Friday, July 25, 2014

Semangat Kehidupan Laut: Kita Harus Pergi dan Mengalaminya.

Benar kata Jacques Cousteau: "The sea, once it casts its spell, holds one in its net of wonder forever." Raja Ampat adalah 'Amin' untuk semua ungkapan tentang laut bagi refleksi kemanusiaan kita. 


Hampir sebagian besar wilayah Raja Ampat belum tersentuh peradaban modern. Sepenuhnya, keindahan yang hadir di sini merupakan anugerah alam. Sejatinya, di tempat seperti inilah justru kita dapat merayakan kemampuan terbaik manusia membangun peradaban: menjaga apa yang dimiliki bumi untuk kepentingan seluruh umat manusia. Tanpa sekat. Tanpa beda.

Tanpa signal telepon. Tanpa kendaraan bermotor. Tanpa alat pendingin ruangan. Tanpa busana formal trend terbaru. Tanpa segala embel-embel produk modern, kita kerap lebih mudah menemukan nilai kemanusiaan pada diri kita sendiri. Seperti kata Edward Abbey: "Wilderness is not a luxury but a necessity of the human spirit." 

*Dimuat di Pelesir, Kompas Klass edisi Februari 2014

Sensasi Terbang di Bawah Laut Raja Ampat


Kebanyakan penyelam di dunia akan menjadikan Raja Ampat sebagai destinasi utama. Keragaman bawah lautnya menjadi semacam perpustakaan lengkap tentang kehidupan bawah laut bumi ini. Kekayaan alamnya tidak mungkin kita nikmati sekaligus hanya dengan berkunjung sekali-dua kali saja.

Bagi penggemar fotografi bawah laut, Raja Ampat adalah lokasi terbaik di dunia untuk adagium "Take only pictures and memories... leave only bubbles." Tidak hanya melihat spesies bawah laut yang spesial, kita juga pasti akan mudah menjumpai ribuan ikan berkelompok (school of fish) dan keindahan koral warna-warni yang berjajar rapat dan banyak.

Raja Ampat bukan hanya aset negeri ini. Ia telah menjadi aset dunia. Bekal berharga bumi ini untuk masa depan. Itu sebabnya, di sini, setiap penyelam dianjurkan sudah memiliki kemampuan 'terbang' di bawah laut cukup baik agar tidak mudah menyentuh apapun di dalamnya. Karena 'terbang' melayang mengikuti irama arus bawah laut Raja Ampat adalah sebuah ritual yang luar biasa indah bagi setiap penyelam.


*Tulisan dan foto ini terbit di KOMPAS KLASS, edisi 20 September 2013.

Friday, July 18, 2014

Jangan Pandang Donggala Sebelah Mata

Kita jarang mendengar Donggala disebut-sebut para penyelam sebagai daerah tujuan yang ingin dikunjungi. Bahkan dari para penyelam yang kini makin banyak di kota-kota besar, kita mungkin akan mendengar ekspresi terkejut: “Di mana itu Donggala? Memangnya bisa diving di sana?” Donggala memang belum banyak dikenal. Padahal, bagi penyelam yang tidak suka repot-repot menempuh perjalanan berbelit, Donggala patut dipertimbangkan. Donggala bahkan bisa disebut destinasi menyelam di Sulawesi yang paling mudah untuk dicapai.


Kenapa begitu?

Pertama: Donggala dapat dicapai dengan maskapai Garuda mengambil rute Jakarta – Palu via Makassar. Para penyelam yang membawa peralatan sendiri, apalagi ditambah dengan peralatan pemotretan bawah laut, tahu persis cara menghindari keribetan masalah kelebihan beban bagasi: terbanglah dengan Garuda dan gunakan fasilitas keanggotaan. Garuda melayani 1 kali sehari penerbangan menuju Palu via Makasar. Tentu masih ada pilihan lainnya. Lion Air dan Batavia Air juga melayani penerbangan Jakarta – Palu.

Kedua: Jarak dari bandara Mutiara di Palu ke Donggala hanya 45 menit. Paling lama 1 jam. Perjalanan santai dan cepat. Bahkan dibanding tempat menyelam favorit di Bali, yaitu Tulamben, yang perlu 2 jam berkendara dari bandara Ngurah Rai.

Ketiga: Jika anda memilih bermalam di Prince John Diving Resort, satu-satunya resor diving di Donggala, aktivitas menyelam mudah dilakukan dari depan resor. Apalagi mereka punya housereef yang cukup diunggulkan pesona bawah lautnya. Titik masuk dan keluar menyelam bisa kita lakukan persis dari depan resor.

Saya pun, saat ikut divetrip ke Donggala pada tanggal 26 Desember 2011 sampai 1 Januari 2012, tak membayangkan perjalanannya akan semudah ini.


Tidak ada diving di Donggala, tanpa Prince-John Resort

Kegiatan menyelam rekreasi di Donggala memang dimotori oleh kehadiran Prince John Diving Resort (www.prince-john-diving-resort.com). Hingga saat ini, merekalah satu-satunya resor untuk menyelam di pantai Tanjung Karang, Donggala.
Memiliki 15 bungalow, resor ini menempati lahan seluas 2 hektar dengan kontur berbukit yang langsung bertemu bibir pantai. Setiap beranda bungalow menghadap laut, menciptakan pemandangan cantik menyejukkan mata. Walau tanpa pendingin udara, bungalow tetap nyaman dan resik. Sepertinya, pemiliknya paham betul bahwa para penyelam manca negara bukan mencari fasilitas super mewah, tapi tempat menginap yang cukup layak dan pelayanan menyelam yang mematuhi standar-standar keselamatan yang baik. Kita juga langsung menikmati paket lengkap bila menginap di sini: penginapan, menyelam dan makan pagi-siang-malam setiap hari.
Prince John Diving Resort sendiri memang lebih aktif dipasarkan ke para penyelam asing, terutama dari dataran Eropa. Itu sebabnya, seperti diakui oleh pemiliknya, belum banyak tamu penyelam dalam negeri yang mengunjungi Donggala.


“Pesta” Wrecks

Inilah kesimpulan pribadi saya setelah menikmati 12 kali penyelaman selama 4 hari bersama Prince John Diving Center. 3 dari 12 penyelaman kami lakukan di wreck (bangkai kapal) Gili Raja, Mutiara dan Prince-John. Untuk wreck Mutiara dan Prince-John (ini adalah wreck baru dari sebuah kapal kecil yang sengaja ditenggelamkan di depan resor untuk jadi titik penyelaman) kita bisa menyelam dengan mudah untuk semua level sertifikasi selam, karena relatif berada di kedalaman yang dangkal (15 hingga 20 meter) dan nyaris tidak ada arus yang berarti. Tapi khusus untuk Gili Raja yang merupakan kapal kargo yang tenggelam pada tahun 1958 di masa pemberontak Permesta, tidak semua penyelam diijinkan turun di sini. Bahkan, saking konservatifnya, dive center tidak akan memasukkan Gili Raja sebagai agenda menyelam dalam sebuah trip penyelaman berulang.
Pelayanan yang menciptakan rasa nyaman, tenang dan aman, memang bisa disebut sebagai unggulan Prince John Diving Center. Mereka tidak gegabah membolehkan setiap tamu menyelam di Gili Raja yang berada di kedalaman 50 meter. Tanpa disadari, dari beberapa kali penyelaman mereka ‘memantau’ tingkat kemampuan para penyelam dan memeriksa secara seksama tingkat sertifikasi. Bahkan jumlah log yang banyak dapat mereka abaikan bila penyelam terlihat masih tidak nyaman dengan penyelaman dalam. Alhasil, hanya 8 orang diijinkan menyelam ke Gili Raja. 3 di antaranya sudah menyandang sertifikat instruktur.
Pada saat turun di Gili Raja, diterapkan standar pelaksanaan sangat ketat. Tiap 4 penyelam harus didampingi oleh 2 pemandu yang masing-masing membawa tanki cadangan. Waktu maksimum di kedalaman 50 meter ditetapkan hanya 12 menit (pada prakteknya bahkan 10 menit) untuk kemudian semuanya naik perlahan ke 10-15 meter untuk waktu minimal 15 menit. Semua prosedur itu tidak sia-sia, bila kita telah melihat bangkai kapal Gili Raja sepanjang 80 meter yang masih terbaring utuh di dasar samudera. Pemandangan yang sungguh megah dan misterius. Sayang, karena bulan Desember, kejernihan bawah laut banyak terganggu partikel sehingga menyulitkan pemotretan wide-angle untuk wreck ini.
Buat mereka yang tidak bisa menyelam di Gili Raja, tentu tidak perlu kecewa. Wreck Mutiara juga menyajikan pengalaman sama menakjubkan. Seperti Gili Raja, Mutiara juga merupakan bangkai kapal yang relatif utuh di kedalaman 26 meter. Di sekitar bangkai kapal, lazim kita temui ikan-ikan besar seperti bumphead parrotfish, barracuda, giant trevally, dan lain-lain.


Nudibranchs, Baby Sharks dan Dugong



Di sini, memang kita tidak menemui kerapatan koral sepadat Raja Ampat atau Wakatobi, tapi keragaman nudibranchs bagi para pemotret makro, boleh dibandingkan. Beragam nudibranchs yang cukup sulit ditemui, mudah didapat di sini. Begitu pun dengan pygmy seahorse. Asiknya lagi, itu semua bisa kita jumpai di housereef. Kami juga menjumpai seekor pufferfish besar (hampir 1 meter) berbaring malas di kedalaman 5 meter pada saat melakukan safety stop. Jarang sekali.
Bayi-bayi hiu yang jauh yang ‘divers friendly’ juga sangat mudah dijumpai selama menyelam. Mereka biasanya bersemayam di sela-sela koral keras. Kami pun dengan senangnya mengabadikan sosok mereka dari berbagai sudut. Keberadaan mereka tentu menggembirakan karena berarti perburuan hiu relatif rendah di kawasan ini. Semoga tetap terjaga.
Kurang beruntungnya, kami gagal bertemu highlight selam Donggala yang selalu disebut-sebut para pemandu: dugong atau lembu laut atau ikan duyung. Mamalia laut ini kerap muncul di Natural Reef, tidak jauh dari housereef. Sayangnya, dari 2 kali penyelaman di sini, kami tetap belum berjodoh. Lebih apes lagi,

saat kami naik, para penjaga kapal mengabarkan mereka melihat kehadiran dugong tapi berada di arah yang berlawanan dengan tempat kami menyelam. Errrrrr!



Terakhir, Urusan Makan: Kaledo!
Inilah nama makanan khas setempat. Kaledo kepanjangan dari Kaki Lembu Donggala. Sempatkan mencoba. Di kota Palu, bertebaran rumah makan yang menyajikan hidangan khas ini. Kuliner yang sangat menantang bagi para penghindar kolesterol ini disajikan dalam kuah berbumbu. Lezat sekali. Rekomendasi saya, bila ke sini, nikmatilah Kaledo sebagai signature penutup untuk perjalanan anda ke Donggala.


*Ditulis untuk majalah DIVEMAG edisi April 2012