Tuesday, July 31, 2007

Gadget yang asik: Ergorapido

Ketika pergi belanja ke Home Cientro di Kemayoran, saya dan isteri menemukan sebuah gadget baru yang sangat menyenangkan. Mainan baru ini bukan laptop, hape, pemutar musik atau perangkat hiburan, tapi 'cuma' sebuah alat penyedot debu/kotoran alias vacuum cleaner. Namanya Ergorapido dari Electrolux yang menurut penciptanya, berasal dari kata ergonomic dan rapid.

Ketika melihat desainnya, mata kami langsung terpikat. Terutama karena tidak nampak adanya gulungan kabel dan bentuk langsingnya agak berbeda dari kebanyakan vacuum cleaner yang ada. Ergorapido secara cerdas dirancang dengan menggunakan tenaga baterai yang dapat diisi ulang di station yang disediakan. Lebih oke lagi, Ergorapido ternyata adalah perangkat 2in1. Artinya, dia dapat digunakan secara umum seperti penyedot debu rumah, tapi tanpa kabel, juga bisa dilepas tengahnya dan berfungsi menjadi penyedot debu portabel di tangan. Desain Ergorapido memang berbasis pada penyedot portabel. Bagi pemilik rumah yang besar, Ergorapido mungkin kurang cukup karena daya tampungnya. Tapi buat kami yang hanya tinggal di sebuah apartemen yang ukurannya cuma seuprit, dan tidak memiliki orang yang tinggal dan standby setiap hari untuk membersihkan rumah, Ergorapido seperti sebuah 'pencerahan' untuk masalah domestik. Apalagi desain dan fungsinya yang ciamik, rasanya seperti sedang menikmati karya-karya rancangan Apple Computer saja.

Menggunakan penyedot debu bebas kabel untuk membersihkan lantai memang sangat menyenangkan. Kami tak perlu repot-repot memindahkan colokan kabelnya untuk mendekati area yang ingin dibersihkan. Bentuknya yang langsing juga memudahkan penggunaan karena relatif jarang terantuk benda-benda yang memenuhi ruangan seuprit di apartemen kami. Ujungnya pun mampu berputar 360 derajat, membuatnya lincah menjangkau sudut-sudut sulit. Mau membersihkan sofa dan meja di bagian atas? Tinggal copot saja portabelnya. Enak banget deh!

Kekurangan dari Ergorapido -- selain kapasitasnya yang hanya ukuran portabel -- menurut saya adalah tidak adanya indikator kapasitas baterei tersisa. Kalau saja perancangnya mau meniru laptop Mac yang menaruh indikator baterei di baliknya, tentu akan sangat membantu pemakainya untuk mengetahui kapasitas baterei yang tersisa.

Lebih dari itu, Ergorapido sangat menarik untuk Anda yang tinggal di apartemen kecil macam kami. Untuk desain dan fungsi semenarik ini, Ergorapido juga bisa dibilang cukup terjangkau. Harganya sekitar 1 juta beberapa puluh ribu perak. Jauh dari harga vacuum cleaner robot yang harganya masih puluhan juta. Jadi tidak ada salahnya kalau mau 'mengintipnya' ke Home Cientro. Sayang, warna yang tersedia cuma merah. Padahal Ergorapido sebenarnya memiliki 4 macam warna yang sangat menarik.

Tuesday, July 17, 2007

Merayakan Kehadiran Naskah-naskah Iklan Hebat!

Sebagai seorang copywriter afkiran, sudah lama saya tak menikmati kehadiran naskah-naskah iklan hebat di jagat periklanan nasional yang membuat saya 'iri' pada penulisnya. Tapi bulan Juli ini, saya dapat 'hadiah' 2 iklan sekaligus! Senangnya...

Tadinya saya ingin memberi judul topik ini 'Celebrating Craftmanships in Copywriting.' Tapi rasanya lebih mantap kalau judul di atas. Dengan bahasa kandang kita sendiri, hehehe.
Topik ini saya hadirkan memang untuk menyampaikan salut setinggi-tingginya kepada para pekerja iklan yang terlibat melahirkan iklan-iklan berikut ini.

Mengirim ke Negeri Matahari Terbit sebelum terbit matahari.


Billboard Federal Express (FedEx) ini saya temukan di jembatan penyeberangan di jalan Warung Buncit Raya. Rasanya belum lama terpasang.

FedEx adalah salah satu perusahaan yang keberhasilan membangun identitas globalnya banyak dijadikan studi kasus. Mereka berhasil menerapkannya secara konsisten di seluruh dunia. Bila kita melihat cara penulisan naskahnya yang tanpa spasi, itu adalah satu konsistensi yang mereka terapkan untuk memperkuat pesan mereka, yakni We Live To Deliver (yang ditulis dengan teknik sama seperti headline di billboard tersebut).

Di tengah maraknya iklan-iklan kampanye global yang kebanyakan terpuruk hanya menjadi iklan terjemahan tanpa jiwa, iklan ini berhasil membebaskan diri dari kekakuan dan kemalasan. Menilik craftingbahasanya, iklan ini jelas bukan terjemahan mentah-mentah. Biro iklannya berhasil menangkap esensi merek dan menemukan jiwa baru yang relevan dalam bahasa Indonesia. Jadi siapa bilang, mentang-mentang citra global, harus di-londo-kan juga bahasanya? Kerja keras tim kreatif FedEx membuktikannya.

Ini Kandang Kita!



Semua penggila bola tentu akrab dengan jargon hebat satu ini. Apalagi sore nanti, Tim Nasional Indonesia akan mempertaruhkan nasibnya di Piala Asia 2007 melawan raksasa sepak bola Asia, semifinalis Piala Dunia 2002, Korea Selatan.

Lagi-lagi, inilah sebuah platform kampanye global yang sukses dilokalkan oleh kerja keras tim dari Publicis Indonesia (info bocoran dari AdDiction) untuk Nike. Sumpah, waktu melewati jalan Asia Afrika dan melihat billboard raksasa ini terpasang di sepanjang jalan, saya menyumpah dalam hati: berharap sayalah copywriter dari iklan ini.

Ini Kandang Kita! Sungguh sebuah pesan yang dahsyat di momen yang tepat. Meneguhkan keyakinan di belahan mana pun di dunia, dalam olah raga, ketika kita bermain di kandang sendiri, 50% kemenangan sudah di tangan. Menangkap kerinduan yang sungguh terpendam dari pecinta sepakbola terhadap prestasi Tim Nasional. Mengungkap kepekatan fanatisme. Headline semacam ini hanya akan keluar dari orang-orang yang mau memahami benar kedalaman jiwa para penggemar sepakbola di negeri ini.

Selebihnya, silakan simak saja euphoria luar biasa yang sedang berlangsung di Stadion Gelora Bung Karno (GBK) minggu ini dari liputan media. Iklan ini seperti sedang bekerjasama sempurna dengan semangat luar biasa Ponaryo Astaman cs. untuk membuktikan: nama Indonesia masih layak diteriakkan dan Indonesia Raya dinyanyikan dengan bangga secara bersamaan oleh 100 ribu lebih pendukung di GBK. Membuat siapa pun yang berada di tengahnya, pasti merinding dan meneteskan airmata haru. Hebat!

Nah, para pengiklan dan penulis iklan, masih menganggap bahasa londo lebih enak dan keren untuk berkomunikasi dengan bangsa sendiri? Makanya, jangan kebanyakan main di mal... hehehe