Tuesday, November 29, 2005

JiFFest Datang Lagi

Jakarta International Film Festival (JiFFest) datang lagi. Tapi saya bukan mau cerita soal film-film yang bakal diputar. Soal itu, tengok saja blognya Totot Indrarto (www.pakde.com), sahabat sekaligus sejawat kantor saya yang terkenal fasih sekali bicara tentang film. Atau kalau mau lihat film-film dan jadwal langsung saja klik ke www.jiffest.org

Di tulisan ini, saya ingin mengungkap sedikit pandangan tentang problem JiFFest yang muncul di harian Kompas tanggal 27 November 2005 dengan tajuk “JIFFest menuju Antiklimaks”. JiFFest 2005 (9 - 18 Desember 2005) yang sudah memasuki tahun ke 7 ini kelihatan tidak jadi lebih mudah, walaupun untuk tahun ini akan menjadi kegiatan terbesar yang pernah diselenggarakan.

Saya termasuk orang yang beruntung punya pengetahuan sedikit lebih tentang penyelenggaraan JiFFest. Pertama, karena selama 3 tahun, Yap Thiam Hien Award (YTHA) – sebuah lembaga yang memberi penghargaan tahunan kepada individu maupun institusi yang dinilai berperan besar dalam bidang penegakan hak-hak asasi manusia di Indonesia -- pernah menjadi mitra strategis JiFFest untuk section film-film Human Rights (2002-2004). Di YTHA saya pernah menjadi Ketua Komite Pelaksana selama 5 tahun (mulai tahun ini tidak lagi terlibat). Kedua, Penny, isteri saya, bekerja di Yayasan Masyarakat Mandiri Film Indonesia (YMMFI) yang menaungi kegiatan JiFFest. Penny di JiFFest 2005 menjadi Operational Manager. Jadi, sedikit-sedikit saya mengikuti keluh kesah mereka kerja berjibaku menyiapkan JiFFest dari tahun ke tahun.

Seperti diungkap Orlow Seunke (Director) maupun Shanty Harmayn (Chairman) kepada Kompas, problem mendasar JiFFest adalah upaya penggalangan dana, baik dari institusi maupun sponsor, selalu harus dimulai dari nol setiap tahun. Berbeda sekali dengan penyelenggara film festival di manca negara seperti Singapore, Bangkok, Pusan, dan lain-lain yang sudah memiliki dukungan dana yang tetap dari otoritas pemerintah terkait sehingga bisa berkonsentrasi menyiapkan kegiatan festival yang mumpuni, penyelenggara JiFFest ternyata harus berjibaku mencari dukungan dana setiap tahun. Sepanjang penglihatan saya, hal ini sangat menyita waktu terbesar dari aktivitas panitia. Fakta yang tidak aneh, karena selama 5 tahun terlibat dalam kepanitiaan penyelenggaraan YTHA, saya juga menghadapi problem serupa. Hanya porsinya saja yang lebih kecil.

Selain tidak adanya dukungan dana yang signifikan dari pemerintah, salah satu titik pangkal adalah juga persoalan kompensasi nilai komersial yang dituntut pihak sponsor kepada panitia. Setiap sponsor, dengan kerangka berpikir bisnis belaka seperti layaknya menyelenggarakan sebuah below the line akan melakukan negosiasi ‘dagang’, membayar sekecil-kecilnya untuk mendapat sebesar-besarnya. Sementara JiFFest, yang sejatinya punya sasaran jangka panjang untuk menempatkan Jakarta dalam peta perfilman dunia sekaligus menjadi alternatif bagi masyarakat untuk mengapresiasi kekayaan budaya dari berbagai belahan dunia melalui media film, hampir tak mungkin hidup dengan metode ‘dagang’ model begitu.

JiFFest, sebagai sebuah film festival yang masuk dalam agenda festival-festival film dunia, harus mengalokasikan dana yang besar untuk membayar royalti film-film yang diputar. Dengan biaya mencapai kurang lebih 500 sampai 1500 euro per film untuk 3-4 kali screening (beberapa film bahkan hanya 1-2 kali screening), panitia jelas menerapkan subsidi bagi para penonton yang hanya membayar tiket 10.000 – 20.000 rupiah. Belum lagi biaya mendatangkan dan mengembalikan setiap film yang dipinjam. Belum juga biaya kerja kepanitiaan yang melibatkan lebih dari 100 tenaga relawan lepas dalam setiap penyelenggaraan. Bila setiap sponsor menuntut bentuk manfaat komersial yang mereka peroleh vis-à-vis dengan dana yang mereka berikan, darimana mereka memperoleh biaya untuk mendatangkan dan menyelenggarakan festival? Memang selama ini JiFFest juga mendapat dukungan dari lembaga donor asing (ironisnya komitmen terbesar dan kontinyu justru diperoleh JiFFest dari mereka), namun ini sungguh kondisi yang tidak ideal untuk jangka panjang. Ataukah memang kegiatan semacam ini take it for granted hanya bisa berjalan di Indonesia bila mendapat dukungan penuh dari donor asing? Betapa ironisnya…

Tapi, bila masih ada harapan, sejatinya penyelenggaraan kegiatan sosial atau kultural macam ini tidak bisa dilihat oleh para sponsor dalam kerangka keuntungan pemasaran semata-mata. Ajang semacam JiFFest, YTHA dan lainnya selayaknya didukung dalam kerangka program Corporate Social Responsibility (CSR), sebuah istilah yang kini sedang digandrungi oleh banyak perusahaan tapi pada kenyataannya masih diterapkan setengah hati.

Di negara-negara maju dan berkesadaran untuk maju, kegiatan sosial dan kultural semacam JiFFest memang selalu menjadi agenda penting pemerintah/negara. Sementara pihak swasta umumnya mendukung dalam bentuk CSR. Komitmen dukungan juga bersifat jangka panjang karena mereka menyadari sepenuhnya hasil yang dicapai tidak akan terlihat dalam waktu singkat dan lebih bersifat intangible. Namun ujung dari semua hasil akan sangat berarti bagi kemajuan peradaban masyarakat dan bangsa itu sendiri. Kemajuan peradaban masyarakat tentu akan lebih memudahkan terjadinya peningkatan dan pemerataan kesejahteraan sehingga pada akhirnya membawa manfaat kepada para pendukungnya, baik pemerintah maupun perusahaan.

Sayangnya, komitmen seperti inilah yang belum diperoleh oleh JiFFest setelah mereka bergelut selama 7 tahun. Saya yakin pasti sangat melelahkan buat mereka. Tak heran bila Orlow Seunke, yang saya dengar punya enerji ekstra besar dan persistensi yang luar biasa untuk menjadikan JiFFest sebagai festival penting di peta dunia, dengan muka lelah dan agak frustasi mengatakan tahun depan akan mengundurkan diri sebagai Direktur JiFFest.

Saya jadi khawatir, masihkah kita bisa menikmati JiFFest di tahun-tahun mendatang bila kondisinya masih seperti ini? Bila orang sekaliber Orlow -- yang telah berjibaku mati-matian untuk meyakinkan ratusan pihak dengan segenap pikiran, tenaga dan waktunya – merasa frustasi dan tidak bisa melihat ‘titik terang’ di depan, bagaimana dengan kita yang notabene hanyalah sekedar para penonton setia JiFFest?

Kekhawatiran ini sempat membuat saya berangan-angan, apakah mungkin puluhan ribu penonton setia JiFFest selama ini yang tetap ingin JiFFest datang terus setiap tahun – ramai-ramai menandatangani semacam petisi untuk diajukan ke pihak Departemen Kebudayaan dan Pariwisata maupun Pemerintah Daerah DKI Jakarta menuntut mereka memastikan dukungan dan keberlangsungan JiFFest setiap tahun? Ah sudahlah, namanya juga cuma angan-angan. Memangnya akan didengar dan diperhatikan juga bila 'segelintir' penonton JiFFest menuntut seperti itu? Jangan-jangan nanti malah dituduh 'kenes' dan 'genit' pula, hahaha

Atau memang tidak perlu kita pusingkan. Ada JiFFest kita senang. Tidak ada, ya tidak apa-apa, toh hidup kita bakal baik-baik saja. Jakarta masih akan tetap berkembang. Masih banyak mal yang akan dibangun. Masih banyak trade center yang akan berdiri. Masih banyak patung pahlawan yang sedang dibuat. Masih banyak taman yang sedang dipercantik. Dan masih banyak lain-lainnya yang membutuhkan biaya jauh berlipat-lipat daripada 'sekedar' sebuah festival film…

Sekarang mumpung JiFFest datang lagi, mari kita nonton. Menjadi penonton toh juga merupakan bagian dari dukungan kita terhadap eksistensi JiFFest. Siapa tahu otoritas yang seharusnya berkepentingan lalu jadi mudheng, kalau warga Jakarta juga memerlukan kegiatan semacam JiFFest sehingga mereka mau mendukung JiFFest setiap tahun dengan dana yang lebih pantas. Siapa tahu kan? Kalau ya, kan kita bisa menikmati film-film berkualitas dengan lebih banyak lagi. Untung kan? he..he..he..

1 comment:

Ricky Pesik said...

Usul kamu sudah saya sampaikan ke panitia, hehehe

Soal iklan hanya salah satu cara. Bisa tidak efektif kalau hanya 'sendiri'. Perlu ada lobi dan tekanan publik.

Kalau mau, caranya harus dipikirkan masak-masak tuh, hehehe