Di akhir Desember 2013, ketika tidak berlibur sama sekali, iseng mengumpulkan semua foto perjalanan diving selama tahun 2013 dan membuat mozaik berdasarkan enam destinasi. Saya sebut saja Divedoskop, plesetan dari Kaleidoskop. Kemudian saya posting di Path dengan tulisan pengantar pendek.
Saya lalu memutuskan untuk menyatukan semua divedoskop ini ke dalam satu artikel untuk dipajang di blog. Mumpung blog saya sudah lama sekali juga tidak pernah diisi lagi.
Saya melakukan sedikit penambahan dan penyesuaian agar deskripsinya lebih umum. Ini sepenuhnya catatan pribadi. Sebagai orang yang beruntung berkeliling menikmati kegiatan menyelam di pelosok nusantara, tidak semua catatan saya melulu perayaan tentang keindahan dan kekayaan alam. Karena apa yang saya temui dan lihat, ternyata bukanlah keindahan semata.
AMBON
Merayakan tahun baru ke Ambon, ternyata, keputusan yang kurang tepat karena banyak tempat makan tutup dari natal sampai beberapa hari setelah tahun baru. Padahal di sini, banyak restoran enak yang legendaris.
Memilih menginap di Aston Natsepa, sementara diving bersama Maluku Divers yang berlokasi di dekat bandara, juga bukan keputusan tepat. Karena model pulaunya berbentuk U, setiap hari menempuh jarak yang jauh: Aston Hotel di pantai Natsepa ke Maluku Divers dan ke kota cari makan. Tiga lokasi ini letaknya dari ujung ke ujung huruf U. Belum lagi dapat supir mobil sewaan yang gaya mengemudinya seperti sedang menguji sirkuit F1. Setelah diomelin, baru pada hari ketiga nyetirnya agak mendingan. Tapi hotel Aston Natsepa ini tempat yang enak, jauh dari keriuhan kota.
Lebih apes lagi, bertahun diving saya belum pernah bertemu mandarin fish. Di penyelaman terakhir, karena malas dan agak sakit kepala, saya memutuskan menunggu di kapal. Dilalah, teman-teman yang turun malah pesta mandarin fish di kedalaman 8-9 meter saja. Begitulah diving, diperlukan kesabaran panjang untuk akhirnya menemukan apa yang kita cari. Seperti hidup orang biasa gitu deh.
Menyelam di Ambon memang istimewa. Terutama di teluk yang berdekatan dengan kota. Segala hal yang aneh bisa kita temukan, baik binatang laut yang jarang sampai pampers dan sepatu bayi pun ada. Tak terhitung botol plastik dan kemasan produk lainnya.
Ambon memang manise. Tapi teluknya juga kotore :)
PULAU WEH
Tahun ini, dalam jarak waktu hanya tiga minggu, dua kali mendatangi Pulau Weh. April dan Mei 2013. Berarti ini, ke lima dan enam kalinya mendatangi pulau paling barat Indonesia yang berpenduduk. Di kedua kunjungan itu, kami menginap di Pade Resort.
Setelah bencana tsunami, kapal ferry cepat (kurang dari 1 jam) beroperasi dua kali melayani penyeberangan dari Banda Aceh ke Sabang. Belum lagi bandara baru Banda Aceh yang mentereng. Semuanya, mulai meningkatkan jumlah wisatawan ke sini.
Sabang adalah pelabuhan bebas pertama di Indonesia. Bahkan sejak 1895. Hanya memang tidak diseriusi pemerintah dan kalah pamor karena masalah konflik di era Orde Baru.
Dua kali bersama rombongan outing, perjalanan ke pulau ini lebih tepat sebagai perjalanan keriaan daripada menyelam. 'Prestasi' saya tiap outing ke laut adalah ngomporin teman untuk menyelam atau turun ke laut untuk pertama kalinya. Selalu makan 'korban'.
Pulau Weh adalah destinasi menyelam termudah dijangkau dan terbaik di Indonesia bagian barat. Ada shipwreck Sophie Rickmers lengkap dengan onggokan double tank penyelam Jepang yang mati di sana. Ada underwater volcano yang mengeluarkan gelembung-gelembung cantik hanya di kedalaman 6-8 meter. Serta titik selam tepat di depan Tugu KM Nol, menghadap langsung samudera lepas Andaman yang arusnya sungguh menantang.
Kalau Banda Aceh adalah Serambi Mekkah. Pulau Weh bisa disebut Serambi Andaman.
PULAU PEF
Raja Ampat adalah Mekkah untuk para penyelam di seluruh dunia. Riset Dr. Gerald Allen membuka temuan bahwa biodeversity laut terbesar di dunia ada di kawasan ini, kemudian berkembanglah wisata selam di Raja Ampat dengan pesat.
Kawasan yang terdiri lebih dari 600 pulau ini demikian luasnya dan sedikit penduduknya, hingga hari ini, biar pun berbagai resort tumbuh menjamur, tetap saja kawasan ini terasa seperti belum tersentuh. Menjelajah seluruh Raja Ampat juga bukan hal yang bisa dilakukan hanya dengan beberapa kunjungan. Pilihan tempat menginap pun terdiri dari banyak pilihan, mulai dari yang sangat ekonomis hingga yang harganya menyamai biaya berlibur ke Eropa.
Dari semua resort di Raja Ampat, ada 2 tempat yang dari melihat lokasi dan desainnya saja sudah membuat kita klepek-klepek pengen berlibur di situ: Misool Eco Resort di pulau Misool dan Raja4Divers di pulau Pef.
Walau pulau ini sungguh terpencil, tidak ada signal telepon selain wifi menggunakan satelit, tapi manajemen pengelolaannya menerapkan standar hospitality bintang 5. Dikelola oleh orang Swiss yang mengerti betul bisnis ini. Staffnya ada 62 orang untuk maksimal jumlah tamu 18 orang. Setiap detail diperhatikan betul. Pembangunan dan pengelolaan resor dijaga betul untuk tidak merusak lingkungan.
Ironisnya, hampir 3 tahun berdiri, saya dan isteri adalah tamu pertama orang Indonesia. Padahal, tidak ada diskriminasi dalam pelayanan. Bahkan acara ultah isteri disiapkan secara istimewa oleh pengelola resor ini.
Bagi saya, setiap ke Raja Ampat, selalu dengan pikiran: mumpung belum perlu pakai paspor untuk berlibur ke sini. Karena, tidak ada jawaban yang bisa saya temukan kenapa Papua harus tetap jadi bagian Indonesia, selain sumber daya alamnya dilego melulu untuk kepentingan politik penguasa pusat. Terserah lah mau dibilang tidak nasionalis juga. Menurut saya pribadi, inilah kenyataan yang telanjang.
SANGALAKI
Kawasan kepulauan di Kalimantan Timur ini adalah destinasi menyelam andalan pulau Kalimantan: Derawan, Maratua, Kakaban, Nabucco, Samama dan Sangalaki. Paling padat, sekaligus paling kotor dan berantakan, adalah pulau Derawan. Mungkin karena pulau ini paling berpenghuni.
Ada tiga keunggulan wisata laut di kawasan ini: stingless jellyfish di danau Kakaban yang hanya ada 2 di dunia (satu lagi di Palau), schooling baracuda di Maratua Channel yang berarus deras, serta surga ikan manta di Sangalaki. Yang pertama bisa dinikmati siapa pun, karena cukup berenang untuk melihatnya.
Sialnya, empat kali turun menyelam di Sangalaki tidak bertemu seekor manta pun. Bahkan selama enam hari di sana, manta menghilang entah ke mana. Turun di Maratua Channel pun gagal. Begitu turun, regulator bocor kemasukan pasir, saya membatalkan menyelam demi keamanan. Alhasil, cuma stingless jellyfish di danau Kakaban saja yang sempat dinikmati. Alasan kuat buat kembali lagi, suatu saat nanti.
Semua kegagalan itu, terbayar penuh oleh pilihan tempat di Sangalaki Dive Lodge. Pulau kecil yang bisa dikelilingi dengan berjalan kaki santai selama 30 menit, dikelilingi oleh pasir pantai putih dan laut yang tenang. Setiap sore, laut yang surut menjadi surga pengunjung untuk kumkuman di pantai. Tenang. Bersih. Menyenangkan.
Sangalaki merupakan tempat penyu-penyu besar berlabuh untuk bertelur. Lalu menetaskan tukik (anak-anak penyu) untuk dilepas ke laut. Setiap hari, inilah peristiwa alam yang pasti dialami para pengunjung. Sayangnya, resor ini belum punya ijin memasarkan minuman beralkohol. Jadi selama enam hari di sini, sama sekali tidak mendapat asupan alkohol. Bir sekalipun. Kurang afdol sih.
Sejak Garuda Indonesia membuka penerbangan ke Tarakan dan Berau, kawasan ini makin menarik bagi wisatawan Jakarta. Asal saja tahan melakukan perjalanan sekitar 3 jam dengan perahu motor sederhana dari Tarakan atau ferry umum dari Tanjung Redep (bila mendarat di Berau).
Tidak jauh dari kawasan ini, terletak Sipadan. Sebuah pulau yang kini menjadi milik Malaysia. Sipadan kini adalah salah satu destinasi menyelam favorit dunia. Sejak resmi dimiliki Malaysia, semua resor dan penghuni dipindah ke pulau sekitar. Sipadan dikonservasi dengan ketat dan jumlah penyelam dibatasi per hari hanya boleh 100 orang. Terbukti, kita memang tertinggal jauh dalam kemampuan mengelola aset pariwisata dengan modern dan baik. Terutama political will pemerintah pusat maupun daerah untuk sungguh-sungguh melakukan investasi infrastruktur terintegrasi. Anggaran yang ada, entah terhambur jadi apa.
Entah sampai kapan kita harus jadi pembayar pajak yang sedih, ya?
NUSA PENIDA
Pulang dari Sangalaki, di bandara Soeta cuma pindah pesawat, bergabung dengan dua teman saya, Elwin Mok dan Rico Ishak, untuk menuju Bali. Kami mendaftar ikut workshop pemotretan manta. Janji bersama yang terucap di meja lapo pada saat makan siang bersama, pantang dibatalkan. Sekalian membayar kegagalan bertemu manta di Sangalaki.
Untung tidak jadi batal. Workshop yang diselenggarakan oleh D'Scuba Club dan dipandu oleh fotografer bawah laut jagoan Chris Simanjuntak ini, jadi pengalaman seumur hidup yang tidak terlupakan. Pertama kalinya kami semua menyelam dengan puluhan manta sekaligus. Melihat mereka bermain sambil makan plankton dan dibersihkan tubuhnya (di cleaning station). Bagi Elwin Mok, ini bahkan pengalaman pertama menyelam bertemu manta. Bermodal perangkat GoPro dan tongsis, dia berhasil membuat dokumentasi yang menakjubkan. Silakan nikmati videonya: My First Encounter with Manta.
Banyak penyelam menjadikan pertemuan dengan hiu sebagai pencapaian dalam kegiatan menyelam. Saya malah tidak. Buat saya: manta. Ukuran, bentuk, gerakan, atraksi mereka di bawah laut adalah keindahan bawah laut paling hebat. Manta adalah binatang yang sungguh ramah. Pemakan plankton ini tidak akan menubruk kita. Apalagi melukai. Dalam posisi berhadapan, mereka akan menghindar ke atas atau ke bawah kita. Selama kita tidak berperilaku agresif kepada mereka, tentunya.
Workshop ini seperti memiliki mantra pemanggil manta. Dalam empat kali penyelaman di hanya tiga titik, kami merayakan keagungan puluhan manta di bawah air. Bahkan musim mola-mola di Chrystal Bay Penida kami cuekin saja. Tak tertarik sedikit pun untuk ikut bertumpuk bersama ratusan penyelam di sana.
Workshop ini mengingatkan saya pada pengalaman paling tidak terlupakan seumur hidup di perairan Kri, Raja Ampat, tiga tahun silam. Ketika sedang menelpon di geladak kapal, saya menyaksikan tiga ekor manta dengan bentang tubuh 3-4 meter meloncat anggun dan indah ke permukaan laut bersamaan. Tiga kali. Sebuah pengalaman visual yang mungkin tak akan pernah terulang lagi.
Bumi ini memang hanya memiliki satu lautan. Disajikan tanpa batas untuk kita jelajahi. Mari.
SERAYA
Saya punya seorang teman baik yang saya komporin untuk menyelam, sekarang malah kesengsem habis pada dunia ini. Sampai dia masuk berbisnis di bidang diving. Ikut menanam investasi di dive center dan dive resort.
Berbulan-bulan lamanya dicereweti dia untuk mampir, akhirnya kesampaian di bulan November saya menyambangi dive resort-nya. Itu pun bersifat 'colongan' karena ada rapat di Bali. Karena bersifat 'colongan', saya pun melenggang ke sana seadanya. Tidak membawa peralatan selam dan fotografi sama sekali.
Scuba Seraya Dive Resort letaknya persis sebelum Tulamben. Enaknya tinggal di sini, kita bisa diving ke Tulamben hanya 10 menit, tapi terbebas dan keriuhan Tulamben. Tempat sepi ini, sungguh nikmat untuk leyeh-leyeh sehabis menyelam.
Wreck USS Liberty Tulamben sendiri sekarang, bagi saya, semakin kehilangan banyak pesonanya. Terlalu riuh oleh penyelam di bawah laut. Schooling jackfish yang monumental entah pergi ke mana. Hiu juga makin jarang kelihatan. Tidak selalu akan bertemu bumphead seperti dulu. Tentunya, Tulamben tetap masih menarik untuk memperkenalkan kegiatan selam.
Ternyata, saya lebih menikmati Seraya dan sekitarnya yang tidak banyak disambangi. Seraya adalah surga bagi para pecinta pemotretan makro, atau binatang-binatang laut kecil. Saya membuktikan sendiri. Dalam sekali menyelam di satu titik yang tidak dikenal banyak orang, saya seperti sedang menyelam di Lembeh - surga makro dunia. Sekaligus ketemu rhino, seahorse, aneka nudibrunch, serta segala macam binatang kecil yang jarang. Untunglah, saya sempat dipinjamkan kamera dari dive center untuk mengabadikan penyelaman terakhir saya di sana. Enaknya punya teman baik :) Jadi, semua foto bawah laut di divedoskop ini asalnya dari satu kali penyelaman saja.
Ternyata, saya lebih menikmati Seraya dan sekitarnya yang tidak banyak disambangi. Seraya adalah surga bagi para pecinta pemotretan makro, atau binatang-binatang laut kecil. Saya membuktikan sendiri. Dalam sekali menyelam di satu titik yang tidak dikenal banyak orang, saya seperti sedang menyelam di Lembeh - surga makro dunia. Sekaligus ketemu rhino, seahorse, aneka nudibrunch, serta segala macam binatang kecil yang jarang. Untunglah, saya sempat dipinjamkan kamera dari dive center untuk mengabadikan penyelaman terakhir saya di sana. Enaknya punya teman baik :) Jadi, semua foto bawah laut di divedoskop ini asalnya dari satu kali penyelaman saja.
Seraya, tempat yang patut didatangi lagi dengan peralatan kamera bawah laut yang lengkap. Menyisir pesisir Seraya untuk menemukan kekayaan bawah lautnya yang tidak terduga.
4 comments:
Keren mas! Keren banget divedoskopnya!
Ga usah jadi temennya mas Ricky yang dikomporin buat nyelam. Jadi reader di blog aja, begitu diliatin foto sebegitu bagusnya bikin pengen juga. Terus sharing ya mas :)
Nico: Terima kasih. Ayo diving :)
Priscilla: Terima kasih. Diusahakan ya :)
Halo, saya juga pecinta travelling. Kebetulan ingin tanya2 tentang travelling nih. Kayanya dari blog ini, sudah sering melakukan trip ke mana2. Saya ingin ke Ambon dan Pulau Weh, jadi mungkin bisa membantu memberikan informasi. hehe...
Ini email saya feli.velz@gmail.com dan ini nomor saya 082230082038. Jika tidak sibuk, saya tunggu emailnya atau sms nya. Terima kasih banyak. :)
Post a Comment