Sunday, February 19, 2006

Koffie Fabriek Aroma Bandoeng


Bagi para pecinta kopi sejati, pabrik kopi Aroma bukanlah nama asing. Penggemarnya bahkan datang dari berbagai belahan dunia. Tak heran, karena puluhan tahun pabrik kopi Aroma memasok kopinya ke hotel-hotel dan kafe-kafe ternama di manca negara. Setahu saya, Gandhi Suryoto, kawan saya sesama praktisi periklanan, adalah salah seorang penikmat dan pecinta Kopi Aroma. Di-blog-nya malah ada cerita ia memperoleh pengetahuan pembuatan kopi di pabrik kopi ini.

Sabtu kemarin (18 Februari) saya bersama isteri berkesempatan datang lagi ke Pabrik Kopi Aroma yang berlokasi di jalan Banceuy 51, Bandung. Menelusuri kenangan 20 tahun lalu ketika saya terakhir membeli kopi di sana saat masih duduk di kelas 3 SMA. Waktu itu memang belum ada yang namanya Starbucks, Segafredo, dan sejenisnya. Belum ada juga café yang menjanjikan suasana menikmati kopi dengan gaya ‘priyayi’ di mall dan shopping center. Kopi Aroma adalah ‘kemewahan’ yang terjangkau buat saya dan rekan-rekan sekolah sesama pecinta kopi. Di awal-awal tahun bekerja, saya masih sempat menikmati kembali kopi Aroma dengan gaya yang sedikit menak. Waktu itu, Sidewalk Café yang berada di sayap kiri depan Hotel Savoy Homann hanya menyajikan kopi Aroma buat pengunjungnya. Sayangnya sudah lama café ini tutup, dan coffee shop Homann yang sekarang tidak lagi menjual kopi Aroma.

Sama sekali tak ada yang berubah dari pabrik kopi Aroma. Semuanya masih tetap terlihat sama. Di mata saya, 20 tahun lalu saja, pabrik yang sekaligus merangkap toko ini sudah terlihat klasik. Apalagi sekarang. Berada di deretan toko bergaya bangunan dari zaman kolonial, Aroma memang makin teguh citranya sebagai merek heritage. Hanya kepadatan kawasan Banceuy yang terasa makin ruwet. Arah jalan menuju Banceuy juga sudah berubah sehingga harus agak memutar bila kita datang dari arah Utara. Pabrik kopi Aroma memang berada di kawasan penjualan peralatan dan asesoris kendaraan bermotor dan di lingkungan kawasan niaga sejak dulu.

Selain bangunan luar dan dalam yang tak berubah, satu hal penting yang tak pernah berubah – dan karenanya kopi Aroma tetap menjadi salah satu kopi terbaik sampai hari ini – adalah passion pemiliknya pada kopi. Ketika sedang menanti butir kopi di-grind, kami sempat dihampiri oleh pemiliknya. Beliau – entah generasi ke berapa, walau saya menduga beliau adalah generasi kedua atau ketiga – dengan antusias menjelaskan tentang sifat dua jenis kopi yang kami pesan: Arabica dan Robusta, tanpa diminta. Robusta, katanya, untuk meningkatkan stamina. Berguna untuk tetap melek dan konsentrasi, seperti kalau mau kerja lembur atau mennyetir jarak jauh. Disarankan untuk tidak meminumnya pada saat malam hari ketika kita hendak beristirahat. Sementara jenis Arabica nikmat diminum saat kita sedang happy, rileks dan santai. Kami juga memperoleh tips bagaimana cara menyimpannya. Beliau menyarankan kopi disimpan di tempat kedap udara dan disimpan di dalam frezzer di kulkas. Untuk membawa pulang ke Jakarta, beliau malah wanti-wanti jangan diletakkan di bagasi mobil, tapi di bagian depan dekat AC. Katanya, bagian bagasi belakang mobil yang sering kemasukan bau oli bisa mengganggu aroma kopi. Sayang, kami tidak sempat terlibat pembicaraan lebih lama. Bahkan tidak sempat berkenalan. Beliau sudah disibukkan oleh urusan lain. Satu info penting yang kami dapat, ternyata, sudah banyak tempat minum kopi di Bandung dan Jakarta yang menyajikan kopi Aroma. Sayangnya, beliau juga tak sempat memberitahu kami lebih detail dimana saja di Jakarta kami bisa menikmati kopi Aroma. Kami akhirnya memesan masing-masing 3 bungkus kopi (@ 250 gram) jenis Arabica dan Robusta. Ketika membayar, kami cuma bisa ternganga karena harganya. Untuk 6 bungkus kali 250 gram salah satu kopi terbaik di dunia ini kami mengeluarkan uang yang nilainya kurang lebih sama dengan pesanan 2 gelas kopi di coffee shop di mal-mal di Jakarta. Gaya hidup memang mahal ya, he.. he.. he..

Buat Anda para penikmat kopi kelas berat dan belum pernah merasakan nikmatnya kopi Aroma, saya sungguh menyarankan – bila mengunjungi Bandung – sempatkan membeli kopi Aroma. Biar sedikit padat dan ruwet, jalan Banceuy adalah jalan terkenal yang sangat mudah dicari di Bandung. Bila sudah sampai di kawasan itu, tanyakan saja pada para tukang parkir, mereka pasti tahu dimana letak pabrik kopi Aroma yang legendaris itu. Dan silakan buktikan sendiri kedahsyatan rasa dan aromanya yang luar biasa.

Sebuah ‘Jalan Kebanggaan’

Rabu, 15 Februari 2006 harian Kompas menurunkan tulisan bertajuk Nasib Supir Taxi: Tarikan Sepi, Sarapan “Ngutang", Makan Siangnya Ubi. Liputan yang muncul di halaman pertama ini mengungkap kesulitan para supir taxi di Jakarta bertahan hidup di tengah dampak kenaikan harga BBM. Beratnya kondisi ekonomi membuat para supir taxi bahkan sampai harus menghemat pendapatannya dengan mengisi perut dengan ubi ala kadarnya yang lebih murah dari ongkos makan nasi dan lauk di warteg.

Di tulisan ini, Kompas mewawancarai dan memuat foto supir-supir taxi yang biasa nongkrong di sebuah jalan di sebelah Waduk Setiabudi di kawasan Jakarta Pusat. Mungkin banyak yang belum tahu dimana tepatnya letak jalan tersebut. Jalan yang yang panjangnya mungkin tak lebih dari 100 meter ini persisnya terletak di antara Gedung Landmark di jalan Jendral Sudirman dan Hotel Four Seasons yang terletak di jalan HR Rasuna Said (Kuningan). Kebetulan, inilah jalan yang saya lewati setiap hari dari tempat tinggal saya di Kuningan menuju kantor di kawasan Pejompongan. Jalan ini memang sudah bertahun-tahun jadi tempat supir-supir taxi break narik untuk sesaat. Saya tidak tahu sejak kapan sebenarnya kebiasaan ini dimulai.

Mungkin yang juga tidak banyak diketahui banyak orang – kecuali mereka yang berkantor di sekitar sana atau punya rutinitas melalui jalan ini seperti saya – bahwa jalan ini merupakan Jalan Kebanggaan Kelurahan Setiabudi. Di lanjutan jalan ini ke arah Sudirman yang letaknya persis di antara Gedung Landmark dan Wisma Indocement, juga terdapat sebuah jalan yang kurang lebih sama panjangnya. Bedanya, di jalan ini terdapat pemisah jalan selebar kurang lebih 1 meter yang ditanami pepohonan dan rumput yang dirawat. Pemisah jalan bertaman ini merupakan Taman Kebanggaan Kelurahan Setiabudi. Dua ruas jalan yang hanya dipisahkan oleh sebuah bundaran kecil ini merupakan jalan dan taman kebanggaan Kelurahan Setiabudi. Statement ini diperkuat dengan dipasangnya tulisan tersebut dalam bentuk seperti plang nama jalan di kedua ruas jalan yang menyatakan hal tersebut. Entah kenapa, plang Jalan Kebanggaan Kelurahan Setiabudi sekarang tidak terlihat lagi. Barangkali rubuh tertabrak kendaraan. Entahlah. Tapi plang Taman Kebanggaan Kelurahan Setiabudi masih terpampang gagah di sana.

Kembali ke Jalan Kebanggaan Kelurahan Setiabudi yang menjadi tempat mangkal para supir taxi, banyak juga yang tentu tidak tahu bahwa di jalan ini para supir taxi tidak hanya menjadikan sebagai tempat beristirahat – kadang untuk tidur sesaat di dalam mobil, ngobrolin nasib, makan ubi untuk menghemat penghasilan, tapi juga tempat mereka buang air kecil. Benar, buang air kecil alias pipis! Entah sejak kapan juga kebiasaan ini dimulai. Tapi jelas, salah satu pemandangan yang bisa Anda lihat jika melalui jalan ini adalah adegan seorang supir taxi sedang pipis sambil berdiri di balik pintu taxi yang dibuka lebar untuk menutupi auratnya dari pandangan kendaraan lain yang lewat. Memang Jalan Kebanggaan Kelurahan Setiabudi ini sungguh multifungsi buat para supir-supir taxi.

Jalan tersebut benar-benar jalan yang bisa dibanggakan karena ternyata -- tanpa sengaja – telah memberi ruang buat para supir taxi beristirahat, berkumpul, makan yang murah sampai buang hajat gratisan di kota yang segala-galanya sudah serba bayar ini. Mudah-mudahan juga para petinggi negeri ini tidak pernah dan tidak perlu melalui jalan ini. Agar para supir taxi tak kehilangan jalan kebanggaannya.