Sunday, May 06, 2007

Roti Bakar 'Mantap Surantap'

Siapa sih yang tak pernah makan roti bakar? Kalau belum ya kelewatan banget. Wong ini makanan 'standar' yang sering dinikmati sambil mengisi kebersamaan dengan teman-teman di waktu malam. Baik ketika masih sekolah sampai masa kerja. Anak nongkrong Jakarta pasti tidak bisa menyandang gelar anak nongkrong kalau belum pernah nongkrong di Roti Bakar Eddy yang kondang itu. Tapi saya bukan sedang mau membicarakan Roti Bakar Eddy, tapi Roti Bakar 'Mantap Surantap' yang ada di Bandung.

Saya yakin, setiap orang minimal pernah menikmati roti bakar dari puluhan tempat berbeda. Kadang sulit menentukan mana yang paling enak. Tempat seperti Roti Bakar Eddy bisa dibilang 'enak' secara sosial. Soal rasa, banyak saingannya. Tapi bila harus menilai roti bakar paling enak yang pernah saya nikmati selama hidup, maka saya memilih sebuah tempat yang berada di Bandung. Nama 'Mantap Surantap' adalah istilah fiktif khas plesetan Sunda saja. Ekspresi superlatif untuk mengatakan ini roti bakar paling mantap buat saya (masih ingat plesetan terkenal Cecep Gorbacep, kan? hehehe....)

Orang-orang Bandung menyebutnya Roti Bakar Gang Kote (huruf e dibaca dengan lafal e pada kata enak). Namanya sendiri Roti Bakar 234. Saya tidak tahu sejarah nama ini digunakan. Mungkin pemiliknya penggemar rokok kretek 234 alias Dji Sam Soe. Berbeda dengan tempat berjualan roti bakar yang biasanya sekaligus menjadi tempat nongkrong, dari dulu sampai sekarang Roti Bakar 234 a.k.a Roti Bakar Gang Kote tidak pernah menyediakan kursi dan meja duduk. Tempatnya persis di ujung sebuah gang kecil yang terletak di jalan utama kota Bandung. Tapi tak usah khawatir, karena di sepanjang jalan itu mudah sekali untuk parkir. Orang Bandung yang ke sini, biasanya selalu membeli untuk dibawa pulang. Take away, kerennya sih.

Mantapnya rasa Roti Bakar Gang Kote buat saya tidak pernah berubah. Dari jaman SMA 20 tahun lalu (Waduh ketahuan produk jadul ya, hehehe) sampai sekarang. Isi yang ditawarkan sih sama saja dengan lainnya. Ada keju, selai kacang, kornet dan coklat. Lalu apa istimewanya? Menurut saya karena si penjual memproduksi rotinya sendiri dengan standar yang berbeda dari roti bakar lainnya. Sehingga roti yang dipakai selalu tebal berisi dan 'segar'. Kita bisa memilih 2 model roti yang tersedia. Isinya juga selalu 'royal'. Mungkin karena rotinya yang tebal berisi, maka isinya pun harus dibuat lebih banyak agar terasa benar dalamnya. Teknik membakarnya kurang lebih ya sama saja, seperti yang bisa dilihat di foto.

Setahu saya, tidak banyak turis domestik akhir pekan yang mengenal Roti Bakar Gang Kote. Sama seperti tempat makan enak lainnya di Bandung. Pengetahuan turis domestik akhir pekan memang lebih banyak dipenuhi oleh tempat-tempat makan yang menjual suasana tempat dan panorama. Apalagi lokasinya yang bukan berada di kawasan tujuan wisata Bandung. Tapi tidak ada salahnya bila ingin mencoba. Saran saya, pergilah ke sana sekitar pukul 7-9 malam. Karena laku, mereka sering sudah kehabisan stok roti sebelum pukul 10 malam. Coba rasakan sendiri kedahsyatan rotinya yang tidak bakal dijumpai di tempat roti bakar lainnya.

Tertarik mencobanya? Ini dia petunjuk jalannya. Moga-moga cukup untuk memandu buat anda yang tidak kenal kota Bandung. Letak Gang Kote berada di tepi jalan Sudirman yang berada di dekat Alun-Alun Bandung. Jalan Sudirman sangat terkenal. Jadi mudah meminta petunjuk orang di sana. Gang Kote tepat berada di antara perempatan jalan Sudirman dengan jalan Pasar Baru (dari arah Banceuy atau stasion KA) dan perempatan jalan Sudirman dengan jalan Gardu Jati yang banyak berjualan makanan pada malam hari, seperti jalan Pecenongan di Jakarta. Karena jalan Sudirman adalah jalan se arah menuju Barat, maka anda harus datang dari arah Alun-Alun atau perempatan Sudirman - Pasar Baru untuk mencapainya. Dari lampu merah perempatan Sudirman - Pasar Baru, kira-kira 100 meter di sebelah kiri, anda bisa temukan Roti Bakar Gang Kote ini. Selamat berburu dan menikmatinya rame-rame!

Wednesday, May 02, 2007

Nonton Film Bagus Bersama Pembuat Film Bagus

Setelah nyaris luput, akhirnya Selasa kemarin (1 Mei) berhasil juga nonton Kala di TIM 21. Tepat sehari sebelum menghilang. Di pasar, Kala memang terhitung tidak terlalu berhasil menyerap penonton sehingga jatahnya untuk bercokol di jaringan bioskop 21 sangat singkat.

Setelah nonton, saya patut bersyukur tidak luput menonton. Cuma sayangnya kelancaran menikmati karya kedua Joko Anwar ini harus terganggu oleh sistem tata suara yang 'busuk' banget sehingga rasanya seperti sedang nonton di 'gerimis bubar' alias misbar. Suaranya keras sekeras-kerasnya dan memekakkan gendang telinga sampai di akhir film. Sayang sekali.

Setengah jam mengikuti cerita yang mengalir lancar dan menegangkan, saya dapat merasakan bahwa gaya artistik dan bercerita dari film ini seperti gaya film dari sutradara terkenal Wong Kar-Wai. Seperti film In The Mood for Love dan 2046, dua dari trilogi film Wong Kar-Wai yang sudah saya tonton, Kala menciptakan 'ruang' sendiri untuk ceritanya. Penonton tak perlu mencari 'konteksnya' karena 'ruang' adalah intepretasi bebas sang pencipta untuk menyampaikan gagasan utamanya. Kemampuan si pencipta kemudian menjadi sangat menentukan untuk membuat penonton dapat menikmati rangkaian cerita dan gambar yang disajikan tanpa perlu mengrenyitkan dahi melulu. Joko Anwar tergolong sukses, sekali pun belum sesempurna Wong Kar-Wai. Pujian tentu perlu disampaikan juga kepada tim produksi Kala. Dalam urusan melihat kesamaan gaya dengan Wong Kar-Wai, tentu saja saya bisa salah. Referensi tontonan film saya juga terbatas. Tapi, ya itulah yang langsung terbayang di kepala saya begitu melihat Kala.

Lepas dari itu, gagasan cerita film ini sendiri memikat. Didukung oleh sinematografi yang apik, film bisa bercerita tanpa 'kotbah' yang ceriwis atau sebaliknya sampai memerlukan selera artistik tingkat tinggi untuk memahaminya. Walau terhitung tidak berhasil secara komersial, kehadiran film Kala cukup menyenangkan bagi penonton seperti saya untuk lebih optimis dapat menikmati film-film Indonesia yang semakin baik ke masa depan.

Lebih menyenangkan lagi karena sebulan sebelum saya juga telah disodori film bagus lainnya: Naga Bonar Jadi 2 karya Deddy Mizwar. Ini film yang tidak cuma sangat bagus dan menghibur, tapi juga sangat sukses secara komersial. Hingga hari ini jumlah penontonnya sudah mendekati angka 1 juta penonton dan masih diputar terus di bioskop dan dipadati penonton.

Soal Naga Bonar Jadi 2, saya tentu tak perlu cerita banyak karena pasti sudah banyak orang yang menonton dan sepaham soal bagusnya film ini. Tapi yang membuat saya kagum justru pada saat menonton Kala, begitu selesai film dan lampu menyala saya bertemu dengan dua wajah yang familiar sekali di antara total 9 penonton di TIM 2. Salah satunya saya kenal karena pernah memproduksi salah satu karya iklan kantor saya dan ia mengenakan kaos Naga Bonar Jadi 2. Zairin Zain, yang di Naga Bonar Jadi 2 menjadi Associate Producer. Satunya lagi? Deddy Mizwar himself!

Ah, asyik juga nonton film bagus bersama pembuat film bagus. Mumpung bertemu, rasanya sangat tepat untuk menyampaikan apresiasi langsung. Dengan sok akrab (saya tidak kenal beliau secara pribadi, apalagi beliau tentu lebih tak mengenal saya, hehehe) di antara suara 'misbar' dari musik pengantar title film Kala, saya harus setengah berteriak sambil menyalami beliau, "Bung Deddy, terima kasih banyak ya. Saya sangat suka sekali film Anda." Lalu saya pun mengacungkan dua jempol. Reaksi beliau hanya terbahak kecil sambil bercanda mengibas tangannya. Sungguh jauh dari kesan seorang aktor dan film maker sombong yang telah memberi banyak kepada kemajuan perfilman tanah air. Sebagai penonton dan penggagum Naga Bonar Jadi 2, sungguh beruntung saya dapat menyampaikan apresiasi langsung kepada pembuatnya yang humble dan membumi. Pantas saja bisa melahirkan film bagus sekelas itu, hehehehe....