
Bagi para pecinta kopi sejati, pabrik kopi Aroma bukanlah nama asing. Penggemarnya bahkan datang dari berbagai belahan dunia. Tak heran, karena puluhan tahun pabrik kopi Aroma memasok kopinya ke hotel-hotel dan kafe-kafe ternama di manca negara. Setahu saya, Gandhi Suryoto, kawan saya sesama praktisi periklanan, adalah salah seorang penikmat dan pecinta Kopi Aroma. Di-blog-nya malah ada cerita ia memperoleh pengetahuan pembuatan kopi di pabrik kopi ini.
Sabtu kemarin (18 Februari) saya bersama isteri berkesempatan datang lagi ke Pabrik Kopi Aroma yang berlokasi di jalan Banceuy 51, Bandung. Menelusuri kenangan 20 tahun lalu ketika saya terakhir membeli kopi di sana saat masih duduk di kelas 3 SMA. Waktu itu memang belum ada yang namanya Starbucks, Segafredo, dan sejenisnya. Belum ada juga café yang menjanjikan suasana menikmati kopi dengan gaya ‘priyayi’ di mall dan shopping center. Kopi Aroma adalah ‘kemewahan’ yang terjangkau buat saya dan rekan-rekan sekolah sesama pecinta kopi. Di awal-awal tahun bekerja, saya masih sempat menikmati kembali kopi Aroma dengan gaya yang sedikit menak. Waktu itu, Sidewalk Café yang berada di sayap kiri depan Hotel Savoy Homann hanya menyajikan kopi Aroma buat pengunjungnya. Sayangnya sudah lama café ini tutup, dan coffee shop Homann yang sekarang tidak lagi menjual kopi Aroma.

Selain bangunan luar dan dalam yang tak berubah, satu hal penting yang tak pernah berubah – dan karenanya kopi Aroma tetap menjadi salah satu kopi terbaik sampai hari ini – adalah passion pemiliknya pada kopi. Ketika sedang menanti butir kopi di-grind, kami sempat dihampiri oleh pemiliknya. Beliau – entah generasi ke berapa, walau saya menduga beliau adalah generasi kedua atau ketiga – dengan antusias menjelaskan tentang sifat dua jenis kopi yang kami pesan: Arabica dan Robusta, tanpa diminta. Robusta, katanya, untuk meningkatkan stamina. Berguna untuk tetap melek dan konsentrasi, seperti kalau mau kerja lembur atau mennyetir jarak jauh. Disarankan untuk tidak meminumnya pada saat malam hari ketika kita hendak beristirahat. Sementara jenis Arabica nikmat diminum saat kita sedang happy, rileks dan santai. Kami juga memperoleh tips bagaimana cara menyimpannya. Beliau menyarankan kopi disimpan di tempat kedap udara dan disimpan di dalam frezzer di kulkas. Untuk membawa pulang ke Jakarta, beliau malah wanti-wanti jangan diletakkan di bagasi mobil, tapi di bagian depan dekat AC. Katanya, bagian bagasi belakang mobil yang sering kemasukan bau oli bisa mengganggu aroma kopi. Sayang, kami tidak sempat terlibat pembicaraan lebih lama. Bahkan tidak sempat berkenalan. Beliau sudah disibukkan oleh urusan lain. Satu info penting yang kami dapat, ternyata, sudah banyak tempat minum kopi di Bandung dan Jakarta yang menyajikan kopi Aroma. Sayangnya, beliau juga tak sempat memberitahu kami lebih detail dimana saja di Jakarta kami bisa menikmati kopi Aroma.

Buat Anda para penikmat kopi kelas berat dan belum pernah merasakan nikmatnya kopi Aroma, saya sungguh menyarankan – bila mengunjungi Bandung – sempatkan membeli kopi Aroma. Biar sedikit padat dan ruwet, jalan Banceuy adalah jalan terkenal yang sangat mudah dicari di Bandung. Bila sudah sampai di kawasan itu, tanyakan saja pada para tukang parkir, mereka pasti tahu dimana letak pabrik kopi Aroma yang legendaris itu. Dan silakan buktikan sendiri kedahsyatan rasa dan aromanya yang luar biasa.