Thursday, January 16, 2014

The Flock Without A Song



The Flock Without A Song

We are a group of singing birds
a flock of the same feather
We flew in with the morning dew
and sang our songs in morning prayer


In this small patch we called our own
a tune was called, a cadence started
a song rose, skyward with the sun
a signature to our birthright


A weary traveller chirps by
heard the song and felt his heart beat
a rhythm of discovery
so in he flew, to join the fun


But he failed to harmonize
despite his plumes, tints and colors
and thought that he doesn't belong
among the great and beautiful


Slowly he lost his tune, and voice
and finally, gone are his songs
not realizing then: it takes two
to harmonize and sing a song


Not knowing that the other birds
eventually lost their songs too
for they had shut their ears and hearts
to different tunes to harmonize


The silence that came was final
in this small patch, we called our own
When winter come, we flew our ways
a proud flock still, without a song.


Jakarta, June 21, 2001
Andreas A.D



Pernahkah anda menyimpan sepotong kenangan pribadi seorang diri dari seorang yang sungguh anda hormati selama hidupnya?

Puisi di atas adalah karya almarhum Andreas A. Danandjaja. Beliau sempat menjabat sebagai HRD Director Satucitra Advertising, tempat saya bekerja, selama sepuluh tahun lebih sebelum beliau meninggal dunia. Sebagai Guru Besar bidang Psikologi di Universitas Indonesia, saya sering bertukar pikiran dan menggali kedalaman ilmu beliau di bidang sumber daya manusia. Kaya dan dalam. Sungguh kita yang pernah bekerja di era beliau, beruntung sekali.

Tapi yang tidak pernah saya duga, suatu ketika dia menghampiri saya dengan sepucuk amplop, lalu berkata: "Pak Ricky, saya tahu anda suka sekali membaca dan menulis puisi. Saya tidak bisa menulis puisi dan ingin sekali. Jadi ini puisi pertama yang pernah saya tulis dan tolong dikomentari. Ini saya tulis hanya untuk dibaca Pak Ricky saja ya. Tolong disimpan dan nanti kapan-kapan kita obrolin."

Kalau benar puisi ini adalah puisi pertama beliau, kualitasnya benar-benar mencerminkan kelas penulisnya. Sebagai sparring partner diskusi dan pengambilan kebijakan perusahaan perihal sumber daya manusia, visi perusahaan dan hal-hal menyangkut manajerial, saya yakin beliau ingin menyampaikan sebuah pesan pribadi yang sangat penting kepada saya melalui metafor. Apalagi ketika beliau sudah memasuki usia sangat sepuh, 70 tahun, dan meminta ijin untuk terus bisa menjadi bagian dari keluarga besar Satucitra. Alasan beliau sederhana, dalam pengalaman karirnya sebagai pengelola sumber daya manusia, Satucitra dianggap sebagai organisasi yang dinamis dan tidak pernah khawatir maupun takut mengubah diri.
Bahkan sebagai perusahaan yang relatif berusia mapan, beliau menilai Satucitra termasuk perusahaan yang menarik karena berani mengubah diri berkali-kali dan tetap punya pijakan. Mungkin karena kami perusahaan bidang kreatif yang hanya berukuran menengah, jadi perubahan tidak terlalu 'membahayakan'. Beliau, selama masa kerjanya di Satucitra, sungguh betah mempelajari dan berbagi pandangannya tentang berbagai perubahan di industri periklanan dari kacamata kepakarannya. Begitu banyak pengetahuan kami bertambah perihal hal prinsip dalam pengelolaan sumber daya manusia. Di tangan Pak Andreas pernah diluncurkan sebuah program khusus pelatihan dan penambahan wawasan karyawan melalui pembicara-pembicara non-periklanan yang menarik. Program tersebut kami namai Satucitra Candradimuka.

Saya kemudian, akhirnya, tidak pernah membahas puisi karya beliau ini. Apalagi perlu mengoreksinya, seperti permohonan beliau. Saya hanya sempat menyampaikan kepada beliau untuk meneruskan menulis puisi atau esai sastra dalam bahasa Inggris. Tentu saja beliau adalah orang yang tidak awam pada dunia sastra, mengingat saudara kandung beliau adalah seorang ahli foklor Indonesia ternama. Entah, apakah kemudian Pak Andreas meneruskan menulis sastra. Karena saya tidak sempat bertanya lebih jauh kepada keluarganya yang kini berdomisili di luar negeri.

Tigabelas tahun puisi ini saya simpan sendiri. Tadinya, ingin saya tulis sebagai In Memoriam pada saat beliau meninggal. Tapi kemudian saya mengubah pikiran dan menyimpan puisinya lebih lama. Sekarang, saatnya saya bagi ke banyak orang, sebagai bentuk penghormatan saya kepada beliau yang telah mewarnai hidup saya. Sebuah puisi yang bagus. Mengandung metafor yang cukup kelam, namun sungguh dalam.

Di sana, saya rasa, beliau tidak keberatan bila puisinya saya publikasikan lewat blog ini. Selamat beristirahat, Pak Andreas. Terima kasih untuk puisi tunggalnya yang sarat makna.

Pak Andreas bersama isteri tercinta di outing kantor ke Bunaken dan Manado, 2002 *)
Bersama rekan-rekan kantor di dalam pesawat Star Air saat berangkat outing *)

*) foto dari Stevie Sulaiman, Art Director Satucitra salah satu rekrutan Pak Andreas



1 comment:

Stevie Sulaiman said...

Outingnya 2005, Pak :)