol tahun ini semakin mempertontonkan kepiawaian para kreatornya dalam menerjemahkan pengalaman nyata konsumen sehari-hari menjadi ide-ide yang kuat lewat eksekusi yang sederhana dan menghibur. Pada media televisi, terlihat sekali betapa 19 juri dari 13 negara yang diketuai oleh Tham Khai Meng, Co-Chairman, Asia Pacific Ogilvy & Mather, sangat fokus menganjar kekuatan ide sebagai factor utama penilaian. Beberapa pemenang utama bahkan dieksekusi dengan standar video berbiaya rendah tanpa teknik produksi yang canggih. Contohnya adalah seri iklan DVD Soken karya Euro RSCG Flagship Bangkok peraih Best of Film, seri iklan MC2 Awards karya Ogilvy & Mather Kuala Lumpur peraih Gold kategori Transport, Travel & Tourism Entertainment & Leisure, seri iklan sebuah stasiun radio Gold 90.5 FM berjudul Plumber dan Tennis karya Lowe & Partners Singapore peraih Silver dan Bronze di kategori Publication & Media, dan seri iklan UFJ Tsubasa Securities Bank karya D-Try Inc, Tokyo peraih Gold di kategori Corporate Image, dan lain sebagainya.
Menikmati karya-karya iklan pemenang Adfest VII terlihat jelas bahwa para kreator iklan maupun para pengambil keputusan akhir dalam proses persetujuan iklan tersebut tidak pernah berpretensi menganggap konsumennya bodoh dan sulit memahami pesan dan gagasan yang disampaikan. Dari sikap ini justru lahir iklan-iklan yang sederhana, fokus dan kuat yang mampu membuat konsumen memahami pesannya dan terhibur oleh idenya. Dari iklan-iklan tersebut, tidak nampak pula adanya teori khusus tentang local content yang konon diyakini banyak orang sebagai ‘rahasia sukses’ Thailand mengedepankan iklan-iklannya di ajang dunia. Sepanjang pengamatan penulis selama menikmati karya-karya pemenang Adfest tahun ini, semua gagasan bersifat universal walau menggunakan bahasa masing-masing negaranya. Bersama para praktisi iklan dari Vietnam, Jepang, Cina, India, Australia dan lainnya, penulis bisa sama-sama terhenyak iri, tertegun kagum dan juga tertawa menikmati iklan-iklan tersebut. Di arena ini, semua orang menggunakan satu bahasa yang sama: Big Idea.
MENCARI INDONESIA
Hampir semua pelaku industri periklanan di Asia tahu bahwa Adfest mampu mencapai posisi ini tak lepas dari kerja keras dan kekuatan visi yang dimiliki oleh industri periklanan Thailand. Lewat tangan dingin Vinit Suraphongchai, seorang praktisi periklanan senior yang mendedikasikan waktunya beberapa tahun terakhir ini sebagai Chairman dari Working Committee, Adfest kini bisa dipastikan menjadi salah satu kiblat penting periklanan Asia Pasifik. Bagi para kreator iklan di Asia Pasifik, Adfest telah menjadi semacam ritual ibadah profesi tahunan yang penting untuk mendalami perkembangan kreatif mutakhir sekaligus mengukur kemampuan diri dan menyerap perspektif dan visi kreatif dari berbagai negara lainnya.
Sejak tahun 2003, PPPI selaku penyelenggara ajang lomba iklan nasional Citra Pariwara telah memperbaharui visi Citra Pariwara untuk menjadi tempat bertolak iklan-iklan Indonesia bicara di ajang dunia, minimal setingkat Adfest. Tidak heran, kemudian, hasil Citra Pariwara 2004 yang baru usai serasa begitu kering kerontang dari penghargaan. Tidak ada satupun iklan peserta yang diganjar penghargaan emas. Termasuk penghargaan tertinggi Adhi Citra Pariwara (Best of The Best) yang untuk pertama kalinya dalam sejarah 17 tahun penyelenggaraan diputuskan oleh Dewan Juri tanpa pemenang.
Bila melihat kiprah Indonesia di ajang Adfest, sangat pantas rasanya Dewan Juri berkeras meningkatkan standar penilaian. Di Adfest tahun ini, dari 100 lebih iklan yang dikirim oleh peserta Indonesia, hanya 1 iklan cetak yang berhasil menembus posisi finalis (Iklan cetak Kotex karya Ogilvy Indonesia). Tahun-tahun sebelumnya, bahkan tidak satupun iklan Indonesia yang dapat meraih posisi terhormat dalam ajang ini.
Bagaimana kans iklan-iklan Indonesia dalam ajang festival iklan sekelas Adfest, Clio, Cannes di tahun-tahun mendatang? Ijinkan mengutip sebagian penjelasan yang disampaikan oleh Ariyanto Zaenal, Ketua Dewan Juri Citra Pariwara 2004 pada acara puncak penganugerahan Adhi Citra Pariwara tanggal 10 September silam: “…pemenangnya adalah keberanian kita untuk mengakui bahwa kita harus bekerja lebih keras di masa mendatang untuk mencapai standar yang lebih tinggi...”. Bagi penulis, ini merupakan sebuah pesan moral yang kuat kepada segenap kreator iklan Indonesia untuk berani mengakui bahwa jalan menuju ajang dunia bagi iklan-iklan Indonesia masih harus melalui upaya yang tidak kecil dan sederhana.
*Ditulis untuk pengantar pameran iklan Adfest 2004 Bentara Budaya - PPPI
Subscribe to:
Posts (Atom)