Rabu, 14 Desember 2005. 57 mahasiswa/i Semester 7 jurusan DKV (Desain Komunikasi Visual) Universitas Tarumanegara (Untar) mengikuti Ujian Akhir Semester. Mereka menerima selembar soal berisi 3 pertanyaan sederhana dari saya untuk mata kuliah Periklanan II yang harus mereka selesaikan selama 1,5 jam.
Apakah jawaban mereka di atas selembar atau dua lembar kertas kosong tersebut dapat dipakai untuk mengukur tingkat keberhasilan mereka memahami dunia periklanan? Sudah pasti tidak! Bahkan waktu satu semester pun – kurang lebih 12 kali pertemuan setiap Rabu pagi selama 1,5 jam – saya yakin tidak mampu menjamin hal tersebut.
Lalu kenapa saya menerima tawaran untuk jadi dosen di Untar?
Ketika Mas Adiet (Arief Adityawan), kenalan saya yang juga adalah Ketua Jurusan DKV Untar menawarkan, dalam kapasitas sebagai seorang praktisi periklanan, untuk ikut mengajar agar para mahasiswa/i dapat mengenal dunia periklanan langsung dari para pelakunya, saya pikir tidak ada salahnya saya coba. Apalagi saya tak sendiri. Gandhi Suryoto, Creative Director Dentsu; Randy Rinaldi, Creative Director Leo Burnett Kreasindo; Nico Owen, Art Director BBDO dan pemenang Daun Muda Award 2005, juga berhasil ‘dirayu’ oleh Mas Adiet untuk mengajar atau menjadi pembimbing Tugas Akhir di sana.
Tapi setelah saya iyakan, saya malah keder sendiri. Pertama: ini pengalaman pertama saya mengajar. Walau pernah beberapa kali jadi pembicara di seminar atau workshop tentang periklanan, mengajar tentu persoalan berbeda. Kedua: saya ini kuliahnya saja DO alias drop out. Bukan ‘contoh’ yang baik buat para mahasiswa/i. Anehnya di kotak surat ruang dosen saya malah dapat gelar ‘gratisan’: Ricky Pesik, S.Sn. hehehe. Ketiga: saya sama sekali tidak dibekali silabus. Bahkan tujuan memberi kuliah selama satu semester hanya dibekali dengan ucapan: “Terserah Mas Ricky. Mas kan sudah pengalaman di industri ini, tentu tahu apa yang diperlukan oleh mahasiswa/i untuk masuk ke industri ini.” Nah lho! Jadi saja saya tambah keder!
Saya pun coba menduga-duga. Sebagian besar mahasiswa/I tentu masuk DKV karena merasa memiliki bakat atau minat pada urusan gambar-menggambar. Sebagian lagi mungkin hanya ikut-ikutan saja memilih jurusan yang kian popular ini. Sebagiannya lagi, mungkin, pokoknya asal kuliah saja. Menyandang status mahasiwa/i. Dengan asumsi seperti ini saya pikir tidak semua mahasiswa/i akan tertarik untuk masuk ke dunia periklanan. Materi Periklanan apa yang sebaiknya saya sampaikan kepada mereka?
Bila melihat semua materi kuliah di jurusan ini, bejibun mata kuliah siap mengasah ketrampilan teknis mereka untuk urusan visual. Termasuk ketrampilan art direction dan penulisan naskah iklan. Jadi saya putuskan sendiri, sebaiknya saya back to basic. Saya mau mencoba mengajak mereka untuk membiasakan diri berpikir menelusur. Maksudnya, di balik setiap iklan – dari yang canggih, keren, kreatif sampai yang kacangan, butut dan kampungan (mungkin) -- sejatinya terdapat proses panjang yang dapat mengurai pokok-pokok pikiran strategisnya. Dari sana bisa dikenali, dipelajari dan dipahami sistematika berpikirnya. Ujungnya, saya berharap mereka bisa mengerti bahwa setiap iklan itu memerlukan proses berpikir yang tidak ‘kacangan’ untuk sampai ke ide yang hebat. Syukur-syukur, kalau tertarik, berinisiatif untuk mempelajari sendiri lebih dalam tentang proses strategic thinking dan planning. Lebih hebat lagi bila ada 1 atau 2 saja dari mereka yang sanggup menjadikan strategic thinking menjadi semacam ‘way of life’. Keanekaragaman kehidupan manusia sehari-hari akan menjadi tempat melakukan ‘riset’ yang tak ada habis-habisnya untuk digali, dipelajari dan dipahami, bukan?
Makanya, dengan niat seperti itu, saya tidak melihat lagi urgensi dari sebuah ujian formal seperti yang terlihat di foto. Dengan objective di atas, ujian terberat justru akan mereka hadapi di kehidupan sehari-hari. Ujian terberat justru adalah bagaimana mereka menetapkan dan melakoni masa depan mereka dengan sikap yang lebih jelas. Termasuk memutuskan, apakah industri periklanan adalah masa depan mereka atau bukan. Ujian terberat ada di tangan mereka sendiri. Dalam waktu dekat ini.
1 comment:
Pak dosen, jangan diajarin bikin happening art atau poster demo yaks! he he he...
Post a Comment