Thursday, June 14, 2007

Menghadap Tuhan Kemana? Kemana Tuhan Menghadap?

Ketika melihat pemandangan yang tidak biasa seperti ini di sebuah rumah makan Aceh bernama Meutia di kawasan pasar Bendungan Hilir, tidak aneh bila pikiran saya yang menyaksikannya tiba-tiba menjadi sok politis.

Kejadian Selasa siang seminggu lalu ini, persis saya saksikan ketika sedang menyusul Totot Indrarto (Strategic Planning Director Satucitra yang juga Chief Editor AdDiction) bersama beberapa client service dari Satucitra (Marissa, Nancy, Ronald dan Indra Juwono) sedang makan siang bersama Gandhi Suryoto (Creative Director Dentsu).

Setelah anak-anak client service Satucitra pamit pulang lebih dulu, saya tinggal bersama Totot dan Gandhi sambil ngobrol-ngobrol menikmati kopi khas Aceh. Totot yang menangkap dulu 'kelainan' momen ini sambil senyum-senyum langsung memberitahu saya dan Gandhi. Juga seorang pelayan yang sedang menghitung makanan kemudian mengetahuinya. Kami sama-sama senyum-senyum simpul sendiri sambil tak satu pun ada yang merasa memiliki 'otoritas' untuk memberitahukan langsung kepada orang yang paling kanan, bahwa posisi sholatnya salah hadap. Di momen ini, saya sempat meminjamkan Totot telepon genggam berkamera untuk mengabadikannya seperti yang terlihat di atas. Selanjutnya, saya (sangat mungkin juga Totot dan Gandhi) menjadi sok politis: menduga bahwa perbedaan arah menghadap ini jangan-jangan memang terjadi secara sengaja. Mengingat tentang segala hal yang selama ini terjadi di Serambi Mekah, tak heran bila saya sendiri berpikiran mungkin ada 'penjelasan politis' terhadap perbedaan arah ini.

Betulkah?

Ternyata salah besar. Pikiran saya saat itu ternyata sama salah besarnya dengan pikiran kebanyakan politisi dan orang awam di luar Aceh dalam menangani segala konflik di Aceh selama ini.

Sang pemilik restoran, nampaknya, setelah dipanggil dan diperlihatkan oleh pelayan yang mencatat makanan kami, dengan penuh otoritas kemudian memerintahkan seorang pelayan lainnya untuk menghentikan bapak di sebelah kanan untuk menghentikan sholatnya. Dengan mata kepala sendiri kami menyaksikan, si bapak kemudian menghentikan sholatnya, lalu mengubah arah sholat dan memulainya lagi dari awal. Beliau sama sekali tidak menyadari telah salah arah menghadap, dan ia pun mengulangnya lagi.

Saya cuma bisa cengegesan malu pada pikiran sendiri. Kejadian ini ternyata hanyalah sebuah kealpaan semata. Tak lebih dan tak kurang. Si bapak pun melanjutkan sholatnya dengan khusuk ke arah barat ketika kami berlalu meninggalkan rumah makan.

4 comments:

Iman Brotoseno said...

bagaimana kalau sebenarnya bapak ini memang percaya dan mempunyai keyakinan sendiri tentang arah kiblat, seperti komunitas di lereng gunung di Sulawesi Selatan yang mengganggap bahwa ke Mekah cukup dengan naik gunung tsb..Hanya saja dia takut dengan ' otoritas ' si penguasa restaurant, plus digebuki seluruh karyawannya karena dianggap nyeleneh..
Lho kok jadi berandai andai..
welcome back rick..baru baca lagi

Ricky Pesik said...

kalau liat tampangnya sih gak kok Man, hehehe

Anonymous said...

dipusingin amat sih, yang penting kan niatannya.

Anonymous said...

anda bertiga bisa dapet pahala tuh, udah ngasih tau pemilik resto (pemegang otoritas) sehingga bisa memberi tahu kesalahan yg dilakukan bapak di kanan tsb. :D