Kejadian Selasa siang seminggu lalu ini, persis saya saksikan ketika sedang menyusul Totot Indrarto (Strategic Planning Director Satucitra yang juga Chief Editor AdDiction) bersama beberapa client service dari Satucitra (Marissa, Nancy, Ronald dan Indra Juwono) sedang makan siang bersama Gandhi Suryoto (Creative Director Dentsu).
Setelah anak-anak client service Satucitra pamit pulang lebih dulu, saya tinggal bersama Totot dan Gandhi sambil ngobrol-ngobrol menikmati kopi khas Aceh. Totot yang menangkap dulu 'kelainan' momen ini sambil senyum-senyum langsung memberitahu saya dan Gandhi. Juga seorang pelayan yang sedang menghitung makanan kemudian mengetahuinya. Kami sama-sama senyum-senyum simpul sendiri sambil tak satu pun ada yang merasa memiliki 'otoritas' untuk memberitahukan langsung kepada orang yang paling kanan, bahwa posisi sholatnya salah hadap. Di momen ini, saya sempat meminjamkan Totot telepon genggam berkamera untuk mengabadikannya seperti yang terlihat di atas. Selanjutnya, saya (sangat mungkin juga Totot dan Gandhi) menjadi sok politis: menduga bahwa perbedaan arah menghadap ini jangan-jangan memang terjadi secara sengaja. Mengingat tentang segala hal yang selama ini terjadi di Serambi Mekah, tak heran bila saya sendiri berpikiran mungkin ada 'penjelasan politis' terhadap perbedaan arah ini.
Betulkah?
Ternyata salah besar. Pikiran saya saat itu ternyata sama salah besarnya dengan pikiran kebanyakan politisi dan orang awam di luar Aceh dalam menangani segala konflik di Aceh selama ini.
Sang pemilik restoran, nampaknya, setelah dipanggil dan diperlihatkan oleh pelayan yang mencatat makanan kami, dengan penuh otoritas kemudian memerintahkan seorang pelayan lainnya untuk menghentikan bapak di sebelah kanan untuk menghentikan sholatnya. Dengan mata kepala sendiri kami menyaksikan, si bapak kemudian menghentikan sholatnya, lalu mengubah arah sholat dan memulainya lagi dari awal. Beliau sama sekali tidak menyadari telah salah arah menghadap, dan ia pun mengulangnya lagi.
Saya cuma bisa cengegesan malu pada pikiran sendiri. Kejadian ini ternyata hanyalah sebuah kealpaan semata. Tak lebih dan tak kurang. Si bapak pun melanjutkan sholatnya dengan khusuk ke arah barat ketika kami berlalu meninggalkan rumah makan.