Saya menemukan buku ini di Aksara, Plaza Indonesia kemarin. Ini bukan buku yang mengupas teori Relativitas-nya Albert Einstein yang super-susah, tapi mengungkap pikiran penulisnya tentang berbagai persoalan dan tantangan praktik profesi arsitek di negeri ini.
Sang pengarang: Adi Purnomo, merupakan seorang arsitek penuh prestasi yang telah meraih berbagai penghargaan. Termasuk penghargaan Arsitek Muda dari Ikatan Arsitek Indonesia dan terpilih sebagai Tokoh Arsitek 2004 oleh majalah Tempo. Adi Purnomo lahir di Jogja tahun 1968 dan belajar arsitektur di UGM. Sekarang ia memiliki studio arsitektur sendiri.
Saya yang tidak memiliki pengetahuan arsitek ataupun disiplin lain yang mepet-mepet dengan ilmu arsitektur, tentu punya alasan sendiri kenapa akhirnya memutuskan membeli buku ini. Sebuah penjelasan singkat di belakang buku yang diterbitkan oleh Penerbit Borneo ini mengantar saya untuk mencoba membaca buku ini:
"Buku ini merupakan penggalan pendek perjalanan sebuah praktek arsitek yang sedang menyelami itu semua. Sebuah praktek yang masih menyimpan banyak ketidakmengertian dan sejumput kegentaran menghadapi gerak zaman ini. Buku ini bebas dibaca sebagai sebuah jurnal pribadi, meski tetap berharap bisa mengambil bagian yang lebih jauh dalam telaah arsitektur di negeri ini."
Setelah membaca separuh isi buku semalam, saya makin asyik menyelami pikiran, kegelisahan, pertanyaan dan sikap penulisnya dalam berprofesi. Buku ini ditulis dengan bahasa yang mudah dipahami. Lebih jauh, penulisnya menciptakan konteks sosial ke dalam setiap bahasannya. Penulis bahkan meninggalkan impresi bahwa peran arsitek (seharusnya) bisa menjangkau lapis kebutuhan terbesar terhadap perumahan di negeri ini, jenis perumahan tipe sangat sederhana dan sederhana. Memang, melalui buku ini, penulis jelas-jelas melakukan pemihakan kepada kebutuhan masyarakat kebanyakan terhadap perumahan yang layak dan baik di negeri ini. Tidak heran bila di buku ini kita menjumpai telaah arsitektur tentang rumah susun, rumah ‘kampung’ sampai sekolah dan rumah ibadah. Kita juga bisa menjumpai sebuah rumah yang dibangun di kawasan Ciganjur dengan visi yang jelas untuk tetap menjadikan keluarga yang hidup di sana sebagai keluarga ‘Indonesia’. Rumah Ciganjur yang dianggap sebagai model rumah modern abad 21 justru jauh dari gaya 'wah'.
Pertanyaan dan kegelisahan penulis terhadap kondisi perumahan urban di kota macam Jakarta, sebenarnya adalah pertanyaan dan kegelisahan kita semua. Problem pemukiman yang layak bagi masyarakat miskin kota menjadi sorotan besar penulis (sekalipun buku ini juga diperkaya dengan sejumlah bahasan tentang desain arsitektur di luar negeri). Menjadi sebuah refleksi kritis profesi yang ditekuni oleh sang penulis yang dapat dikunjungi oleh pembaca yang tidak memahami profesi ini sekalipun. Inilah sebuah buku yang memberikan optimisme kepada kita tentang pentingnya moral profesi untuk mewujudkan kehidupan yang lebih baik dan manusiawi bagi kita semua.
Buku ini, menurut saya, juga mampu menjadi inspirasi buat mereka yang sedang berencana membangun rumah sendiri – tidak peduli seberapa besar ukuran lahan dan rumah yang akan dibangun -- dengan konsep yang ‘waras’ dan ‘membumi’. Buku ini rasanya cukup meyakinkan kita untuk tidak minder maupun keder terhadap 'biaya arsitek'. Bahkan siapa tahu Adi Purnomo sendiri bisa membantu mewujudkan angan Anda tentang rumah yang baik? Siapa tahu! Kecuali kalau Anda sudah 100% yakin ingin punya rumah bergaya ‘istana’ Julius Caesar macam di boulevard-boulevard di real estate mewah, ya sebaiknya jangan buang-buang waktu membaca buku ini. Apalagi menemui Adi Purnomo. Jangan-jangan nanti malah jengkel pada si penulis.
mengandung tawa, senang, kagum, sebel, jengkel, protes, sinis, haru, geli, bingung, marah, mimpi, harap, suka, duka, kangen, sok tahu, emosi, pasrah, malu, tanya, takut, gelisah, penasaran, pusing, kesal, cuek, bengong, sirik, sedih, gombal...
Tuesday, January 31, 2006
Sunday, January 29, 2006
Ramalan Tahun Anjing Api (Dijamin Bener)
Karena kondisi ekonomi negeri ini yang makin berat akibat kenaikan BBM, PHK dimana-mana, harga beras dan gula meroket, listrik dan telepon bakal ikut-ikutan naik juga, segala-galanya pokoknya bakal naik sementara pendapatan tetap jalan di tempat -- diramalkan dengan pasti akan makin banyak orang stress di negeri ini.
Di jalanan dan di tempat-tempat publik kita bakal (makin) sering menemui orang-orang bersitegang karena menganggap dirinya lebih benar. Antara sesama pengendara sepeda motor. Antara sesama pengendara mobil. Antara sesama pengendara angkutan umum. Antara pengendara mobil-motor-angkutan umum. Antara penagih utang dan yang berutang. Dan seterusnya.
Di tahun Anjing Api ini, diramalkan kita bakal makin sering mendengar makian: “ANJING LU!” dilontarkan dimana-mana dengan mata marah menyala seolah menyemburkan API. Saya jamin 100% ramalan ini nggak bakalan meleset.
Jangan serius-serius ah! Ini cuma guyonan garing gara-gara nggak terima angpao. Saya bukan paranormal kok.
Gong Xie Fat Choi. Selamat tahun baru. Selamat tahun Anjing Api. Penjaga lapo-lapo mungkin ngucapinnya begini: Selamat tahun ‘Barbeque Saksang’, Bung! he.. he… he…
Di jalanan dan di tempat-tempat publik kita bakal (makin) sering menemui orang-orang bersitegang karena menganggap dirinya lebih benar. Antara sesama pengendara sepeda motor. Antara sesama pengendara mobil. Antara sesama pengendara angkutan umum. Antara pengendara mobil-motor-angkutan umum. Antara penagih utang dan yang berutang. Dan seterusnya.
Di tahun Anjing Api ini, diramalkan kita bakal makin sering mendengar makian: “ANJING LU!” dilontarkan dimana-mana dengan mata marah menyala seolah menyemburkan API. Saya jamin 100% ramalan ini nggak bakalan meleset.
Jangan serius-serius ah! Ini cuma guyonan garing gara-gara nggak terima angpao. Saya bukan paranormal kok.
Gong Xie Fat Choi. Selamat tahun baru. Selamat tahun Anjing Api. Penjaga lapo-lapo mungkin ngucapinnya begini: Selamat tahun ‘Barbeque Saksang’, Bung! he.. he… he…
Thursday, January 19, 2006
Paradoks Prius di Indonesia
Iklannya muncul di harian Kompas berkali-kali. Mengungkap segala nilai terobosan Toyota di bidang pengembangan mobil hybrid yang ramah lingkungan. Toyota Prius, mobil hybrid pertama yang diproduksi secara massal oleh Toyota berhasil menjadi salah satu best-selling car di Amerika Serikat.
Toyota Prius yang dijual seharga US$ 21,725 di Amerika sana (senilai 206,6 juta rupiah untuk kurs 9.500 perak per dollar) memang pionir kendaraan masa depan. Teknologi hybrid selain sangat ramah lingkungan juga menjanjikan efisiensi bahan bakar yang luar biasa karena memadukan secara canggih dua sistem energi penggerak: bahan bakar bensin dan listrik. Alhasil, daya hemat bahan bakarnya mencapai 1:25. Untuk 1 liter bensin menempuh jarak 25 kilometer. Kesuksesan Prius membuat semua produsen lain berlomba-lomba menyiapkan versi hybrid pada kendaraan keluaran tahun ini. Honda, Ford, Chevrolet, Lexus dan sejumlah merek sudah siap berebut pasar mobil hybrid. Termasuk Toyota sendiri untuk jenis lainnya.
Sejatinya, teknologi ini merupakan sebuah solusi hebat untuk masyarakat Indonesia yang sanggup membeli mobil. Bisa mengakali harga BBM yang semakin melangit sekaligus berperan dalam mengurangi polusi yang makin menggila di kota-kota besar.
Ironisnya, Prius akan dijual di Indonesia dengan harga sekitar 450 juta rupiah. Di kelompok harga ini, Prius akan berada sejajar dengan sedan mewah sekelas Audi A4 2.0, BMW 320i, Mercedes C200 dan Volvo S60 2.0. Bahkan lebih mahal dari Toyota Camry, Honda Accord dan Nissan Teana yang tampil sangat mewah. Berapa orang yang sanggup membelinya?
Memang aneka mobil mewah berseliweran di jalan-jalan, khususnya Jakarta. Bahkan yang harganya berlipat kali Prius. Namun -- tetap saja -- dari jutaan mobil yang beredar di negeri ini, populasinya didominasi oleh mobil jenis Toyota Kijang, Xenia, Avanza, APV, Atoz, Karimun, Zebra, Carry, Jazz, Ceria dan semua jenis mobil di kisaran harga 60 – 150 juta. Ini mencerminkan daya beli masyarakat yang sebenarnya.
Tak pelak, kehadiran Prius menurut saya sebuah paradoks. Kelompok masyarakat yang sanggup beli mobil seharga 450 juta adalah justru kelompok yang kebal terhadap kenaikan harga BBM. Nilai penghematannya juga mungkin tidak akan terasa sama sekali jika dibandingkan penghasilan bulanan mereka. Kalau pun iya, itu sih lebih karena pelit ketimbang beneran nggak mampu, hahaha. Sementara, kelompok masyarakat yang sebenarnya sangat membutuhkan kendaraan yang lebih hemat BBM agar pendapatan bulanannya tidak tersedot ke sana, bisa dipastikan cuma bisa meneteskan air liur saja melihat Prius. Sambil bermimpi agar selekasnya muncul Carry Hybrid, Zebra Hybrid, Xenia Hybrid, Avanza Hybrid, Karimun Hybrid, Jazz Hybrid, APV Hybrid, dan sejenisnya yang mampu dibeli.
Terjadinya paradoks ini jelas bukan salah Toyota. Dari dulu kita tahu harga mobil di Indonesia memang sudah paradoks. Dengan segala macam alasan, kita harus membayar pajak kendaraan jauh lebih besar dibanding rata-rata penduduk di negara lainnya, termasuk negara yang jauh lebih maju macam Amerika Serikat dan negara-negara di Eropa (kecuali mungkin Singapura dan beberapa negara kecil lainnya). Jadinya, rasio pendapatan dengan harga mobil betul-betul jomplang. Perbandingan sederhananya adalah harga jual Prius di Amerika. Coba kita hitung begini: bila kita anggap batas kewajaran seseorang untuk memiliki sebuah mobil adalah harga mobil miliknya wajarnya berada di bawah total pendapatan setahun, maka memang Prius di Amerika bisa dibilang mobil yang relatif murah (pendapatan seorang tukang listrik biasa saja di sana sekitar US$ 25,000 per tahun). Tak heran bila Prius menjadi begitu popular di sana. Kalau di Indonesia? Ya bayangkan saja sendiri berapa banyak orang yang punya penghasilan lebih dari 450 juta setahun. Barangkali tak sampai 1% dari populasi. Apa mungkin Prius menjadi mobil 'sejuta umat'.
Jadi jelas sudah, Prius akan menjadi ‘hak eksklusif’ kelompok menengah atas di Indonesia. Padahal, menurut saya, ini benar-benar perkara political will dari pemerintah. Bila pemerintah mau melihat mendesaknya kebutuhan terhadap kendaraan yang hemat energi dan mampu mengurangi dampak lingkungan secara signifikan di negeri ini, teknologi hybrid atau teknologi kendaraan elektrik lainnya harusnya mendapat potongan pajak yang besar agar dapat dijual dengan harga lebih terjangkau, karena konon komponen harga mobil terbesar di negeri ini adalah segala macam jenis pajak yang dikenakan. Atau lebih jauh lagi, pemerintah mendorong produsen mobil-mobil kelas harga yang saya sebut di atas untuk mengembangkan versi hybrid dengan kompensasi pengurangan pajak yang besar. Lebih-lebih lagi kalau semua bis kota, metro mini, mikrolet dan segala jenis angkutan umum didukung juga keberadaan versi hybridnya. Mantap bener tuh! Mustinya visi seperti ini yang segera diusung, bukan hanya sekedar kir emisi yang sekarang sedang ramai dibicarakan di Jakarta. Sepertinya sederhana ya? Saya juga tidak mengerti susahnya dimana. Sumpah!
Padahal, di Indonesia sebenarnya sudah ada dua pihak yang punya niat besar untuk mengembangkan city car berbasis energi elektrik. Satu karya peneliti LIPI yang dinamai MARLIP (dari kata Marmut dan LIPI. Nama yang aneh! hehehe). LIPI juga perancang KANCIL yang sekarang jadi pengganti bajaj. Satu lagi dari PT Dirgantara Indonesia yang dinamai Gang Car (Ini maksudnya mobil yang bisa masuk ke gang-gang kali ya, hehehe). Sayangnya pakai goggle, saya cuma ketemu 1 fotonya, sedang dikendarai oleh Presiden dan Aa Gym. Padahal, Marlip sendiri katanya sudah punya 8 model. Prius saja tidak sebanyak itu. Aduh, mudah-mudahan idenya tidak bernasib seperti liputannya yang cuma jadi berita seremonial saja. Terus terang saya tidak tahu rencana besar apa yang akan dilakukan pemerintah terhadap 2 usulan ini.
Sementara ini, sesaat lagi, kita nikmati saja dulu kehadiran Prius di jalan-jalan. Mudah-mudahan Prius dibeli – oleh mereka yang sanggup membelinya – dengan kesadaran terhadap perbaikan kondisi lingkungan yang tinggi. Dan semoga, kita tidak perlu menemukan paradoks berikutnya di jalanan: seorang majikan melempar sampah ke jalanan dari kaca jendela mobil Toyota Prius yang mulus dan kinclong. Itu sih namanya mobil hybrid dengan konsumen 'hybrid' dong, hahahaha
Toyota Prius yang dijual seharga US$ 21,725 di Amerika sana (senilai 206,6 juta rupiah untuk kurs 9.500 perak per dollar) memang pionir kendaraan masa depan. Teknologi hybrid selain sangat ramah lingkungan juga menjanjikan efisiensi bahan bakar yang luar biasa karena memadukan secara canggih dua sistem energi penggerak: bahan bakar bensin dan listrik. Alhasil, daya hemat bahan bakarnya mencapai 1:25. Untuk 1 liter bensin menempuh jarak 25 kilometer. Kesuksesan Prius membuat semua produsen lain berlomba-lomba menyiapkan versi hybrid pada kendaraan keluaran tahun ini. Honda, Ford, Chevrolet, Lexus dan sejumlah merek sudah siap berebut pasar mobil hybrid. Termasuk Toyota sendiri untuk jenis lainnya.
Sejatinya, teknologi ini merupakan sebuah solusi hebat untuk masyarakat Indonesia yang sanggup membeli mobil. Bisa mengakali harga BBM yang semakin melangit sekaligus berperan dalam mengurangi polusi yang makin menggila di kota-kota besar.
Ironisnya, Prius akan dijual di Indonesia dengan harga sekitar 450 juta rupiah. Di kelompok harga ini, Prius akan berada sejajar dengan sedan mewah sekelas Audi A4 2.0, BMW 320i, Mercedes C200 dan Volvo S60 2.0. Bahkan lebih mahal dari Toyota Camry, Honda Accord dan Nissan Teana yang tampil sangat mewah. Berapa orang yang sanggup membelinya?
Memang aneka mobil mewah berseliweran di jalan-jalan, khususnya Jakarta. Bahkan yang harganya berlipat kali Prius. Namun -- tetap saja -- dari jutaan mobil yang beredar di negeri ini, populasinya didominasi oleh mobil jenis Toyota Kijang, Xenia, Avanza, APV, Atoz, Karimun, Zebra, Carry, Jazz, Ceria dan semua jenis mobil di kisaran harga 60 – 150 juta. Ini mencerminkan daya beli masyarakat yang sebenarnya.
Tak pelak, kehadiran Prius menurut saya sebuah paradoks. Kelompok masyarakat yang sanggup beli mobil seharga 450 juta adalah justru kelompok yang kebal terhadap kenaikan harga BBM. Nilai penghematannya juga mungkin tidak akan terasa sama sekali jika dibandingkan penghasilan bulanan mereka. Kalau pun iya, itu sih lebih karena pelit ketimbang beneran nggak mampu, hahaha. Sementara, kelompok masyarakat yang sebenarnya sangat membutuhkan kendaraan yang lebih hemat BBM agar pendapatan bulanannya tidak tersedot ke sana, bisa dipastikan cuma bisa meneteskan air liur saja melihat Prius. Sambil bermimpi agar selekasnya muncul Carry Hybrid, Zebra Hybrid, Xenia Hybrid, Avanza Hybrid, Karimun Hybrid, Jazz Hybrid, APV Hybrid, dan sejenisnya yang mampu dibeli.
Terjadinya paradoks ini jelas bukan salah Toyota. Dari dulu kita tahu harga mobil di Indonesia memang sudah paradoks. Dengan segala macam alasan, kita harus membayar pajak kendaraan jauh lebih besar dibanding rata-rata penduduk di negara lainnya, termasuk negara yang jauh lebih maju macam Amerika Serikat dan negara-negara di Eropa (kecuali mungkin Singapura dan beberapa negara kecil lainnya). Jadinya, rasio pendapatan dengan harga mobil betul-betul jomplang. Perbandingan sederhananya adalah harga jual Prius di Amerika. Coba kita hitung begini: bila kita anggap batas kewajaran seseorang untuk memiliki sebuah mobil adalah harga mobil miliknya wajarnya berada di bawah total pendapatan setahun, maka memang Prius di Amerika bisa dibilang mobil yang relatif murah (pendapatan seorang tukang listrik biasa saja di sana sekitar US$ 25,000 per tahun). Tak heran bila Prius menjadi begitu popular di sana. Kalau di Indonesia? Ya bayangkan saja sendiri berapa banyak orang yang punya penghasilan lebih dari 450 juta setahun. Barangkali tak sampai 1% dari populasi. Apa mungkin Prius menjadi mobil 'sejuta umat'.
Jadi jelas sudah, Prius akan menjadi ‘hak eksklusif’ kelompok menengah atas di Indonesia. Padahal, menurut saya, ini benar-benar perkara political will dari pemerintah. Bila pemerintah mau melihat mendesaknya kebutuhan terhadap kendaraan yang hemat energi dan mampu mengurangi dampak lingkungan secara signifikan di negeri ini, teknologi hybrid atau teknologi kendaraan elektrik lainnya harusnya mendapat potongan pajak yang besar agar dapat dijual dengan harga lebih terjangkau, karena konon komponen harga mobil terbesar di negeri ini adalah segala macam jenis pajak yang dikenakan. Atau lebih jauh lagi, pemerintah mendorong produsen mobil-mobil kelas harga yang saya sebut di atas untuk mengembangkan versi hybrid dengan kompensasi pengurangan pajak yang besar. Lebih-lebih lagi kalau semua bis kota, metro mini, mikrolet dan segala jenis angkutan umum didukung juga keberadaan versi hybridnya. Mantap bener tuh! Mustinya visi seperti ini yang segera diusung, bukan hanya sekedar kir emisi yang sekarang sedang ramai dibicarakan di Jakarta. Sepertinya sederhana ya? Saya juga tidak mengerti susahnya dimana. Sumpah!
Padahal, di Indonesia sebenarnya sudah ada dua pihak yang punya niat besar untuk mengembangkan city car berbasis energi elektrik. Satu karya peneliti LIPI yang dinamai MARLIP (dari kata Marmut dan LIPI. Nama yang aneh! hehehe). LIPI juga perancang KANCIL yang sekarang jadi pengganti bajaj. Satu lagi dari PT Dirgantara Indonesia yang dinamai Gang Car (Ini maksudnya mobil yang bisa masuk ke gang-gang kali ya, hehehe). Sayangnya pakai goggle, saya cuma ketemu 1 fotonya, sedang dikendarai oleh Presiden dan Aa Gym. Padahal, Marlip sendiri katanya sudah punya 8 model. Prius saja tidak sebanyak itu. Aduh, mudah-mudahan idenya tidak bernasib seperti liputannya yang cuma jadi berita seremonial saja. Terus terang saya tidak tahu rencana besar apa yang akan dilakukan pemerintah terhadap 2 usulan ini.
Sementara ini, sesaat lagi, kita nikmati saja dulu kehadiran Prius di jalan-jalan. Mudah-mudahan Prius dibeli – oleh mereka yang sanggup membelinya – dengan kesadaran terhadap perbaikan kondisi lingkungan yang tinggi. Dan semoga, kita tidak perlu menemukan paradoks berikutnya di jalanan: seorang majikan melempar sampah ke jalanan dari kaca jendela mobil Toyota Prius yang mulus dan kinclong. Itu sih namanya mobil hybrid dengan konsumen 'hybrid' dong, hahahaha
Monday, January 09, 2006
Andai Peter Jackson Penggemar RA Kosasih
Mungkin kita juga akan menyaksikan di layar lebar hebatnya kisah Mahabharata dan perang Bharata Yudha yang kolosal tampil sedahsyat kisah trilogi The Lord of The Rings dan King Kong, film teranyar karya Peter Jackson.
Usai nonton King Kong, kesimpulan saya memang makin mantap. Peter Jackson sulit dicari tandingannya di muka bumi ini dalam urusan menciptakan imajinasi yang spektakuler jadi ‘nyata’ ke layar lebar. Eh, berlebihan nggak ya? Tapi coba bayangkan, dari trilogi The Lord of The Rings plus King Kong, siapa coba saingan terdekat Peter Jackson sekarang dalam urusan menghidupkan ‘imajinasi kolosal’ sepresisi dia? Mungkin George Lucas dan Steven Spielberg bisa dianggap ‘pesaing’ terdekat dalam urusan tersebut. Tapi – menurut saya sih – tetap beda jenisnya.
Dari pengakuan Peter Jackson terlihat sekali bahwa dia punya kedekatan emosional dengan kisah-kisah yang diangkat ke layar lebar. Buku The Lord of The Rings karya JRR Tolkien adalah cerita kegemarannya dari kecil. Film King Kong yang dibuat tahun 1933 adalah penyebab dia kebelet jadi filmmaker saat dia berusia 8 tahun. Jadi tak heran obsesi besarnya didukung oleh kedekatan yang sangat dengan kisah yang difilmkannya.
Coba kita berandai-andai sejenak. Seandainya si Peter Jackson ini tinggal di Indonesia pada tahun 70-80an, tentu dia akan menjadi salah satu anak muda pelahap komik-komik superhero lokal macam Gundala Putera Petir, Godam, Maza, dan lain-lain. Dia juga mungkin akan jadi pembaca kelas berat cerita silat (cersil) karangan Asmaraman Kho Ping Hoo yang terkenal dengan serial cersil tentang Pendekar Super Sakti, Suma Han. Terakhir, dia juga mungkin akan menjadi pengagum berat kisah-kisah wayang dalam bentuk komik yang legendaris karya RA Kosasih.
Dari 3 macam komik/cerita populer di era itu (sebenarnya ada satu lagi bacaan populer yaitu stensilan Ennie Arrow. Tapi untuk yang satu ini biarlah Vivid Enterprise yang menggarapnya, ha… ha… ha…), komik wayang legendaries RA Kosasih, utamanya kisah perang Bharata Yudha yang kolosal dan dramatik dalam cerita Mahabharata, menurut saya, bakal jadi tantangan yang sangat menggiurkan bagi orang sekaliber Peter Jackson untuk ‘dihidupkan’ ke layar lebar. Di dalam cerita perperangan besar Bharata Yudha terkandung kisah tentang percintaan, kesetiaan, pengkhianatan, keberanian, kepengecutan, politik, dan segala macam unsur utama yang diperlukan untuk membuat film menjadi cerita yang menarik. Saya yakin kalau saja seorang Peter Jackson menggemari komik wayang RA Kosasih, kita bakal menikmati versi layar lebarnya yang dahsyat. Sayang seribu sayang, dia besar di Selandia Baru. Tak ada wayang di sana. Apalagi seri komik wayangnya RA Kosasih.
Saya, kebetulan, termasuk salah satu anak di era itu (masih SMP) yang menyukai kisah perwayangan berkat jasa komik wayang RA Kosasih. Bukan dari novel kelas berat. Bukan pula dari pertunjukan wayang kulit atau wayang orang. Pada masa itu, ilustrasi perang Bharatha Yudha betul-betul tergambar di ‘otak’ saya berkat komik wayang ini. Saya pun masih menyimpan koleksi komik tersebut sampai hari ini. Sementara cerita silat Kho Ping Hoo dari seri Bu Kek Siansu si manusia setengah dewa, seri Pendekar Suling Emas diteruskan ke kisah Istana Pulau Es yang menjadi tempatnya Pendekar Super Sakti sampai lanjutan kisah kedua putera kembarnya. Saking getolnya membaca cerita-cerita tersebut saya pun tidak naik kelas di tahun tersebut, ha… ha… ha… dasar bego!
Imajinasi saya tentang kehebatan ilmu silat di cersil Kho Ping Hoo terbayar ketika saya menonton film Crouching Tiger Hidden Dragon karya Ang Lee. Ingat adegan kesaktian para pendekar berkejar-kejaran di pohon-pohon bambu, dong? Itulah ginkang ilmu peringan tubuh tingkat tinggi dalam gambaran cersil Kho Ping Hoo. Gambaran cersil di otak saya semakin jelas lagi ‘hidup’ ketika saya menonton film Hero karya Zhang Yimou. Dan kesaktian pesilat yang saking saktinya bisa terbang baru-baru ini saya nikmati di film terbaru Chen Kaige berjudul The Promise. Saat ini, filmnya masih diputar di jaringan 21.
Sementara untuk kisah-kisah superhero, biar pun bukan cerita soal Gundala, Godam dan Maza, tapi serial film seperti Batman dan Superman (tahun ini ada lanjutan Superman baru nih) sudah sejak lama berhasil ‘menghidupkan’ rekaman di otak saya tentang gambaran komik superhero yang dulu saya baca.
Tinggallah rekaman di otak saya dari komik wayang RA Kosasih inilah yang belum ‘hidup’ di layar lebar. Itulah sebabnya saya pun jadi berandai-andai: andai saja si Peter Jackson ini juga menjadi penggemar komik RA Kosasih, mungkin kita bisa nonton kisah dramatis Mahabharata dan perang akbar Bharata Yudha sedahsyat perang The Lord of The Rings di layar lebar. Sekali lagi, sayang seribu sayang! Apa saya email saja ya si Bung Peter Jackson ini? he...he...he... Nekat!
Usai nonton King Kong, kesimpulan saya memang makin mantap. Peter Jackson sulit dicari tandingannya di muka bumi ini dalam urusan menciptakan imajinasi yang spektakuler jadi ‘nyata’ ke layar lebar. Eh, berlebihan nggak ya? Tapi coba bayangkan, dari trilogi The Lord of The Rings plus King Kong, siapa coba saingan terdekat Peter Jackson sekarang dalam urusan menghidupkan ‘imajinasi kolosal’ sepresisi dia? Mungkin George Lucas dan Steven Spielberg bisa dianggap ‘pesaing’ terdekat dalam urusan tersebut. Tapi – menurut saya sih – tetap beda jenisnya.
Dari pengakuan Peter Jackson terlihat sekali bahwa dia punya kedekatan emosional dengan kisah-kisah yang diangkat ke layar lebar. Buku The Lord of The Rings karya JRR Tolkien adalah cerita kegemarannya dari kecil. Film King Kong yang dibuat tahun 1933 adalah penyebab dia kebelet jadi filmmaker saat dia berusia 8 tahun. Jadi tak heran obsesi besarnya didukung oleh kedekatan yang sangat dengan kisah yang difilmkannya.
Coba kita berandai-andai sejenak. Seandainya si Peter Jackson ini tinggal di Indonesia pada tahun 70-80an, tentu dia akan menjadi salah satu anak muda pelahap komik-komik superhero lokal macam Gundala Putera Petir, Godam, Maza, dan lain-lain. Dia juga mungkin akan jadi pembaca kelas berat cerita silat (cersil) karangan Asmaraman Kho Ping Hoo yang terkenal dengan serial cersil tentang Pendekar Super Sakti, Suma Han. Terakhir, dia juga mungkin akan menjadi pengagum berat kisah-kisah wayang dalam bentuk komik yang legendaris karya RA Kosasih.
Dari 3 macam komik/cerita populer di era itu (sebenarnya ada satu lagi bacaan populer yaitu stensilan Ennie Arrow. Tapi untuk yang satu ini biarlah Vivid Enterprise yang menggarapnya, ha… ha… ha…), komik wayang legendaries RA Kosasih, utamanya kisah perang Bharata Yudha yang kolosal dan dramatik dalam cerita Mahabharata, menurut saya, bakal jadi tantangan yang sangat menggiurkan bagi orang sekaliber Peter Jackson untuk ‘dihidupkan’ ke layar lebar. Di dalam cerita perperangan besar Bharata Yudha terkandung kisah tentang percintaan, kesetiaan, pengkhianatan, keberanian, kepengecutan, politik, dan segala macam unsur utama yang diperlukan untuk membuat film menjadi cerita yang menarik. Saya yakin kalau saja seorang Peter Jackson menggemari komik wayang RA Kosasih, kita bakal menikmati versi layar lebarnya yang dahsyat. Sayang seribu sayang, dia besar di Selandia Baru. Tak ada wayang di sana. Apalagi seri komik wayangnya RA Kosasih.
Saya, kebetulan, termasuk salah satu anak di era itu (masih SMP) yang menyukai kisah perwayangan berkat jasa komik wayang RA Kosasih. Bukan dari novel kelas berat. Bukan pula dari pertunjukan wayang kulit atau wayang orang. Pada masa itu, ilustrasi perang Bharatha Yudha betul-betul tergambar di ‘otak’ saya berkat komik wayang ini. Saya pun masih menyimpan koleksi komik tersebut sampai hari ini. Sementara cerita silat Kho Ping Hoo dari seri Bu Kek Siansu si manusia setengah dewa, seri Pendekar Suling Emas diteruskan ke kisah Istana Pulau Es yang menjadi tempatnya Pendekar Super Sakti sampai lanjutan kisah kedua putera kembarnya. Saking getolnya membaca cerita-cerita tersebut saya pun tidak naik kelas di tahun tersebut, ha… ha… ha… dasar bego!
Imajinasi saya tentang kehebatan ilmu silat di cersil Kho Ping Hoo terbayar ketika saya menonton film Crouching Tiger Hidden Dragon karya Ang Lee. Ingat adegan kesaktian para pendekar berkejar-kejaran di pohon-pohon bambu, dong? Itulah ginkang ilmu peringan tubuh tingkat tinggi dalam gambaran cersil Kho Ping Hoo. Gambaran cersil di otak saya semakin jelas lagi ‘hidup’ ketika saya menonton film Hero karya Zhang Yimou. Dan kesaktian pesilat yang saking saktinya bisa terbang baru-baru ini saya nikmati di film terbaru Chen Kaige berjudul The Promise. Saat ini, filmnya masih diputar di jaringan 21.
Sementara untuk kisah-kisah superhero, biar pun bukan cerita soal Gundala, Godam dan Maza, tapi serial film seperti Batman dan Superman (tahun ini ada lanjutan Superman baru nih) sudah sejak lama berhasil ‘menghidupkan’ rekaman di otak saya tentang gambaran komik superhero yang dulu saya baca.
Tinggallah rekaman di otak saya dari komik wayang RA Kosasih inilah yang belum ‘hidup’ di layar lebar. Itulah sebabnya saya pun jadi berandai-andai: andai saja si Peter Jackson ini juga menjadi penggemar komik RA Kosasih, mungkin kita bisa nonton kisah dramatis Mahabharata dan perang akbar Bharata Yudha sedahsyat perang The Lord of The Rings di layar lebar. Sekali lagi, sayang seribu sayang! Apa saya email saja ya si Bung Peter Jackson ini? he...he...he... Nekat!
Monday, January 02, 2006
Kantor Saya Juga Punya Resolusi
Satucitra, perusahaan tempat saya bekerja -- tumben-tumbenan -- bikin resolusi yang ingin dicapai tahun 2006 ini.
Apa resolusinya? Jelas bukan nambah billing. Atau nambah profit. Kalau urusan itu, namanya perusahaan ya jelas salah satu tujuan utamanya. Resolusi ini nggak ada urusannya sama ‘isi dompet’ perusahaan. Resolusinya juga sama sekali nggak ada urusannya dengan prestasi kreatif atau award-awardan. Jadi apa dong resolusi Satucitra untuk 2006?
Resolusi yang ingin dicapai Satucitra di tahun 2006 adalah sesuatu yang sudah lama diandai-andai bersama oleh anak-anak Satucitra kalau sedang jenuh badai otak alias brainstorming. Kita pengen punya sebuah fitness center. Bukan sebuah fitness center sekelas klub-klub keanggotaan yang canggih dan lengkap, tapi sebuah ruang khusus yang akan menyediakan beberapa peralatan fitness standar yang bisa digunakan oleh semua karyawan. Beberapa treadmill, sepeda statis, paket barbel dan beberapa peralatan standar lain. Mungkin kurang tepat bila disebut fitness center. Lebih tepat barangkali disebut saja Ruang Olah Raga. Seperti di sekolah.
Resolusi ini memang akumulasi harapan anak-anak kantor. Sebagian anak-anak cewek sedang semangat berombongan ikut aerobik. Sebagian lagi termasuk rombongan jogging ke Senayan. Rombongan jogging yang sering mengistilahkan kegiatan mereka sebagai kegiatan lari ‘dari kenyataan hidup’ ini juga anget-anget tai ayam. Lebih banyak ide dan keinginan dari prakteknya. Makanya bila ada treadmill di kantor tentu mereka tentu akan lebih mudah buat merealisir keinginan buat jogging. Resolusi ini juga didukung oleh kecemasan sebagian anak-anak cowok di kantor yang makin gelisah melihat besaran perutnya. Nah, saya pun ternyata termasuk dalam rombongan terakhir ini, ha… ha… ha…
Jadilah angan-angan ini suatu siang di awal Desember ketika kami sedang duduk ramai-ramai di lobi kantor, tercetus jadi sebuah resolusi. Tempat Ruang Olah Raga Satucitra pun sudah dialokasikan. Tepatnya di ruang depan sebelah kanan lobi, persis di depan taman. Rencananya Ruang Olah Raga ini akan dilengkapi dengan locker, shower room dan tentu saja peralatan. Ruangannya akan ditata sedemikian rupa sehingga anak-anak akan berolah raga sambil menghadap ke taman biar tambah segar (sekilas di foto terlihat tamannya). Lumayan muluk nih angan-angannya.
Resolusi sudah ditetapkan. Cara mewujudkan juga akan menempuh langkah khas Satucitra. Pelan-pelan asal kelakon. Seperti langkah Satucitra membangun jaringan intranet lima tahun lalu yang biayanya bisa jauh di bawah standar kebanyakan perusahaan lain. Juga seperti teknik Satucitra membuat jaringan wi-fi murah meriah untuk seluruh kantor. Urusan membangun Ruang Olah Raga ini juga akan dilakoni dengan cara yang sama. Perusahaan tidak akan membangun sekali gabruk dengan duit seabreg, tentunya. Ruang Olah Raga ini akan dibangun dari hasil ‘keringat’. Artinya, peralatan akan dicicil pelan-pelan kelengkapannya berdasarkan kondisi 'dompet' perusahaan. Yang terpenting, ‘budaya’ sehat pelan-pelan juga bisa tumbuh di kantor kami. Supaya keberadaan Ruang Olah Raga ini kehadirannya juga tidak mengalami – maaf – ‘ejakulasi dini’. Cuma semangat di awal keberadaan, tak berapa lama kemudian cuma jadi pajangan gengsi perusahaan belaka. Ini jauh dari angan-angan kami, sebab Satucitra juga bukan perusahaan yang tajir luar biasa, he… he… he….
Apa resolusinya? Jelas bukan nambah billing. Atau nambah profit. Kalau urusan itu, namanya perusahaan ya jelas salah satu tujuan utamanya. Resolusi ini nggak ada urusannya sama ‘isi dompet’ perusahaan. Resolusinya juga sama sekali nggak ada urusannya dengan prestasi kreatif atau award-awardan. Jadi apa dong resolusi Satucitra untuk 2006?
Resolusi yang ingin dicapai Satucitra di tahun 2006 adalah sesuatu yang sudah lama diandai-andai bersama oleh anak-anak Satucitra kalau sedang jenuh badai otak alias brainstorming. Kita pengen punya sebuah fitness center. Bukan sebuah fitness center sekelas klub-klub keanggotaan yang canggih dan lengkap, tapi sebuah ruang khusus yang akan menyediakan beberapa peralatan fitness standar yang bisa digunakan oleh semua karyawan. Beberapa treadmill, sepeda statis, paket barbel dan beberapa peralatan standar lain. Mungkin kurang tepat bila disebut fitness center. Lebih tepat barangkali disebut saja Ruang Olah Raga. Seperti di sekolah.
Resolusi ini memang akumulasi harapan anak-anak kantor. Sebagian anak-anak cewek sedang semangat berombongan ikut aerobik. Sebagian lagi termasuk rombongan jogging ke Senayan. Rombongan jogging yang sering mengistilahkan kegiatan mereka sebagai kegiatan lari ‘dari kenyataan hidup’ ini juga anget-anget tai ayam. Lebih banyak ide dan keinginan dari prakteknya. Makanya bila ada treadmill di kantor tentu mereka tentu akan lebih mudah buat merealisir keinginan buat jogging. Resolusi ini juga didukung oleh kecemasan sebagian anak-anak cowok di kantor yang makin gelisah melihat besaran perutnya. Nah, saya pun ternyata termasuk dalam rombongan terakhir ini, ha… ha… ha…
Jadilah angan-angan ini suatu siang di awal Desember ketika kami sedang duduk ramai-ramai di lobi kantor, tercetus jadi sebuah resolusi. Tempat Ruang Olah Raga Satucitra pun sudah dialokasikan. Tepatnya di ruang depan sebelah kanan lobi, persis di depan taman. Rencananya Ruang Olah Raga ini akan dilengkapi dengan locker, shower room dan tentu saja peralatan. Ruangannya akan ditata sedemikian rupa sehingga anak-anak akan berolah raga sambil menghadap ke taman biar tambah segar (sekilas di foto terlihat tamannya). Lumayan muluk nih angan-angannya.
Resolusi sudah ditetapkan. Cara mewujudkan juga akan menempuh langkah khas Satucitra. Pelan-pelan asal kelakon. Seperti langkah Satucitra membangun jaringan intranet lima tahun lalu yang biayanya bisa jauh di bawah standar kebanyakan perusahaan lain. Juga seperti teknik Satucitra membuat jaringan wi-fi murah meriah untuk seluruh kantor. Urusan membangun Ruang Olah Raga ini juga akan dilakoni dengan cara yang sama. Perusahaan tidak akan membangun sekali gabruk dengan duit seabreg, tentunya. Ruang Olah Raga ini akan dibangun dari hasil ‘keringat’. Artinya, peralatan akan dicicil pelan-pelan kelengkapannya berdasarkan kondisi 'dompet' perusahaan. Yang terpenting, ‘budaya’ sehat pelan-pelan juga bisa tumbuh di kantor kami. Supaya keberadaan Ruang Olah Raga ini kehadirannya juga tidak mengalami – maaf – ‘ejakulasi dini’. Cuma semangat di awal keberadaan, tak berapa lama kemudian cuma jadi pajangan gengsi perusahaan belaka. Ini jauh dari angan-angan kami, sebab Satucitra juga bukan perusahaan yang tajir luar biasa, he… he… he….
Subscribe to:
Posts (Atom)