Tuesday, February 09, 2010

Terlalu Cepat ke Raja Ampat

Kalau tulisan ini mau diartikan sebagai sebuah oleh-oleh, tentu sudah sangat basi dan bulukan. Karena perjalanan menyelam ke kawasan Raja Ampat ini sudah saya lakukan satu tahun lebih.
Namun, berhubung cuma cerita yang tidak bisa basi dan bulukan, saya putuskan tetap membaginya dalam bentuk cerita ringkas perjalanan. Semoga tidak menjemukan.


Tempat Idaman Para Penyelam dari Seluruh Dunia

Nama kawasan Raja Ampat jadi makin mendunia setelah hasil penelitian Dr. Gerald Allen asal Australia diakui secara ilmiah. Temuan penelitian ini menetapkan Raja Ampat sebagai greatest biodiversity ever registered untuk kehidupan bawah laut. 970 species bawah laut tercatat sebagai terbanyak yang pernah ada di dunia.

Sejak itu, liputan mengenai Raja Ampat di berbagai media televisi dan cetak makin melambungkan popularitas tempat ini. Untungnya, kawasan ini belum (dan mudah-mudahan tidak) layak dijadikan kawasan tujuan wisata umum karena beberapa sebab, antara lain: infrastruktur pariwisatanya secara khusus baru menampung kegiatan menyelam, harga penginapan yang di atas rata-rata, serta perjalanan menuju Sorong, kota terdekat dari kawasan Raja Ampat, masih termasuk kategori perjalanan 'penuh perjuangan' yang tidak mudah, seperti yang saya alami sendiri.

Max Ammer adalah nama yang harus disebut sebagai 'penemu' dan pelopor kegiatan diving di kawasan Raja Ampat. Pria asal Belanda ini telah jatuh cinta dan menetap di kawasan ini lebih dari 15 tahun yang lalu. Dia membuka mata dunia terhadap kekayaan bawah laut Raja Ampat dan menjadikan kawasan ini sebagai semacam ultimate destination bagi para penyelam di seluruh dunia melalui Kri Eco Resort (dan kemudian belakangan bertambah dengan Sorido Bay Resort dengan standard yang lebih mewah). Kedua resor ini sejak awal sudah dibangun dengan visi yang jelas: kapasitas dibuat sangat terbatas agak kegiatan penyelaman di kawasan ini tidak terlalu mengganggu ekosistemnya, mengajak masyarakat sekitar menjadi sumber daya, dan bekerjasama dengan pemerintah daerah menerapkan sistem pemeliharaan lingkungan dan dukungan ekonomi kepada nelayan setempat untuk membatasi eksplorasi keanekaragaman sumber laut Raja Ampat. Tidak heran bila biaya entrance fee di kawasan ini sangat mahal. Sebagai WNI saja saya harus membayar Rp 500.000,-, separuh dari yang dibayar para penyelam asing.

Kini, Raja Ampat bisa dibilang adalah permata paling bersinar di kawasan coral triangle dunia. Tidak heran bila kebanyakan penyelam tidak sabar untuk memasukkan kawasan ini ke dalam diving log book mereka, begitu kesempatan datang. Termasuk saya.

Untuk kategori penyelam pemula seperti saya, perjalanan menyelam ke Raja Ampat memang bisa dianggap terlalu cepat. Bagaimana tidak, di dalam log book saya pada saat itu, baru ada Lombok dan Bali. Belum ada Bunaken, Komodo, Wakatobi, Derawan, bahkan Kepulauan Seribu dan sekitarnya yang sangat dekat dari Jakarta. Saya dianggap mengambil 'jalan pintas' menuju lokasi terbaik yang ada di tanah air, hehehehe.


Kri Eco Resort



jetty Sorido Bay Resort


Jakarta - Sorong: Perjalanan Ringan Jadi Berat

Perjalanan Jakarta - Sorong lewat Makasar seharusnya perjalanan yang biasa saja. Dengan transit kurang dari 1 jam, Jakarta - Sorong dapat dicapai kurang dari 5 jam. Itu sebabnya, dengan jadwal berangkat pukul 5 pagi dengan Merpati, saya sudah dijadwalkan untuk mulai menyelam sore hari. Apa lacur, perjalanan ke Sorong harus saya tempuh lebih panjang dari perjalanan Jakarta - London. Terbang dari Jakarta jam 5 pagi di hari Sabtu saya tiba di Sorong baru hari Minggu pukul 9 pagi. Total 28 jam perjalanan. Pesawat dari Makasar ke Sorong yang rencananya berangkat 1 jam setelah kami mendarat di Makasar, dipakai untuk tujuan lain. Dan kami pun terlunta-lunta di Bandara Hasanudin sampai pukul 7 malam akhirnya digelandang ke sebuah hotel melati yang lebih mirip motel esek-esek. Pukul 2 pagi kami mendadak dibangunkan untuk berangkat ke bandara karena pesawat akan berangkat pukul 5 pagi. Ternyata kami baru diberangkatkan ke Sorong pukul 7 pagi. Jadi, siapa bilang Merpati tak pernah ingkar janji?

Saya baru menyadari kemudian, bahwa bandara di Sorong tidak bisa mendaratkan pesawat di malam hari karena lampu bandaranya dicuri. Itu sebabnya kami pun tidak bisa diterbangkan dari Makasar malam hari. Bandara yang sungguh seadanya ini ternyata tidak menyurutkan ribuan penyelam datang ke Raja Ampat untuk menikmati wisata menyelam kelas dunia.

Beberapa menit setelah berada di atas kapal motor cepat milik Papua Diving yang akan membawa kami ke Pulau Kri tempat Kri Eco Resort berada, di tepi laut kota Sorong baru terlihat betapa Raja Ampat adalah sebuah kawasan wisata menyelam terkenal. Jajaran kapal-kapal liveaboard yang bertarif ribuan dollar untuk satu trip berkumpul di sini. Sudah jelas tentu pasar dari wisata ini bukanlah wisatawan lokal.

Seperti tahu bahwa kami telah menempuh perjalanan yang sangat melelahkan, Raja Ampat tidak menunggu hingga kami turun ke dalam laut untuk memamerkan kekayaan alam lautnya. Sepanjang perjalanan 2 jam, kami bertemu dengan 3 ekor ikan paus yang sedang melintas. Pemandangan yang cukup langka ini sedikit menghibur kami yang kelelahan.





Kri Eco Resort: Lebih Indah dari yang Terlihat di Internet

Hiburan kedua terbesar setelah menempuh perjalanan yang melelahkan adalah tempat saya menginap: Kri Eco Resort. Ketika berencana ke Raja Ampat dan melakukan riset kiri-kanan, harga Kri Eco Resort adalah tempat yang paling terjangkau buat saya, dibanding Sorido Bay Resort (yang pemiliknya sama dan terletak satu pulau dengan Kri Eco Resort) serta Misool Eco Resort yang bisa membuat setiap penggemar liburan ke laut meneteskan air liurnya. Namun sayang, harganya berlipat kali lebih mahal. Untuk orang dengan pendapatan rupiah seperti saya, tarif 4000an Euro untuk sungguh sangat berat. Bisa buat DP mobil dong, hehehe (catatan: saat ini mungkin di Raja Ampat sudah ada beberapa tempat baru di luar ketiga ini).

Dari melihat foto-foto Kri Eco Resort di internet, saya berangkat dengan ekspektasi yang tidak tinggi. Bersiap tinggal di sebuah tempat khas untuk backpacker bule yang seadanya. Kenyataannya, Kri Eco Resort adalah sebuah resort alami yang memiliki standar pemeliharaan dan pelayanan tidak kalah dengan resort berbintang lima sekalipun. Tempatnya sungguh lebih nyaman, bersih dan menyenangkan dari yang saya lihat di internet. Jadi dengan nyaman, para penyelam yang tinggal di sini bisa hilir mudik tanpa sandal. Setiap kali mau memasuki kamar atau tempat makan, sudah disediakan baskom besar di pinggir untuk membilas kaki dari pasir-pasir yang menempel.








Kri Eco Resort yang nyaman dan bersih












Bukan Tempat bagi Penyelam Pemula

Saya adalah seorang penyelam berlisensi Open Water. Tergolong pemula. Hanya kebetulan saya sudah melakukan lebih dari 20 kali menyelam, makanya diperbolehkan ikut.

Selain banyak dive site yang arusnya deras, lanskap bawah laut Raja Ampat yang penuh dengan koral hidup yang sangat luas, membutuhkan ketrampilan menyelam sangat baik untuk menghindari rusaknya koral oleh para penyelam yang belum mampu menguasai keseimbangan tubuh di bawah laut. Itulah alasan kenapa kawasan Raja Ampat memprioritaskan para penyelam dengan lisensi advanced dan jumlah penyelaman yang cukup banyak (minimal 20 kali).

Terbukti, pada penyelaman pertama di sore hari di tempat berarus deras, saya langsung terpisah dari kelompok. Beruntung, Papua Diving membekali setiap penyelam dengan pengait darurat. Alhasil, saya harus mengaitkan diri ke karang keras supaya tidak terbawa arus lebih jauh, untuk kemudian naik sendiri setelah menunggu 5 menit tidak melihat kelompok. Inilah sambutan pertama di Raja Ampat: pengalaman pertama saya terbawa arus kencang sampai terpisah dengan kelompok (anggota kelompok saya terdiri dari para penyelam kelas instruktur).

Selain situs-situs yang masih bagus dan sangat kaya dengan spesies bawah laut, lokasi menyelam yang paling mengesankan dan unik untuk saya di Raja Ampat adalah The Passage. Di tempat ini kita menyelam ke semacam gua di pulau kecil hingga kedalaman 18 meter dan menemukan palung terbuka di dalamnya yang menjadi semacam lagoon untuk bersantai. Lebih menarik lagi, penyelaman di The Passage diakhiri dengan meloncat ke arus kencang yang membawa kita 'terbang' ke laut lepas untuk mengakhiri penyelaman. Ingat ketika Nemo mengikuti rombongan penyu melintasi samudera dengan 'membonceng' arus deras? Ya, kurang lebih seperti itulah rasanya.

Sebagai penyelam yang belum terlalu banyak menjelajah wilayah di Indonesia, saya juga sangat terkesan dengan Manta Point. Situs yang berada di tengah laut ini adalah cleaning station untuk puluhan manta ray. 2 macam manta berdada putih dan hitam berukuran raksasa (terbesar bentang sayapnya bisa mencapai 5 meter) hilir mudik ke tempat 'parkir' untuk membiarkan puluhan ikan kecil membersihkan badan mereka. Sama sekali tidak terganggu kehadiran para penyelam yang sedang mengabadikan mereka. Bahkan kita bisa berada dekat sekali (kurang lebih jarak 50 cm saja) dan tidak membuat mereka melarikan diri.

Secara keseluruhan, dari tanggal 19 sampai dengan 25 Januari 2009 tinggal di Kri Eco Resort, saya hanya menyelam di 11 spots yaitu Cape Kri, Chicken Reef, Five Rocks, Mios Kon, Sardine Reef, Manta Point (2 kali), Merpati Reef, Mike's Point, Wasrer, The Passage dan West Mansuar. Berarti, pengalaman menyelam di Raja Ampat bagi saya masih sangat jauh dari cukup mengingat kawasan ini memiliki ratusan spots dengan keunikannya masing-masing.












Salah satu wilayah yang masih mengundang keinginan untuk saya kunjungi di kawasan ini adalah wilayah Misool yang berjarak 4 jam dari kota Sorong yang terkenal dengan dive resort kelas atas: Misool Eco Resort. Sudah pasti harus masuk agenda menyelam saya berikutnya. Tapi entah kapan.

Pilihan untuk melakukan jelajah ke lebih banyak dive site memang lebih baik dilakukan dengan liveaboard, atau tinggal di kapal yang membawa berkeliling. Hal ini tidak saya lakukan, ketika pertama kali ke Raja Ampat, karena saya lebih memilih berada di antara lingkungan setempat. Kurang elok rasanya mendatangi sebuah tempat pertama kali tapi kita hanya berada di kapal terus menerus tanpa menyatu dengan lingkungan. Dengan tinggal di Kri Eco Resort, saya banyak ngobrol dan berinteraksi dengan para pegawai lokal di sana dan sedikit banyak mendapat banyak pengetahuan mengenai berbagai kondisi dan kearifan lokal masyarakat Raja Ampat.


Catatan Penutup: Perjalanan Ini Jadi Lebih Mahal

Satu perbuatan yang sungguh bodoh, saya lakukan dalam perjalanan ini. Sore menjelang gelap, setelah minum 2 botol bir saya berjalan ke arah jetty untuk bersantai menikmati matahari tenggelam yang sungguh indah. Begitu santainya suasana, ketika bermaksud kembali ke kamar, saya sibuk ber-sms tanpa sadar bahwa langit sudah gelap, penerangan sangat minim dan jembatan dari jetty menuju kamar tidak memiliki pembatas. Alhasil, saya tiba-tiba sudah berada setengah di udara dengan tangan memegang telepon genggam. Kemudian sayapun nyemplung dari ketinggian 1 meter ke laut bersama sebuah Blackberry Bold.

Sebuah keteledoran yang sungguh mahal karena air laut langsung membuat telepon genggam saya tidak bisa berfungsi, sekalipun segala macam teknik pengeringan sudah dilakukan: membasuh dengan air tawar, mengeringkan dengan angin dari tabung selam yang sangat kuat, merendam di dalam beras, dan lain sebagainya. Omel istri kepada saya, harga sebuah bold itu sama dengan mengajak dia ke Raja Ampat. Apa lacur, nasi sudah menjadi bubur, hehehehe.