Thursday, February 24, 2005

Mencari Mimpi Besar di Tengah Billing Besar

We believe that no one can understand and communicate with Indonesians, like other Indonesians…” Itulah prinsip utama Matari Advertising yang tertulis tegas di halaman website mereka. Ken T. Sudarto dan Paul Karmadi, yang memulai usahanya di era awal periklanan modern Indonesia, tentu sedang memimpikan sesuatu yang lebih besar dari sekedar masa depan Matari sendiri. Inilah – menurut pandangan saya -- mimpi besar para pendiri Matari untuk mewujudkan sebuah kondisi industri periklanan Indonesia, di mana biro-biro iklan lokal sanggup menjadi ‘tuan rumah’ di negerinya sendiri.

Kini, setelah lebih dari 30 tahun industri periklanan modern Indonesia bergulir, sudahkah mimpi besar mereka itu menjadi kenyataan? Mari kita periksa.


Faktanya: Biro-biro Iklan Lokal Berjaya!

Saya tidak asal ngecap. Coba kita periksa total belanja iklan nasional 5 tahun terakhir yang diterbitkan oleh PPPI. Rumusnya sederhana. Jumlahkan saja semua billing biro iklan 20 besar yang notabene sebagian didominasi oleh biro iklan multinasional. Adakah nilainya lebih dari 25% total belanja iklan nasional? TIDAK PERNAH.

Sekarang bayangkan, ada berapa biro iklan multinasional yang posisinya berada di ranking 21 ke bawah? Mungkin tidak lebih dari 20. Artinya, saya hakul yakin, bagian terbesar dari kue belanja iklan nasional masih dikuasai oleh biro-biro iklan lokal. Bahwa kue iklan yang besar itu harus dibagi di antara ratusan atau bahkan ribuan biro iklan lokal, itu persoalan yang berbeda.

Berikutnya. Matari Advertising adalah contoh faktual dari kejayaan biro iklan nasional. Sekalipun pernah berafiliasi, cap Matari tetap biro iklan lokal. Sepanjang keberadaannya, Matari selalu menjadi biro iklan papan atas. Bahkan pernah menjadi biro iklan terbesar, dan selalu menjadi biro iklan lokal terbesar. Matari, harus diakui, telah menjadi landmark dari kejayaan biro iklan lokal di negerinya sendiri.

Di samping Matari, berdasarkan Ranking Billing Tahunan PPPI, tidak sedikit biro-biro iklan lokal yang terus berada dalam mainstream bisnis periklanan nasional. Pendek kata, ‘kekuasaan’ belanja iklan nasional masih berada di tangan biro-biro iklan lokal. Lebih jelas lagi, perkembangan mutakhir industri periklanan pun menunjukkan kiprah biro-biro iklan lokal, baik pemain lama maupun baru, yang menunjukkan prestasi pertumbuhan bisnis sangat spektakuler karena mengalami kenaikan billing hingga ratusan persen.

Tapi tentu saja, kuat atau tidaknya peran biro iklan lokal dalam dinamika industri periklanan di negerinya sendiri tidak bisa hanya diukur dari 2 fakta di atas. Dengan kata lain, sekalipun penting, besar penguasaan billing bukanlah satu-satunya alat ukur. Apalagi periklanan jelas bukan jenis industri perdagangan komoditi yang semata-mata dapat diukur dari pencapaian kuantitatif belaka. Bukankah industri periklanan adalah sebuah industri jasa gagasan yang mengagungkan kreatifitas sebagai pencapaian? Dan urusan kreatifitas tidaklah ditentukan karena sebuah biro iklan lokal atau multinasional, apalagi kecil atau besar.

Industri Tanpa Indonesia Incorporated?

Kenyataannya, sejumlah besar biro iklan lokal di berbagai negara, tumbuh menjadi kuat dan besar di negerinya sendiri, bahkan mendunia, karena adanya gagasan National/Global Incorporated.

Batey Advertising tidak mungkin bisa menjadi biro iklan terbesar di Singapura dan ternama di dunia tanpa dukungan mimpi besar Singapore Airlines untuk menjadi merek kelas dunia. Leo Burnett tidak mungkin jadi salah satu worldwide agency terbesar bila Marlboro tidak bermimpi menjadi merek global yang dominan. Begitu pula dengan McCann Erikson dan Coca Cola, Dentsu dan Toyota, Lowe (Lintas) dan Unilever, dan seterusnya. Tentu kita semua tahu bahwa mereka tidaklah memperoleh komitmen ‘till death do us part’ dari kliennya. Tanpa kemampuan dan kreatifitas yang terus berkembang untuk mengimbangi mimpi besar klien, mereka juga bisa ‘dicerai’ klien sejak jauh-jauh hari.

Walau tidak mutlak, secara umum terwujudnya gagasan Incorporated ini membuat kita mudah melihat bahwa negara-negara yang telah berhasil membangun merek berskala global juga melahirkan biro iklan global dari negerinya. Bagaimana dengan Indonesia sendiri?

Ian Batey pendiri Batey Advertising dalam bukunya Asian Branding, A Great Way To Fly menyebutkan ada 5 kategori merek dari Indonesia yang sangat berpotensi untuk menjadi global brand yakni: kopi, mie instan, furnitur, batik dan sepeda motor. Penulis berpendapat Ian Batey luput mengamati dua kategori merek lagi, yakni rokok dan jamu/produk alami – dan terlalu optimis untuk kategori sepeda motor. Ian Batey bukanlah praktisi periklanan sembarangan. Optimisme beliau terhadap masa depan Indonesia untuk memiliki global brand tentunya membuat kita bertanya: akankah lahir global atau paling tidak regional agency dari Indonesia? Semoga.

Namun begitu, mari kita kesampingkan sejenak gagasan global incorporated. Bagaimana dengan Indonesia Incorporated? Masih adakah? Tanpa bermaksud menggugat atau menyalahkan siapapun, bagi klien gagasan ini mungkin sudah tidak lagi menjadi prioritas atau karena kondisi tertentu tidak relevan lagi untuk dilaksanakan. Sedikit banyak, beberapa fakta di industri periklanan dapat dijadikan contoh: Garuda Indonesia hanya bertahan 3 tahun di Matari. Bank Mandiri perlu ditangani oleh beragam biro iklan. Sejumlah bank pemerintah bahkan berganti biro iklan setiap selesai satu masa kampanye yang singkat. Ada juga yang hanya melakukan penunjukkan biro iklan dalam masa kontrak 3 bulan. Lebih edan lagi, cukup banyak pitching dilakukan hanya untuk storyboard saja. Alhasil, dengan mudah kita bisa melihat kampanye periklanan sebuah merek yang kerap berubah pesan dan pendekatannya. Padahal di muka bumi ini, merek-merek besar yang mampu bertahan hidup melewati berbagai jaman sudah mewarisi dan meneladani sebuah ‘kebenaran’ yang patut ditiru oleh semua merek yang berniat menjadi besar: konsistensi dalam jangka waktu yang panjang. Dengan kata lain, sulit sekali bagi setiap pengiklan untuk membangun kampanye merek yang kuat hanya dengan hubungan sepukul-duapukul dengan sebuah biro iklan.

Mencari Biro Iklan Lokal yang Creative-Driven

Menghadapi kondisi yang tergambar di atas, bisa dikatakan biro-biro iklan multinasional menjalani ‘hidup yang lebih tenang’ dengan klien-klien prinsipal lewat penunjukkan global ketimbang biro-biro iklan lokal yang terus-menerus berada dalam posisi insecure untuk mempertahankan klien. Secara tidak langsung, hal ini sangat mempengaruhi perkembangan mutakhir industri periklanan kita. Melahirkan fenomena-fenomena baru. Lahirnya biro-biro iklan media buying driven dan production driven jauh lebih menonjol dibanding creative driven. Alamiah, di tengah situasi ini tentu ‘menguasai’ belanja media jauh lebih secure bagi setiap biro iklan ketimbang ‘sekedar’ menghasilkan iklan-iklan hebat.

Sejak kehadiran Cabe Rawit dan Macs 909 lebih dari 10 tahun silam, agaknya belum terlihat tanda-tanda kemunculan biro iklan creative-driven yang menonjol. Fakta ini menimbulkan pertanyaan besar: sudah hilangkah daya pesona jenis biro iklan creative-driven karena dinilai tidak mampu lagi menjadi roda penggerak kemajuan bisnis sebuah biro iklan? Penulis sama sekali tidak memiliki analisa yang canggih-canggih untuk menjawab pertanyaan ini. Sejarah telah membuktikan bahwa biro-biro iklan besar yang telah berhasil membantu berbagai merek menjadi besar dan langgeng memimpin pasar dengan cara tetap memelihara dan meningkatkan creative-driven attitude yang terlihat jelas dari sikap penanganan klien dan karya-karya yang dihasilkan. Dunia periklanan berarti belum berubah. Barangkali kita saja yang sedang mengabaikannya, as long as our business running well.

Regenerasi Biro-biro Iklan Lokal?

Tak kalah penting dari persoalan semangat pencapaian kreatif setinggi langit, seperti yang dipesankan oleh almarhum Leo Burnett kepada setiap pegawainya di seluruh dunia, penulis juga melihat sebuah tantangan besar bagi biro-biro iklan lokal yang terdekat adalah faktor regenerasi. Coba kita periksa ada berapa biro iklan lokal yang sekarang telah dikelola manajemen generasi kedua atau ketiga di dalam organisasi perusahaan – baik oleh profesional maupun pewaris usahanya?

Upaya regenerasi kepemimpinan dalam sebuah biro iklan yang karakter usahanya kuat bergantung pada reputasi dan kepercayaan terhadap individu jelas bukan hal yang sepele. Upaya melakukan transformasi dari individual-based ke organisation-based jelas merupakan keniscayaan bagi biro-biro iklan lokal yang ingin tetap menjaga kelanggengan hidupnya, memelihara pertumbuhan bisnisnya, dan membangun mimpi besar untuk menjadi biro iklan lokal papan atas atau bahkan biro iklan regional/global di masa depan. Di titik tersebut, yang mungkin tidak akan lebih dari 20 tahun lagi, sejarah periklanan Indonesia akan mencatat seberapa besar mimpi biro-biro iklan lokal yang ada saat ini.


Ditulis untuk majalah Cakram
dimuat tahun 2003

Kejarlah (Ilmu) Iklan Sampai ke Negeri Thailand

Pepatah yang mengatakan ‘Kejarlah Ilmu Sampai ke Negeri Cina’ nampaknya tidak berlaku untuk dunia periklanan. Pada penyelenggarakan Asia Pacific Advertising Festival (selanjutnya disingkat Adfest) ke VII yang berlangsung dari 18 sampai 20 Maret 2004 lalu, Thailand semakin mengukuhkan diri sebagai negara di kawasan Asia Pasifik yang paling layak menjadi salah satu episentrum perkembangan kreativitas periklanan dunia.


‘CANNES ASIA’

Walau Adfest hanya melombakan karya-karya iklan dari negara di kawasan Asia Pacific, kualitas penyelenggaraan dan standar penilaian lomba yang ditetapkan, makin tahun makin menunjukkan ambisi penyelenggara untuk menjadikan Adfest sebagai salah pusat perkembangan kreativitas periklanan global. Ambisi Thailand untuk menjadikan Adfest sebagai ‘Cannes Asia’ (merujuk pada lomba iklan internasional tahunan Cannes Lyon sebagai salah satu ajang lomba iklan paling bergengsi di dunia) dapat dikatakan kini makin mendekati kenyataan. Tak aneh bila sebagian besar karya iklan yang menyabet penghargaan di Adfest juga berjaya di berbagai lomba iklan kelas dunia, seperti Cannes, Clio, D&AD, dan lainnya.

Sepanjang 3 hari penyelenggaraan di Royal Cliff Beach Resort Hotel Pattaya yang megah dan luas, kurang lebih 1.000 peserta dari berbagai penjuru dunia, utamanya para praktisi iklan di kawasan Asia Pasifik, benar-benar difokuskan ke dalam sebuah forum yang reflektif tentang pencapaian kreativitas periklanan kawasan Asia Pasifik. Lepas dari sekedar acara seremoni pemberian penghargaan kepada para pemenang, acara utama Adfest lebih mengedepankan sebuah proses penggalian terhadap dunia kreativitas periklanan. Para kreator iklan yang menjadi peserta dimanjakan dengan suguhan iklan-iklan peserta yang tidak cukup diamati dalam waktu sehari. Peserta benar-benar dibuat khusuk mengamati satu-per-satu karya iklan peserta Adfest untuk semua kategori dan jenis media.

Tak pelak, suasana tenang dan wajah-wajah tekun mendominasi area pameran iklan media cetak dan media non-televisi yang berada di satu kawasan. Sementara, di area lain tempat penayangan peserta iklan televisi dan film, kerap pecah gelak tawa para penonton menyaksikan sejumlah karya iklan yang benar-benar segar dan penuh kejutan yang menghibur. Selama 3 hari penuh, Adfest juga dipenuhi dengan kegiatan seminar yang menampilkan para kreator iklan kaliber dunia. John Hunt, Worldwide Creative Director TBWA/Worldwide, New York membuka khasanah para kreator iklan tentang solusi-solusi kreatif beyond advertising lewat presentasinya yang dipenuhi dengan beragam contoh kasus di manca negara yang bertajuk “The Idea is King”. Thanonchai Sornsriwichai dari griya produksi Phenomena Bangkok, salah seorang sutradara iklan yang kini berada di ranking 3 dunia dalam perolehan penghargaan atas karya-karya iklannya, dengan bahasa Inggris yang terpatah-patah memberi ‘pencerahan’ kepada para kreator iklan yang hadir tentang pentingnya PASSION dalam menggarap setiap ide yang dimiliki.

Di tahun ke 7, Adfest jelas telah berhasil menjadikan dirinya sebagai ajang lomba dan forum periklanan paling utama di kawasan Asia Pasifik. Tak hanya itu, Adfest bahkan berhasil menarik perhatian para praktisi periklanan dari luar kawasan ini untuk memberi perhatian atas wacana dan karya-karya iklan yang bertarung di sini.


DOMINASI SINGAPURA, JEPANG DAN THAILAND

The King of Prints, julukan ini memang pantas disandang oleh Singapura. Seperti tahun-tahun sebelumnya, tahun ini biro-biro iklan dari Singapura kembali mendominasi peraihan penghargaan kategori Media Cetak. Termasuk penghargaan Best of Print yang diraih oleh TBWA Singapura lewat karya iklan Sphere 1/6th Action Figures. Sebagai negara dengan budaya membaca yang kuat, perkembangan iklan di Singapura memang terfokus di media cetak. Dari negara ini lahir berbagai kampanye iklan cetak yang fenomenal, dan lahir pula para kreator iklan cetak kelas dunia seperti Neil French dan Jim Atckinson (penulis buku periklanan Cutting Edge Advertising dan Cutting Edge Commercial).

Jepang, yang sudah jauh lebih mapan industri periklanannya, tetap menunjukkan kepiawaian melahirkan iklan-iklan yang brilian. Iklan-iklannya begitu sederhana dan ‘grafis’. Apapun mediumnya. Salah satu karya yang menyita perhatian adalah iklan media luar ruang untuk Adidas yang berjudul “Vertical Soccer” karya TBWA Jepang. Iklan yang meraih Best of Outdoor merupakan sebuah happening art di luar ruang, dimana mereka menggantung 2 orang peraga di puncak gedung yang sedang bermain bola di atas papan billboard bergambar lapangan sepakbola.

Bagaimana dengan sang tuan rumah, Thailand? Lebih dari sekedar keunggulan kreatif, kemajuan yang berhasil dicapai oleh industri periklanan Thailand dalam kurun waktu 5 tahun terakhir ini agaknya perlu menjadi sumber pelajaran yang berharga. Hasil yang dicapai Thailand dari Adfest tahun ini dan tahun lalu benar-benar menunjukkan kemampuan sumber daya periklanan Thailand mengembangkan diri. Jika tahun lalu karya-karya Saatchi & Saatchi Thailand yang mendominasi peraihan penghargaan, tahun ini giliran Euro RSCG Bangkok unjuk gigi. Karya-karya Euro RSCG Flagship, utamanya pada karya iklan televisi DVD Soken berjudul “Kill Bill… Kill Bill” yang meraih Best of Television dalam Adfest kali ini. Beserta sebagian besar karya-karya Thailand yang meraih penghargaan di tahun ini – terutama iklan televisi – terlihat jelas bahwa kreativitas periklanan mereka meningkat pesat. Iklan-iklan yang tampil menonjol tahun ini semakin mempertontonkan kepiawaian para kreatornya dalam menerjemahkan pengalaman nyata konsumen sehari-hari menjadi ide-ide yang kuat lewat eksekusi yang sederhana dan menghibur. Pada media televisi, terlihat sekali betapa 19 juri dari 13 negara yang diketuai oleh Tham Khai Meng, Co-Chairman, Asia Pacific Ogilvy & Mather, sangat fokus menganjar kekuatan ide sebagai factor utama penilaian. Beberapa pemenang utama bahkan dieksekusi dengan standar video berbiaya rendah tanpa teknik produksi yang canggih. Contohnya adalah seri iklan DVD Soken karya Euro RSCG Flagship Bangkok peraih Best of Film, seri iklan MC2 Awards karya Ogilvy & Mather Kuala Lumpur peraih Gold kategori Transport, Travel & Tourism Entertainment & Leisure, seri iklan sebuah stasiun radio Gold 90.5 FM berjudul Plumber dan Tennis karya Lowe & Partners Singapore peraih Silver dan Bronze di kategori Publication & Media, dan seri iklan UFJ Tsubasa Securities Bank karya D-Try Inc, Tokyo peraih Gold di kategori Corporate Image, dan lain sebagainya.

Menikmati karya-karya iklan pemenang Adfest VII terlihat jelas bahwa para kreator iklan maupun para pengambil keputusan akhir dalam proses persetujuan iklan tersebut tidak pernah berpretensi menganggap konsumennya bodoh dan sulit memahami pesan dan gagasan yang disampaikan. Dari sikap ini justru lahir iklan-iklan yang sederhana, fokus dan kuat yang mampu membuat konsumen memahami pesannya dan terhibur oleh idenya. Dari iklan-iklan tersebut, tidak nampak pula adanya teori khusus tentang local content yang konon diyakini banyak orang sebagai ‘rahasia sukses’ Thailand mengedepankan iklan-iklannya di ajang dunia. Sepanjang pengamatan penulis selama menikmati karya-karya pemenang Adfest tahun ini, semua gagasan bersifat universal walau menggunakan bahasa masing-masing negaranya. Bersama para praktisi iklan dari Vietnam, Jepang, Cina, India, Australia dan lainnya, penulis bisa sama-sama terhenyak iri, tertegun kagum dan juga tertawa menikmati iklan-iklan tersebut. Di arena ini, semua orang menggunakan satu bahasa yang sama: Big Idea.


MENCARI INDONESIA

Hampir semua pelaku industri periklanan di Asia tahu bahwa Adfest mampu mencapai posisi ini tak lepas dari kerja keras dan kekuatan visi yang dimiliki oleh industri periklanan Thailand. Lewat tangan dingin Vinit Suraphongchai, seorang praktisi periklanan senior yang mendedikasikan waktunya beberapa tahun terakhir ini sebagai Chairman dari Working Committee, Adfest kini bisa dipastikan menjadi salah satu kiblat penting periklanan Asia Pasifik. Bagi para kreator iklan di Asia Pasifik, Adfest telah menjadi semacam ritual ibadah profesi tahunan yang penting untuk mendalami perkembangan kreatif mutakhir sekaligus mengukur kemampuan diri dan menyerap perspektif dan visi kreatif dari berbagai negara lainnya.

Sejak tahun 2003, PPPI selaku penyelenggara ajang lomba iklan nasional Citra Pariwara telah memperbaharui visi Citra Pariwara untuk menjadi tempat bertolak iklan-iklan Indonesia bicara di ajang dunia, minimal setingkat Adfest. Tidak heran, kemudian, hasil Citra Pariwara 2004 yang baru usai serasa begitu kering kerontang dari penghargaan. Tidak ada satupun iklan peserta yang diganjar penghargaan emas. Termasuk penghargaan tertinggi Adhi Citra Pariwara (Best of The Best) yang untuk pertama kalinya dalam sejarah 17 tahun penyelenggaraan diputuskan oleh Dewan Juri tanpa pemenang.

Bila melihat kiprah Indonesia di ajang Adfest, sangat pantas rasanya Dewan Juri berkeras meningkatkan standar penilaian. Di Adfest tahun ini, dari 100 lebih iklan yang dikirim oleh peserta Indonesia, hanya 1 iklan cetak yang berhasil menembus posisi finalis (Iklan cetak Kotex karya Ogilvy Indonesia). Tahun-tahun sebelumnya, bahkan tidak satupun iklan Indonesia yang dapat meraih posisi terhormat dalam ajang ini.

Bagaimana kans iklan-iklan Indonesia dalam ajang festival iklan sekelas Adfest, Clio, Cannes di tahun-tahun mendatang? Ijinkan mengutip sebagian penjelasan yang disampaikan oleh Ariyanto Zaenal, Ketua Dewan Juri Citra Pariwara 2004 pada acara puncak penganugerahan Adhi Citra Pariwara tanggal 10 September silam: “…pemenangnya adalah keberanian kita untuk mengakui bahwa kita harus bekerja lebih keras di masa mendatang untuk mencapai standar yang lebih tinggi...”. Bagi penulis, ini merupakan sebuah pesan moral yang kuat kepada segenap kreator iklan Indonesia untuk berani mengakui bahwa jalan menuju ajang dunia bagi iklan-iklan Indonesia masih harus melalui upaya yang tidak kecil dan sederhana.


*Ditulis untuk pengantar pameran iklan Adfest 2004 Bentara Budaya - PPPI