
Sang pengarang: Adi Purnomo, merupakan seorang arsitek penuh prestasi yang telah meraih berbagai penghargaan. Termasuk penghargaan Arsitek Muda dari Ikatan Arsitek Indonesia dan terpilih sebagai Tokoh Arsitek 2004 oleh majalah Tempo. Adi Purnomo lahir di Jogja tahun 1968 dan belajar arsitektur di UGM. Sekarang ia memiliki studio arsitektur sendiri.
Saya yang tidak memiliki pengetahuan arsitek ataupun disiplin lain yang mepet-mepet dengan ilmu arsitektur, tentu punya alasan sendiri kenapa akhirnya memutuskan membeli buku ini. Sebuah penjelasan singkat di belakang buku yang diterbitkan oleh Penerbit Borneo ini mengantar saya untuk mencoba membaca buku ini:
"Buku ini merupakan penggalan pendek perjalanan sebuah praktek arsitek yang sedang menyelami itu semua. Sebuah praktek yang masih menyimpan banyak ketidakmengertian dan sejumput kegentaran menghadapi gerak zaman ini. Buku ini bebas dibaca sebagai sebuah jurnal pribadi, meski tetap berharap bisa mengambil bagian yang lebih jauh dalam telaah arsitektur di negeri ini."
Setelah membaca separuh isi buku semalam, saya makin asyik menyelami pikiran, kegelisahan, pertanyaan dan sikap penulisnya dalam berprofesi. Buku ini ditulis dengan bahasa yang mudah dipahami. Lebih jauh, penulisnya menciptakan konteks sosial ke dalam setiap bahasannya. Penulis bahkan meninggalkan impresi bahwa peran arsitek (seharusnya) bisa menjangkau lapis kebutuhan terbesar terhadap perumahan di negeri ini, jenis perumahan tipe sangat sederhana dan sederhana. Memang, melalui buku ini, penulis jelas-jelas melakukan pemihakan kepada kebutuhan masyarakat kebanyakan terhadap perumahan yang layak dan baik di negeri ini. Tidak heran bila di buku ini kita menjumpai telaah arsitektur tentang rumah susun, rumah ‘kampung’ sampai sekolah dan rumah ibadah. Kita juga bisa menjumpai sebuah rumah yang dibangun di kawasan Ciganjur dengan visi yang jelas untuk tetap menjadikan keluarga yang hidup di sana sebagai keluarga ‘Indonesia’. Rumah Ciganjur yang dianggap sebagai model rumah modern abad 21 justru jauh dari gaya 'wah'.
Pertanyaan dan kegelisahan penulis terhadap kondisi perumahan urban di kota macam Jakarta, sebenarnya adalah pertanyaan dan kegelisahan kita semua. Problem pemukiman yang layak bagi masyarakat miskin kota menjadi sorotan besar penulis (sekalipun buku ini juga diperkaya dengan sejumlah bahasan tentang desain arsitektur di luar negeri). Menjadi sebuah refleksi kritis profesi yang ditekuni oleh sang penulis yang dapat dikunjungi oleh pembaca yang tidak memahami profesi ini sekalipun. Inilah sebuah buku yang memberikan optimisme kepada kita tentang pentingnya moral profesi untuk mewujudkan kehidupan yang lebih baik dan manusiawi bagi kita semua.
Buku ini, menurut saya, juga mampu menjadi inspirasi buat mereka yang sedang berencana membangun rumah sendiri – tidak peduli seberapa besar ukuran lahan dan rumah yang akan dibangun -- dengan konsep yang ‘waras’ dan ‘membumi’. Buku ini rasanya cukup meyakinkan kita untuk tidak minder maupun keder terhadap 'biaya arsitek'. Bahkan siapa tahu Adi Purnomo sendiri bisa membantu mewujudkan angan Anda tentang rumah yang baik? Siapa tahu! Kecuali kalau Anda sudah 100% yakin ingin punya rumah bergaya ‘istana’ Julius Caesar macam di boulevard-boulevard di real estate mewah, ya sebaiknya jangan buang-buang waktu membaca buku ini. Apalagi menemui Adi Purnomo. Jangan-jangan nanti malah jengkel pada si penulis.