Tuesday, November 29, 2005

JiFFest Datang Lagi

Jakarta International Film Festival (JiFFest) datang lagi. Tapi saya bukan mau cerita soal film-film yang bakal diputar. Soal itu, tengok saja blognya Totot Indrarto (www.pakde.com), sahabat sekaligus sejawat kantor saya yang terkenal fasih sekali bicara tentang film. Atau kalau mau lihat film-film dan jadwal langsung saja klik ke www.jiffest.org

Di tulisan ini, saya ingin mengungkap sedikit pandangan tentang problem JiFFest yang muncul di harian Kompas tanggal 27 November 2005 dengan tajuk “JIFFest menuju Antiklimaks”. JiFFest 2005 (9 - 18 Desember 2005) yang sudah memasuki tahun ke 7 ini kelihatan tidak jadi lebih mudah, walaupun untuk tahun ini akan menjadi kegiatan terbesar yang pernah diselenggarakan.

Saya termasuk orang yang beruntung punya pengetahuan sedikit lebih tentang penyelenggaraan JiFFest. Pertama, karena selama 3 tahun, Yap Thiam Hien Award (YTHA) – sebuah lembaga yang memberi penghargaan tahunan kepada individu maupun institusi yang dinilai berperan besar dalam bidang penegakan hak-hak asasi manusia di Indonesia -- pernah menjadi mitra strategis JiFFest untuk section film-film Human Rights (2002-2004). Di YTHA saya pernah menjadi Ketua Komite Pelaksana selama 5 tahun (mulai tahun ini tidak lagi terlibat). Kedua, Penny, isteri saya, bekerja di Yayasan Masyarakat Mandiri Film Indonesia (YMMFI) yang menaungi kegiatan JiFFest. Penny di JiFFest 2005 menjadi Operational Manager. Jadi, sedikit-sedikit saya mengikuti keluh kesah mereka kerja berjibaku menyiapkan JiFFest dari tahun ke tahun.

Seperti diungkap Orlow Seunke (Director) maupun Shanty Harmayn (Chairman) kepada Kompas, problem mendasar JiFFest adalah upaya penggalangan dana, baik dari institusi maupun sponsor, selalu harus dimulai dari nol setiap tahun. Berbeda sekali dengan penyelenggara film festival di manca negara seperti Singapore, Bangkok, Pusan, dan lain-lain yang sudah memiliki dukungan dana yang tetap dari otoritas pemerintah terkait sehingga bisa berkonsentrasi menyiapkan kegiatan festival yang mumpuni, penyelenggara JiFFest ternyata harus berjibaku mencari dukungan dana setiap tahun. Sepanjang penglihatan saya, hal ini sangat menyita waktu terbesar dari aktivitas panitia. Fakta yang tidak aneh, karena selama 5 tahun terlibat dalam kepanitiaan penyelenggaraan YTHA, saya juga menghadapi problem serupa. Hanya porsinya saja yang lebih kecil.

Selain tidak adanya dukungan dana yang signifikan dari pemerintah, salah satu titik pangkal adalah juga persoalan kompensasi nilai komersial yang dituntut pihak sponsor kepada panitia. Setiap sponsor, dengan kerangka berpikir bisnis belaka seperti layaknya menyelenggarakan sebuah below the line akan melakukan negosiasi ‘dagang’, membayar sekecil-kecilnya untuk mendapat sebesar-besarnya. Sementara JiFFest, yang sejatinya punya sasaran jangka panjang untuk menempatkan Jakarta dalam peta perfilman dunia sekaligus menjadi alternatif bagi masyarakat untuk mengapresiasi kekayaan budaya dari berbagai belahan dunia melalui media film, hampir tak mungkin hidup dengan metode ‘dagang’ model begitu.

JiFFest, sebagai sebuah film festival yang masuk dalam agenda festival-festival film dunia, harus mengalokasikan dana yang besar untuk membayar royalti film-film yang diputar. Dengan biaya mencapai kurang lebih 500 sampai 1500 euro per film untuk 3-4 kali screening (beberapa film bahkan hanya 1-2 kali screening), panitia jelas menerapkan subsidi bagi para penonton yang hanya membayar tiket 10.000 – 20.000 rupiah. Belum lagi biaya mendatangkan dan mengembalikan setiap film yang dipinjam. Belum juga biaya kerja kepanitiaan yang melibatkan lebih dari 100 tenaga relawan lepas dalam setiap penyelenggaraan. Bila setiap sponsor menuntut bentuk manfaat komersial yang mereka peroleh vis-à-vis dengan dana yang mereka berikan, darimana mereka memperoleh biaya untuk mendatangkan dan menyelenggarakan festival? Memang selama ini JiFFest juga mendapat dukungan dari lembaga donor asing (ironisnya komitmen terbesar dan kontinyu justru diperoleh JiFFest dari mereka), namun ini sungguh kondisi yang tidak ideal untuk jangka panjang. Ataukah memang kegiatan semacam ini take it for granted hanya bisa berjalan di Indonesia bila mendapat dukungan penuh dari donor asing? Betapa ironisnya…

Tapi, bila masih ada harapan, sejatinya penyelenggaraan kegiatan sosial atau kultural macam ini tidak bisa dilihat oleh para sponsor dalam kerangka keuntungan pemasaran semata-mata. Ajang semacam JiFFest, YTHA dan lainnya selayaknya didukung dalam kerangka program Corporate Social Responsibility (CSR), sebuah istilah yang kini sedang digandrungi oleh banyak perusahaan tapi pada kenyataannya masih diterapkan setengah hati.

Di negara-negara maju dan berkesadaran untuk maju, kegiatan sosial dan kultural semacam JiFFest memang selalu menjadi agenda penting pemerintah/negara. Sementara pihak swasta umumnya mendukung dalam bentuk CSR. Komitmen dukungan juga bersifat jangka panjang karena mereka menyadari sepenuhnya hasil yang dicapai tidak akan terlihat dalam waktu singkat dan lebih bersifat intangible. Namun ujung dari semua hasil akan sangat berarti bagi kemajuan peradaban masyarakat dan bangsa itu sendiri. Kemajuan peradaban masyarakat tentu akan lebih memudahkan terjadinya peningkatan dan pemerataan kesejahteraan sehingga pada akhirnya membawa manfaat kepada para pendukungnya, baik pemerintah maupun perusahaan.

Sayangnya, komitmen seperti inilah yang belum diperoleh oleh JiFFest setelah mereka bergelut selama 7 tahun. Saya yakin pasti sangat melelahkan buat mereka. Tak heran bila Orlow Seunke, yang saya dengar punya enerji ekstra besar dan persistensi yang luar biasa untuk menjadikan JiFFest sebagai festival penting di peta dunia, dengan muka lelah dan agak frustasi mengatakan tahun depan akan mengundurkan diri sebagai Direktur JiFFest.

Saya jadi khawatir, masihkah kita bisa menikmati JiFFest di tahun-tahun mendatang bila kondisinya masih seperti ini? Bila orang sekaliber Orlow -- yang telah berjibaku mati-matian untuk meyakinkan ratusan pihak dengan segenap pikiran, tenaga dan waktunya – merasa frustasi dan tidak bisa melihat ‘titik terang’ di depan, bagaimana dengan kita yang notabene hanyalah sekedar para penonton setia JiFFest?

Kekhawatiran ini sempat membuat saya berangan-angan, apakah mungkin puluhan ribu penonton setia JiFFest selama ini yang tetap ingin JiFFest datang terus setiap tahun – ramai-ramai menandatangani semacam petisi untuk diajukan ke pihak Departemen Kebudayaan dan Pariwisata maupun Pemerintah Daerah DKI Jakarta menuntut mereka memastikan dukungan dan keberlangsungan JiFFest setiap tahun? Ah sudahlah, namanya juga cuma angan-angan. Memangnya akan didengar dan diperhatikan juga bila 'segelintir' penonton JiFFest menuntut seperti itu? Jangan-jangan nanti malah dituduh 'kenes' dan 'genit' pula, hahaha

Atau memang tidak perlu kita pusingkan. Ada JiFFest kita senang. Tidak ada, ya tidak apa-apa, toh hidup kita bakal baik-baik saja. Jakarta masih akan tetap berkembang. Masih banyak mal yang akan dibangun. Masih banyak trade center yang akan berdiri. Masih banyak patung pahlawan yang sedang dibuat. Masih banyak taman yang sedang dipercantik. Dan masih banyak lain-lainnya yang membutuhkan biaya jauh berlipat-lipat daripada 'sekedar' sebuah festival film…

Sekarang mumpung JiFFest datang lagi, mari kita nonton. Menjadi penonton toh juga merupakan bagian dari dukungan kita terhadap eksistensi JiFFest. Siapa tahu otoritas yang seharusnya berkepentingan lalu jadi mudheng, kalau warga Jakarta juga memerlukan kegiatan semacam JiFFest sehingga mereka mau mendukung JiFFest setiap tahun dengan dana yang lebih pantas. Siapa tahu kan? Kalau ya, kan kita bisa menikmati film-film berkualitas dengan lebih banyak lagi. Untung kan? he..he..he..

Wednesday, November 23, 2005

'Sogo Jongkok' Parking

Sudah lama saya penasaran dengan mobil-mobil yang sering parkir di jalan antara Hotel Indonesia dan Hotel Wisata (sekarang Hotel Wisata sudah rata dengan tanah dan Hotel Indonesia separuhnya juga sudah bablas. Di kawasan ini sedang dibangun kompleks baru bernama Grand Indonesia). Di pinggir jalan tersebut, yang bukan kawasan parkir, kerap saya lihat puluhan mobil parkir. Mobilnya pun macam-macam. Saya bahkan sering melihat mobil Jaguar, Mercedes terbaru, BMW anyar sampai Range Rover Vouge yang gagah parkir di pinggir sana. Kenapa mereka parkir di sana?

Kemungkinan pertama: supir-supir mencari makan di warung-warung di sekitar situ, sementara bosnya sedang berada di Plaza Indonesia (PI). Anehnya, saya sering lihat mobil tersebut berjam-jam parkir di situ. Berarti si supir selesai makan tidak memarkir mobilnya ke dalam Plaza Indonesia.

Kemungkinan kedua: Selain mencari makan (maupun tidak), supir-supir itu sengaja tidak parkir di PI untuk menghemat uang parkir. Kalau bosnya punya acara sampai 5 jam di sana, berarti si supir berhasil menghemat 8.000 perak (uang parkir 5 jam di PI dikurangi 2.000 perak untuk 'jatah preman' di sana). Uang hasil penghematan boleh dikantongi oleh si supir. Syukurlah kalau begitu. Lumayan kalau bosnya tiap hari meeting/belanja/kongkow di PI. Moga-moga ini dugaan paling betul.

Kemungkinan ketiga: Si supir menjalankan perintah bosnya untuk parkir di sana guna menghemat uang parkir. Tapi hasil penghematan tidak dinikmati si supir. Walau saya tidak mau berpikiran sinis, tapi bukan tidak mungkin kemungkinan tersebut ada. Betapa keterlaluannya. Jangan-jangan benar guyonan yang bilang kalau mau kaya harus pelit. Tapi ya masa sampai musti sepelit itu ya? Wong mobilnya aja milyaran. Kalau benar, edan juga.

Kapan-kapan kepingin nongkrong di warung sana dan ngobrol sama supir-supir sambil 'investigasi' ah!

Tuesday, November 22, 2005

Dibuat 1994, Favorit 2005

Tanggal 30 September 2005 lalu, di milis para alumni Satucitra, Zaenul Muchtadien alumni Satucitra yang sekarang jadi Media Director di Hotline Advertising, memposting pesan berikut:

Kemarin saya datang ke acara 3rd Elshinta Award 2005 ternyata
Radio Alam Sutera (jingle ‘Armand Maulana’) - raih Elshinta award - iklan yang disukai pendengar.

Selamat buat Pak Ricky, dkk

Zainul M


Jingle tersebut dibuat oleh Satucitra pada tahun 1994. Pada saat itu saya copywriternya. Komposernya Doti Nugroho (Twodees) yang dikenal sebagai seorang musisi bertangan dingin yang banyak melahirkan jingle populer. Kliennya adalah Argo Manunggal Group, pemilik lahan 700 hektar lebih di kawasan Serpong yang bermaksud membangun sebuah pemukiman modern baru berkonsep Residential & Lifestyle Community. Rancangan pemukiman dibuat oleh sebuah perusahaan urban planning ternama dari Amerika Serikat, sedangkan logonya dibuat oleh sebuah biro desain Australia. Saat ini Alam Sutera sendiri bukan lagi klien Satucitra. Setelah ditangani lebih dari 7 tahun, mereka hijrah ke biro iklan lain. Kabarnya sekarang ditangani oleh Gama Ad.

If you have nothing to say, sing it!” Itulah nasehat legendaris dari nabi periklanan modern David Ogilvy di buku Ogilvy On Advertising. Sebuah kredo yang diamini oleh banyak sekali pekerja kreatif hingga hari ini.

Lalu, apakah jingle Alam Sutera juga bias dibilang mengikuti kredonya Ogilvy? Tidak sepenuhnya benar. Di masa itu, ketika ibukota Jakarta booming dengan real estate baru, pilihan media massa favorit adalah iklan cetak di surat kabar (khususnya harian Kompas) dan radio. Pada saat itu, untuk iklan radio real estate, jingle jadi semacam mandatory (kewajiban). Biasanya dibuat dalam pola ‘donat’ alias ada ruang kosong di tengah tanpa suara penyanyi yang nantinya mudah diisi voice over yang menyampaikan berbagai program atau kegiatan dari real estate tersebut.

Konsep Residential & Lifestyle Community yang tertuang dalam masterplan Alam Sutera sendiri sesungguhnya memiliki banyak hal menarik, utamanya pada masa tersebut, untuk dikatakan. Desain pemukiman yang mengacu pada salah satu model perumahan terbaik di Los Angeles ini bahkan mengantar sejumlah tim untuk melakukan photosession ke Los Angeles langsung. Enin Supriyanto (Creative Director), Ima Susanti (Art Director) dan Joyce Tenardhi (Account Manager) yang menangani kampanye berangkat bersama tim fotografer Lee Japp ke sana untuk pengambilan gambar. Sebuah ‘kemewahan’ yang mungkin takkan terulang untuk sebuah kampanye periklanan perumahan di masa sekarang. Sayangnya, kampanye iklan hasil pemotretan di sana nasibnya hanya jadi ‘pajangan’ di kantor pemasaran. Apa yang terjadi? Sebuah iklan launching 1 halaman yang hanya memuat ilustrasi masterplan di harian Kompas membuat seluruh rumah yang tersedia habis terjual dalam waktu satu minggu. Seperti biasa, khas real estate, kegiatan periklanan pun harus dihentikan karena tidak ada lagi yang mau dijual.

Kembali ke urusan jingle yang meraih Elshinta Award 2005 ini. Saya sendiri tidak menduga jingle tersebut masih popular hingga sekarang. Pada saat diputar di berbagai radio di Jakarta tahun 1994, jingle ini cukup popular di kalangan pendengar radio. Walau tidak memenangkan award apa pun pada saat itu, saya berani bilang dengan pede bahwa jingle ini dikenali dan disukai banyak orang. Menariknya, jingle yang disukai pendengar ini ternyata bukan pilihan utama Satucitra dan Twodees pada saat itu. Ini adalah jingle kedua. Jingle yang pertama dan sekaligus unggulan dinyanyikan oleh Oppie. Dibuat dengan mood yang lebih personal dan kontemplatif. Karakternya jauh lebih kuat. Klien bukannya tidak menyukai. Hanya mereka juga ingin menampilkan suasana yang lebih ‘megah’ dan riang. Pada saat versi kedua dibuat, tanpa perubahan lirik, klien senang tapi sempat juga ragu. Karena jingle pertama memang tak bisa dipungkiri memiliki kekuatan karakter yang lebih kuat. Akhirnya, selera orang banyak menjadi 'hakim'. Dan jingle kedua yang dinyanyikan oleh Armand Maulana (waktu itu belum mendirikan GIGI) yang diputuskan tayang. Entah apa yang terjadi bila jingle pertama ini yang tayang, apakah akan tetap disukai pendengar seperti yang sekarang? Yang jelas jingle pertama ini kemudian diadopsi telak-telak untuk salah satu iklan televisi merek elektronik. Iklan itu berhasil meraih perunggu pada Citra Pariwara. Saya lupa tahun 1995 atau 1996. Selamat deh.

Saya sebenarnya bermaksud mengulas lebih jauh tentang lirik jingle yang saya buat ini, dan beberapa jingle lain yang pernah saya buat bersama Doti pada masa itu. Saya memang sudah lama ingin menulis tentang lirik jingle dari perspektif kerja kreatif periklanan, bukan semata sebuah kerja artistik seperti menulis lirik lagu. Tentu cuma berdasarkan pengalaman yang pernah saya alami saja. Sayangnya, kurang afdol bila tulisan tersebut tidak bisa memperdengarkan jingle yang saya ulas. Sialnya, saya masih 'gaptek' urusan blog dan belum mengerti teknik memasang audio file di blog. Maka rencana itu pun saya tunda dulu. Sabar ya, hehehe...

Thursday, November 17, 2005

Berkat sepotong kabel

Sebagai bagian dari generasi yang tumbuh di era 'baca-tulis' ketimbang 'tonton-dengar', saya menyadari sering mengalami 'lemah otak' menghadapi segala kecanggihan teknologi audio visual saat ini.

Itu sebabnya, setelah hampir 3 bulan memiliki handycam mini-DV, baru tadi malam saya berhasil 'mengawinkannya' dengan Powerbook 12 inch saya. Padahal, di operating system MacOS X jenis Tiger yang ter-install di Powerbook sudah ada piranti lunak iMovies yang sangat user-friendly bagi para home-video makers (konon piranti lunak paling keren untuk editing video di Mac adalah Final Cut Pro. Tapi saya cukup belajar iMovies saja, karena saya cuma seorang amatiran yang lagi senang dengan 'mainan' baru). Ini berkat sebuah kabel 4 pin to 6 pin (itu istilah teknis yang bisa menghubungkan saluran iLink yang terdapat di handycam ke saluran Firewire yang terdapat di Powerbook) merek BAFO seharga 90 ribu perak. Beruntung, saya tidak membeli kabel sejenis merek Sony yang harganya 350 ribu perak. Padahal fungsinya sama saja.

Keluar 'udik'nya, saya sungguh takjub dengan kemudahannya. Begitu kabel tersambung antara dock handycam dengan Powerbook, saya tinggal buka iMovies dan create new project. Kasih nama file, lalu tekan IMPORT di iMovies, semua hasil rekaman di kaset mini DV masuk ke dalam iMovies. Hebatnya lagi, setiap hasil 1 shot kita di handycam, di iMovies dianggap 1 clip. Memudahkan kita untuk memotong dan mengubah peletakan shot untuk pembuatan home-video versi kita. Semua fasilitas standar seperti model transisi shot, penambahan audio, pembuatan title, dan lain sebagainya sudah pula tersedia dalam berbagai bentuk templete. Sebenarnya semua fasilitas tersebut sudah lama ada di ruang audio visual sederhana di kantor saya. Berbasis Windows di PC. Cuma saya benar-benar buta soal pengetahuan teknisnya.

Berkat sepotong kabel ini, sekarang saya semangat jadi home-video maker. Hasil shot suasana lebaran di keluarga isteri kelihatannya bakal jadi 'kelinci percobaan' saya beberapa malam ini. Sekalian mengalami sendiri kalau bikin film itu - walau cuma dokumentasi amatiran - memang susah! Apalagi buat generasi 'baca-tulis' macam saya, hehehe

Wednesday, November 16, 2005

8 dari 10 blog

Coba periksa. 8 dari 10 blog milik copywriter di Indonesia pasti memuat puisi.

Tuesday, November 15, 2005

Namanya Matthew, panggilannya Memet

Adik perempuan saya satu-satunya, Laura, baru saja melahirkan anak pertama. Ini adalah keponakan saya yang ke empat. Sebentar lagi bahkan lima.

Dari semua keponakan saya yang menarik adalah nama-nama yang diberikan oleh orangtuanya masing-masing. Termasuk keponakan terbaru saya yang dinamai Matthew Monang Sinaga. Jelas, anak Medan bung. Wong, suaminya Laura adalah pemuda Batak bernama Bohem Sinaga. Tapi, sambil bercanda, ibunya sudah punya panggilan sayang untuk si Matthew: Memet, hehehe. Mukanya, biar masih bayi, memang sudah kelihatan 'Batak pisan'.

Soal nama-nama 'mentereng' dan 'panggilan sayang' yang biasanya tercipta secara alamiah ini yang paling menarik. Keluarga saya, dan cukup banyak keluarga lain di Indonesia, memang senang berkiblat pada nama-nama asing tanpa mempertimbangkan kalau nama-nama tersebut bisa tidak familiar dengan 'lidah' orang Indonesia.

Contoh lainnya adalah keponakan saya nomor dua bernama Josephine. Tapi karena nenek dari pihak Ibu seorang Sunda tulen, alhasil Josephine mendapat 'panggilan sayang' Epin, tentu diucapkan dengan cengkok Sunda yang kental. Sementara, adiknya yang bernama Dave mendapat 'panggilan sayang' Apit atau Epit. Tentu juga dengan cengkok Sunda yang kental.

Jadinya tak heran bila Matthew sudah dibercandai dengan 'panggilan sayang' Memet. Paling 'beruntung' mungkin keponakan tertua saya yang namanya Angela. Panggilan sayangnya Angel. Cukup afdol buat lidah kita, jadi jarang 'kepeleset' pengucapannya. Tidak ada yang memanggilnya 'Angel' dengan cengkok Jawa yang artinya susah.

Tapi apalah arti sebuah nama, kata Shakespeare. Nama-nama itu tentu telah ditentukan dengan penuh cinta oleh ayah ibunya tercinta. Saya sendiri selaku oom akan memanggil mereka dengan pengucapan yang benar sesuai dengan harapan dari orang tua mereka, tentunya. Mudah-mudahan tidak sering 'terpeleset' lidah ini. Sayang saya sama mereka juga tidak ditakar dari nama kok, hehehe

Anak saya sendiri nama siapa? Uniknya, sekalipun saya anak paling tua bagi ibu saya, saya adalah satu-satunya anak yang belum memberi cucu ke beliau. Jadi belum tahu juga deh -- apabila sampai dianugerahi oleh yang 'di atas' -- apakah saya akan mengikuti jejak adik-adik saya, atau malah memberi nama yang sangat Indonesia.

Sepotong kalimat perpisahan untuk Ken Sudarto

Sabtu pagi, 5 November 2005, kalangan industri periklanan modern Indonesia kehilangan salah seorang perintisnya.

Ken T. Sudarto, pendiri Matari Inc. biro iklan nasional papan atas, meninggal dunia di Singapura.

Satucitra tentu mengirim karangan bunga dan ucapan belasungkawa untuk keluarga beliau dan keluarga besar Matari.
Untuk menghormati peran beliau yang sungguh besar dalam kelahiran dan pertumbuhan periklanan modern Indonesia, saya mencoba menulis pesan yang, kurang lebih, bisa mewakili perasaan kami semua - sesama praktisi periklanan - untuk beliau.

Inilah pesan perpisahan dari keluarga besar Satucitra untuk beliau:

-----------------------------------------------------------------------------
Terima kasih Pak Ken...
Terima kasih telah meritis jalan dan mewariskan jejak bagi kita semua untuk terus berkarya.
Selamat jalan Pak Ken.
-----------------------------------------------------------------------------

Semoga dari 'atas sana', Pak Ken bisa menyaksikan kita semua masih terus bisa menghasilkan karya-karya sebesar impiannya.

cerita soal kamera idaman...

Biar bukan penggila fotografi, saya menyukai kegiatan memotret. Apalagi bila hasilnya bisa lebih bagus dari yang terekam di 'memori' saat menekan shutter. Senang rasanya.

Karenanya saya bukan pengguna jenis kamera SLR atau sekarang DSLR. Saya cuma punya dan pakai jenis kamera saku (compact). Sebelum era digital, saya lama menggunakan kamera saku Fuji. Saya lupa tipenya, yang jelas secara manual bisa dibuat jadi format panorama. Kamera ini termasuk kualitas terbaik di kategorinya bila melihat harganya yang mencapai 1,5 juta rupiah pada tahun 1998. Menyenangkan karena bisa eksperimen memotret dengan format panorama.

Setelah 4 tahun, kamera tersebut terjatuh secara tak sengaja. Penutup lensa dan baterenya hancur. Tidak rusak, tapi sungguh tak nyaman lagi menggunakannya. Hanya karena belum ada pengganti yang sreg, saya gunakan terus.

Kebetulan di akhir tahun 2003 isteri saya, Penny, dikirim kantornya ke Swedia lalu sempat mampir ke tempat oom-nya yang kerja di Jerman. Saya langsung ingat merek kamera Leica yang legendaris asal Jerman. Mulanya keder juga karena Leica juga terkenal mahal dan hanya 'layak' bagi para profesional. Beruntung saya, ternyata Leica juga sudah membuat jenis kamera saku dengan harga terjangkau. Bahkan sangat terjangkau untuk ukuran Leica. Sebuah kamera saku tipe C2 harganya 'cuma' 300an Euro (saat itu Euro masih 9000 perak). Kamera saku 35mm merek Fuji yang bagus juga harga sudah mendekati angka 3 juta perak.

Jadilah saya kirim seluruh informasi soal kamera dan outletnya ke Penny di Jerman, tepatnya di kota Hamburg. Dengan ditemani tantenya, menembus cuaca dingin dan hujan, mereka mencari outlet Leica. Setelah itu saya dapat omelan. Karena tempatnya kalau di Jakarta, seperti dari daerah Menteng ke sebuah ruko di Ciputat sana. Belum lagi dia dan tantenya cuma dipandang 'sebelah mata' oleh penjaga tokonya pada saat masuk. Mungkin dipikirnya, ini dua perempuan bertampang turis Asia 'lugu' kok berani-beraninya masuk ke toko Leica, hehehehehe. Untungnya, mereka membawa print out dari situs Leica. Langsung ditunjukkan dan penjaga toko cepat mafhum bahwa keduanya cuma turis cheap yang mau beli kamera saku Leica termurah, hahahaha....

Inilah dia kamera yang didapat dengan penuh 'perjuangan' itu. Entah ada atau tidak yang menjualnya di Jakarta.



'Perjuangan' tak sia-sia. Hasilnya sungguh mengagumkan. Petugas di Fuji Image Plaza yang mencetak hasilnya, selalu mengira itu hasil kamera SLR. Teman-teman kantor pun, setelah tahu hasilnya, setiap kali ada acara kantor bersama selalu dengan senang hati bergaya di depan kamera. Karena hasilnya 'lebih indah dari aslinya'.

Sayangnya, popularitas penggunaan kamera digital memang sulit dielakkan. Faktor hemat biaya cuci-cetak sungguh signifikan, karena kita bisa memilih yang mau kita cetak. Pokoknya, kelewatan kalau tidak beralih ke digital. Sebenarnya saya sudah punya sebuah kamera digital 4MP yang saya beli pada awal era kamera digital muncul. Sayangnya saya jadi 'korban' kepeloporan. kamera bermasalah berat dengan daya tahan baterenya. Cuma tahan 15 menitan bila dihidupkan terus. Kelewatan memang.

Tapi sudahlah. Sekarang saya mau cari kamera digital ganti. Hati kembali tertambat ke merek Leica. He, siapa tahu mereka mengeluarkan jenis kamera saku digital yang cocok di kantong, hehehe...

Hasil 'perburuan' pada kamera digital Leica bermuara pada tipe Digilux 2. Bukan sebuah kamera saku, tapi kategorinya pro-sumer. Artinya, walau ini jenis kamera fixed-lens seperti kamera saku tapi mampu dioperasikan secara manual seperti kamera DSLR. Jenis lensanya pun lebih canggih. Sayang seribu sayang... harganya membuat saya mundur teratur. Apalagi ia cuma mampu menangkap image 5MP saja. Ini nih kameranya...



Karena kadung jatuh cinta pada kehebatan lensa Leica, akhirnya saya membeli Panasonic Lumix FX-7. Sebuah kamera saku digital 5MP dengan preview screen yang memanjakan mata. Saya pikir, toh sekarang Leica sudah dibeli oleh Panasonic. Dan semua kamera Panasonic sudah menggunakan lensa Leica. Hasilnya? Tetap belum bisa menyamai hasil Leica C2 yang menggunakan seluloid 35mm. Cuma karena kepraktisan, kamera digital FX-7 tetap lebih sering saya gunakan.

Meski begitu saya tetap menunggu kehadiran kamera saku digital dari Leica yang budget-friendly. Siapa tahu? hehehehe
Tunggu punya tunggu, datanglah pengumuman dari situs Leica kalau akhir November 2005 ini mereka akan mengeluarkan kamera saku 8.4MP. Harganya belum diumumkan. Tapi menilik kembarannya Panasonic LX-1 (ini kali kedua muncul kembaran produk Panasonic dan Leica, sebelumnya tipe Digilux 2 juga punya kembaran merek Panasonic) yang hanya dibandrol 5,3 juta perak, mudah-mudahan Leica D-Lux 2 ini harganya tidak terlampau jauh.

Sementara menunggu harga, jadilah 'dia' kamera impian yang terpasang di layar monitor laptop dan id di YM, hehehe...

Inilah si 'dia' yang nampak 'sexy' dan canggih itu.

Monday, November 14, 2005

Menulis lagi

Mudah-mudahan blog ini bukan hanya bisa saya isi dengan artikel yang 'terpaksa' ditulis karena pekerjaan. Semoga.