Thursday, December 15, 2005

10 Desember 2005 Tanpa Yap Thiam Hien Award


Setiap tanggal 10 Desember, biasanya saya selalu menemukan tulisan dan berita yang dominan tentang persoalan hak-hak asasi manusia. Juga tentang peraih Yap Thiam Hien Award (YTHA), individu atau lembaga yang dinilai berperan besar dan konsisten dalam upaya penegakan hak-hak asasi manusia (HAM) di Indonesia. Tapi tidak di tahun ini. Kemana berita tentang peraih Yap Thiam Hien Award 2005?

Yap Thiam Hien Award tahun ini ditiadakan! Kepastian itu saya peroleh langsung dari Todung Mulya Lubis, Dewan Pendiri Yayasan Pusat Studi Hak-hak Asasi Manusia (Yapusham) sekaligus Ketua Komite Pengarah kepanitiaan Yap Thiam Hien Award.

Kepada publik, kabar ini disampaikan langsung oleh Bang Mulya, begitu biasa kita memanggil Todung Mulya Lubis, melalui acara konferensi pers di Klub Rasuna Jakarta tanggal 13 Desember kemarin. Intinya Komite Pelaksana menyampaikan bahwa semakin tahun kepedulian dan dukungan masyarakat kepada persoalan HAM semakin susut. Termasuk dukungan dari kalangan dunia usaha. Minimnya dukungan ini membuat YTHA 2005 tidak mungkin diselenggarakan.

Sebagai orang yang pernah mengemban tanggung jawab sebagai Ketua Komite Penyelenggara selama 5 tahun, sebelum resmi mundur dan tidak terlibat sama sekali di tahun 2005 ini, saya hanya bisa terdiam dan tercenung bisu. Hal ini sebenarnya setiap tahun sudah kami khawatirkan akan terjadi. Masalah susutnya dukungan ini, harus diakui, juga tak lepas dari keterbatasan kerja yang berbentuk ad hoc setiap tahunnya. Padahal sebagaimana layaknya sebuah lembaga penghargaan yang kredibel, dibutuhkan kerja penuh untuk mengembangkannya. Di tingkat regional kita bisa belajar dari Magsaysay Award di Filipina. Di tingkat dunia, idealnya seperti anugerah Nobel.

Semua pihak yang terlibat di kepanitiaan bukannya tidak menyadari kelemahan ini. Sudah lama terpikir untuk mendirikan Yayasan Yap Thiam Hien yang akan bekerja sepenuhnya untuk menyelenggarakan sekaligus mengembangkan Yap Thiam Hien Award setiap tahun. Sayangnya, gagasan berdirinya yayasan terus terbentur berbagai kendala, sementara 'kekuatan' kerja kepanitiaan makin tahun makin menyusut. Bisa dimaklumi, mengingat sebagian besar anggota komite pelaksana adalah para karyawan di perusahaan maupun lembaga lain yang relatif bekerja pro bono untuk penyelenggaraan YTHA.

Alhasil, impian untuk mengembangkan YTHA sebagai lembaga yang mengambil peran penting dalam mempromosikan pentingnya penegakan dan perjuangan hak-hak asasi manusia di Indonesia semakin surut ke belakang. Padahal, sejak Soeharto lengser di tahun 1998, YTHA sudah mulai berhasil direposisi untuk menjadi 'ujung tombak' promosi kepedulian terhadap hak-hak asasi manusia dengan approach yang lebih popular ke khalayak yang lebih luas - di luar lingkungan aktivis dan LSM. 'Bibit' ke arah sana sudah mulai ditanam oleh komite pelaksana sejak tahun 2000. Ditandai dengan tampilnya perusahaan swasta sebagai pendukung resmi. Terpilihnya sosok-sosok 'non-aktivis' seperti Wiji Thukul dan Maria Hartiningsih yang dinilai memiliki peran sama besar dalam bidang HAM sebagai peraih YTHA. Melakukan kerjasama tahunan dengan Jakarta International Film Festival (JiFFest) untuk menampilkan film-film bertema hak asasi. Sampai partisipasi para pengusaha, professional, sampai kelompok musik Slank dalam acara penganugerahan YTHA dari tahun ke tahun.

Bila YTHA bisa dianggap sebagai salah satu ikon penting dari kegiatan promosi yang dapat mendorong masyarakat lebih luas untuk makin peduli dan sanggup menumbuhkan komitmen terhadap penegakan hak-hak asasi, sungguh akan menjadi sebuah persoalan besar sebenarnya bagi civil society bila YTHA gagal dipertahankan dan dikembangkan di tahun-tahun selanjutnya.

Inisiatif yang lebih serius untuk segera melembagakan keberadaan YTHA memang harus segera dimulai. Agar ia tidak kembali ke titik nol dan hilang. Keberadaan lembaga resmi yang menaungi YTHA akan menghadirkan sebuah organisasi yang dedicated untuk mengembangkan berbagai program promoting yang penting untuk menjangkau khalayak luas dengan approach yang popular. Dalam jangka panjang, menurut keyakinan saya, ini adalah sebuah tujuan yang sangat penting bagi bangsa ini untuk mengatasi berbagai persoalan pelanggaran hak asasi yang tetap marak bahkan, di tingkat konflik horisontal, cenderung meningkat dan budaya impunitas tidak juga pupus dari kamus penguasa yang ada.

Semoga energi ini belum punah dari sosok-sosok penting seperti Bang Mulya, Rachland Nashidik, dan kawan-kawan lain yang selama ini 'menjaga' keberadaan YTHA dari tahun ke tahun. Pada 10 Desember 2006, mudah-mudahan kita akan melihat YTHA hadir kembali dengan peran yang lebih besar lagi dalam bidang promosi hak-hak asasi manusia.

3 comments:

L. Pralangga said...

Mudah-mudahan dengan terusnya digaungkan kesadaran HAM bagi tiap individu pada tiap medium (misalnya: blogs) bsia membuat kesadaraan dan kefahaman tth HAM yang lebih baik dilapisan grass-root..

ewink said...

Turut berduka cita. Semoga kegagalan penyelenggaraan kali ini tidak membuat komitmen untuk memperjuangkan KEBEBASAN juga padam.

Ricky Pesik said...

asal jangan nge-blog malah ditangkap ya, hehehe