Friday, December 23, 2005

Ini Bukan Ujian yang Sesungguhnya!

Rabu, 14 Desember 2005. 57 mahasiswa/i Semester 7 jurusan DKV (Desain Komunikasi Visual) Universitas Tarumanegara (Untar) mengikuti Ujian Akhir Semester. Mereka menerima selembar soal berisi 3 pertanyaan sederhana dari saya untuk mata kuliah Periklanan II yang harus mereka selesaikan selama 1,5 jam.

Apakah jawaban mereka di atas selembar atau dua lembar kertas kosong tersebut dapat dipakai untuk mengukur tingkat keberhasilan mereka memahami dunia periklanan? Sudah pasti tidak! Bahkan waktu satu semester pun – kurang lebih 12 kali pertemuan setiap Rabu pagi selama 1,5 jam – saya yakin tidak mampu menjamin hal tersebut.

Lalu kenapa saya menerima tawaran untuk jadi dosen di Untar?

Ketika Mas Adiet (Arief Adityawan), kenalan saya yang juga adalah Ketua Jurusan DKV Untar menawarkan, dalam kapasitas sebagai seorang praktisi periklanan, untuk ikut mengajar agar para mahasiswa/i dapat mengenal dunia periklanan langsung dari para pelakunya, saya pikir tidak ada salahnya saya coba. Apalagi saya tak sendiri. Gandhi Suryoto, Creative Director Dentsu; Randy Rinaldi, Creative Director Leo Burnett Kreasindo; Nico Owen, Art Director BBDO dan pemenang Daun Muda Award 2005, juga berhasil ‘dirayu’ oleh Mas Adiet untuk mengajar atau menjadi pembimbing Tugas Akhir di sana.

Tapi setelah saya iyakan, saya malah keder sendiri. Pertama: ini pengalaman pertama saya mengajar. Walau pernah beberapa kali jadi pembicara di seminar atau workshop tentang periklanan, mengajar tentu persoalan berbeda. Kedua: saya ini kuliahnya saja DO alias drop out. Bukan ‘contoh’ yang baik buat para mahasiswa/i. Anehnya di kotak surat ruang dosen saya malah dapat gelar ‘gratisan’: Ricky Pesik, S.Sn. hehehe. Ketiga: saya sama sekali tidak dibekali silabus. Bahkan tujuan memberi kuliah selama satu semester hanya dibekali dengan ucapan: “Terserah Mas Ricky. Mas kan sudah pengalaman di industri ini, tentu tahu apa yang diperlukan oleh mahasiswa/i untuk masuk ke industri ini.” Nah lho! Jadi saja saya tambah keder!

Saya pun coba menduga-duga. Sebagian besar mahasiswa/I tentu masuk DKV karena merasa memiliki bakat atau minat pada urusan gambar-menggambar. Sebagian lagi mungkin hanya ikut-ikutan saja memilih jurusan yang kian popular ini. Sebagiannya lagi, mungkin, pokoknya asal kuliah saja. Menyandang status mahasiwa/i. Dengan asumsi seperti ini saya pikir tidak semua mahasiswa/i akan tertarik untuk masuk ke dunia periklanan. Materi Periklanan apa yang sebaiknya saya sampaikan kepada mereka?

Bila melihat semua materi kuliah di jurusan ini, bejibun mata kuliah siap mengasah ketrampilan teknis mereka untuk urusan visual. Termasuk ketrampilan art direction dan penulisan naskah iklan. Jadi saya putuskan sendiri, sebaiknya saya back to basic. Saya mau mencoba mengajak mereka untuk membiasakan diri berpikir menelusur. Maksudnya, di balik setiap iklan – dari yang canggih, keren, kreatif sampai yang kacangan, butut dan kampungan (mungkin) -- sejatinya terdapat proses panjang yang dapat mengurai pokok-pokok pikiran strategisnya. Dari sana bisa dikenali, dipelajari dan dipahami sistematika berpikirnya. Ujungnya, saya berharap mereka bisa mengerti bahwa setiap iklan itu memerlukan proses berpikir yang tidak ‘kacangan’ untuk sampai ke ide yang hebat. Syukur-syukur, kalau tertarik, berinisiatif untuk mempelajari sendiri lebih dalam tentang proses strategic thinking dan planning. Lebih hebat lagi bila ada 1 atau 2 saja dari mereka yang sanggup menjadikan strategic thinking menjadi semacam ‘way of life’. Keanekaragaman kehidupan manusia sehari-hari akan menjadi tempat melakukan ‘riset’ yang tak ada habis-habisnya untuk digali, dipelajari dan dipahami, bukan?

Makanya, dengan niat seperti itu, saya tidak melihat lagi urgensi dari sebuah ujian formal seperti yang terlihat di foto. Dengan objective di atas, ujian terberat justru akan mereka hadapi di kehidupan sehari-hari. Ujian terberat justru adalah bagaimana mereka menetapkan dan melakoni masa depan mereka dengan sikap yang lebih jelas. Termasuk memutuskan, apakah industri periklanan adalah masa depan mereka atau bukan. Ujian terberat ada di tangan mereka sendiri. Dalam waktu dekat ini.

Thursday, December 15, 2005

10 Desember 2005 Tanpa Yap Thiam Hien Award


Setiap tanggal 10 Desember, biasanya saya selalu menemukan tulisan dan berita yang dominan tentang persoalan hak-hak asasi manusia. Juga tentang peraih Yap Thiam Hien Award (YTHA), individu atau lembaga yang dinilai berperan besar dan konsisten dalam upaya penegakan hak-hak asasi manusia (HAM) di Indonesia. Tapi tidak di tahun ini. Kemana berita tentang peraih Yap Thiam Hien Award 2005?

Yap Thiam Hien Award tahun ini ditiadakan! Kepastian itu saya peroleh langsung dari Todung Mulya Lubis, Dewan Pendiri Yayasan Pusat Studi Hak-hak Asasi Manusia (Yapusham) sekaligus Ketua Komite Pengarah kepanitiaan Yap Thiam Hien Award.

Kepada publik, kabar ini disampaikan langsung oleh Bang Mulya, begitu biasa kita memanggil Todung Mulya Lubis, melalui acara konferensi pers di Klub Rasuna Jakarta tanggal 13 Desember kemarin. Intinya Komite Pelaksana menyampaikan bahwa semakin tahun kepedulian dan dukungan masyarakat kepada persoalan HAM semakin susut. Termasuk dukungan dari kalangan dunia usaha. Minimnya dukungan ini membuat YTHA 2005 tidak mungkin diselenggarakan.

Sebagai orang yang pernah mengemban tanggung jawab sebagai Ketua Komite Penyelenggara selama 5 tahun, sebelum resmi mundur dan tidak terlibat sama sekali di tahun 2005 ini, saya hanya bisa terdiam dan tercenung bisu. Hal ini sebenarnya setiap tahun sudah kami khawatirkan akan terjadi. Masalah susutnya dukungan ini, harus diakui, juga tak lepas dari keterbatasan kerja yang berbentuk ad hoc setiap tahunnya. Padahal sebagaimana layaknya sebuah lembaga penghargaan yang kredibel, dibutuhkan kerja penuh untuk mengembangkannya. Di tingkat regional kita bisa belajar dari Magsaysay Award di Filipina. Di tingkat dunia, idealnya seperti anugerah Nobel.

Semua pihak yang terlibat di kepanitiaan bukannya tidak menyadari kelemahan ini. Sudah lama terpikir untuk mendirikan Yayasan Yap Thiam Hien yang akan bekerja sepenuhnya untuk menyelenggarakan sekaligus mengembangkan Yap Thiam Hien Award setiap tahun. Sayangnya, gagasan berdirinya yayasan terus terbentur berbagai kendala, sementara 'kekuatan' kerja kepanitiaan makin tahun makin menyusut. Bisa dimaklumi, mengingat sebagian besar anggota komite pelaksana adalah para karyawan di perusahaan maupun lembaga lain yang relatif bekerja pro bono untuk penyelenggaraan YTHA.

Alhasil, impian untuk mengembangkan YTHA sebagai lembaga yang mengambil peran penting dalam mempromosikan pentingnya penegakan dan perjuangan hak-hak asasi manusia di Indonesia semakin surut ke belakang. Padahal, sejak Soeharto lengser di tahun 1998, YTHA sudah mulai berhasil direposisi untuk menjadi 'ujung tombak' promosi kepedulian terhadap hak-hak asasi manusia dengan approach yang lebih popular ke khalayak yang lebih luas - di luar lingkungan aktivis dan LSM. 'Bibit' ke arah sana sudah mulai ditanam oleh komite pelaksana sejak tahun 2000. Ditandai dengan tampilnya perusahaan swasta sebagai pendukung resmi. Terpilihnya sosok-sosok 'non-aktivis' seperti Wiji Thukul dan Maria Hartiningsih yang dinilai memiliki peran sama besar dalam bidang HAM sebagai peraih YTHA. Melakukan kerjasama tahunan dengan Jakarta International Film Festival (JiFFest) untuk menampilkan film-film bertema hak asasi. Sampai partisipasi para pengusaha, professional, sampai kelompok musik Slank dalam acara penganugerahan YTHA dari tahun ke tahun.

Bila YTHA bisa dianggap sebagai salah satu ikon penting dari kegiatan promosi yang dapat mendorong masyarakat lebih luas untuk makin peduli dan sanggup menumbuhkan komitmen terhadap penegakan hak-hak asasi, sungguh akan menjadi sebuah persoalan besar sebenarnya bagi civil society bila YTHA gagal dipertahankan dan dikembangkan di tahun-tahun selanjutnya.

Inisiatif yang lebih serius untuk segera melembagakan keberadaan YTHA memang harus segera dimulai. Agar ia tidak kembali ke titik nol dan hilang. Keberadaan lembaga resmi yang menaungi YTHA akan menghadirkan sebuah organisasi yang dedicated untuk mengembangkan berbagai program promoting yang penting untuk menjangkau khalayak luas dengan approach yang popular. Dalam jangka panjang, menurut keyakinan saya, ini adalah sebuah tujuan yang sangat penting bagi bangsa ini untuk mengatasi berbagai persoalan pelanggaran hak asasi yang tetap marak bahkan, di tingkat konflik horisontal, cenderung meningkat dan budaya impunitas tidak juga pupus dari kamus penguasa yang ada.

Semoga energi ini belum punah dari sosok-sosok penting seperti Bang Mulya, Rachland Nashidik, dan kawan-kawan lain yang selama ini 'menjaga' keberadaan YTHA dari tahun ke tahun. Pada 10 Desember 2006, mudah-mudahan kita akan melihat YTHA hadir kembali dengan peran yang lebih besar lagi dalam bidang promosi hak-hak asasi manusia.

Saturday, December 10, 2005

‘Oleh-oleh’ dari Pembukaan JiFFest 2005

Jumat malam, 9 Desember ini, JiFFest 2005 resmi dibuka di Graha Bakti Budaya, Taman Ismail Marzuki. Acara utama pembukaan khusus untuk undangan ini memutar film La Grand Voyage karya Ismael Ferroukhi, seorang sineas asal Maroko yang besar di Perancis.

Tentu saja, sebagai kegiatan budaya tahunan di ibukota, pembukaan JiFFest pasti pula dihadiri oleh berbagai kalangan. Termasuk yang kategorinya ‘selebritis’. Utamanya dari kalangan perfilman. Syukurlah JiFFest juga sebuah ajang yang ‘egaliter’, sehingga saya dan banyak undangan lain yang masuk kategori ‘orang biasa’ bisa masuk lewat red carpet juga serta pating seliwer sama bebasnya di tempat acara, he.. he.. he..

Ditemani makanan dan bir gratis yang dihidangkan oleh panitia, undangan bisa menikmati pameran foto-foto pembuatan film layar lebar Indonesia. Dari film Belahan Jiwa, Mirror, Cinta Silver, Ungu Violet yang sudah muncul di bioskop sampai film Berbagi Suami karya Nia Dinata yang akan diputar bulan Maret 2006 dan film Sinta Obong karya Garin Nugroho.

Yang sungguh memikat saya adalah hadirnya 3 poster film Garasi karya Agung Sentausa dari Miles Film (www.garasithemovie.com). Menurut saya poster film Garasi termasuk salah satu poster film Indonesia yang well done. Pameran ini sendiri masih akan berlangsung sampai JiFFest berakhir tanggal 18 Desember nanti. Jadi kalau pengen lihat, datang saja ke Graha Bakti Budaya TIM. Poster-poster film Garasi sendiri terpasang di paling ujung kanan ruang pamer sehingga agak tersembunyi.



Film pembuka JiFFest 2005 sendiri adalah sebuah film yang reflektif tentang hubungan ayah dan anak. Tentang persoalan hubungan antar generasi. Mengambil cerita tentang perjalanan bermobil seorang anak mengantar ayahnya naik haji sejauh 3.000 mil dari Perancis sampai Mekah di Arab Saudi.

Walau bukan tema baru, film ini sangat bagus. Ceritanya, walau berfokus pada ‘perjalanan spiritual’ seorang ayah bersama anaknya yang tidak peduli urusan keimanan, film ini bisa mengalir tanpa ‘ceramah’ dan tanpa ‘kotbah’ sedikitpun. Ironisnya, film ini justru dibuka oleh ‘kotbah’ panjang lebar berupa sambutan Gubernur DKI yang dibacakan oleh utusannya. Tapi ya sudahlah, namanya juga salah satu sponsor utama.

Terakhir, ada ‘oleh-oleh’ memikat satu lagi yang saya temukan di dalam goodie bag Aksara yang dibagikan panitia. Saya menemukan sebuah free magazine bernama Mu-phi. Tampilan logo majalah ini sendiri cukup aneh karena menggunakan tanda ilmu pasti. Sekilas mengesankan sebuah majalah 'eksakta'. Majalah baru yang diterbitkan oleh PT JDC Sukses Kreasimax ini, menurut pengantar editorialnya, akan memfokuskan diri pada film-film ‘festival’. Saya sendiri tidak menemukan nama ‘seleb’ perfilman di daftar redaksinya. Menarik sekali ada orang-orang yang sungguh ‘bernyali’ memodali sebuah majalah gratisan dengan konsep editorial yang begitu fokus. Dari penyajian yang sangat rapi, terlihat penggagas dan tim yang mengerjakan menguasai sekali perkembangan JiFFest dari tahun ke tahun. Semoga para penonton JiFFest bisa mendapatkan majalahnya di sepanjang acara. Dan semoga juga Mu-phi bisa bernafas panjang.

Saturday, December 03, 2005

JiFFest Tidak Hanya Putar Film

Di atrium Plasa Senayan, Jumat, Sabtu dan Minggu ini (2-4 Desember) ada JiFFest Film Music in Concert. Berturut-turut menyajikan musisi Dwiki Dharmawan, Thoersi Argeswara dan Jaya Suprana ‘berkolaborasi’ dengan 3 film bisu klasik hitam putih berjudul The Cameraman, Steamboat Bill Jr dan The General. Ketiganya dibintangi oleh Buster Keaton.

Konser ini tentu bukan konser berformat serius macam pertunjukan orkestra. Tempatnya saja di atrium sebuah mal kelas menengah atas yang terbuka. Bagi pengunjung mal, konser ini tak ubahnya seperti rekreasi. Pertunjukan berlangsung dengan santai. Ada anak-anak yang lari kesana kemari. Kadang mendekati musisi dengan rasa ingin tahu yang besar. Ada yang terbahak-bahak menikmati film yang penuh dengan adegan slapstik, khas film bisu hitam putih jaman dulu. Ada yang duduk rapi jali dan mencoba serius mengapresiasi interpretasi sang musisi terhadap film. Ada yang sambil ngobrol dengan kawan-kawannya. Ada yang menonton sambil berdiri di lantai atas. Ada yang cuma lewat, tengok-tengok sebentar, lalu berlalu entah untuk shopping maupun kongkow di kafe. Semuanya sah-sah saja. Namanya juga pertunjukan terbuka.

Hari Sabtu, tanggal 3 Desember, saya sempat menikmati sepotong penampilan Thoersi untuk film Steamboat Bill Jr yang tampil bersama 2 rekan musisi. Kurang lebih separuh pertunjukan di bagian tengah. Terus terang saya bukan orang yang paham untuk mengulas pertunjukan macam begini. Secara subyektif, saya menikmati saja. Menurut saya, pertunjukan ini menarik dan gagasannya ‘original’ karena dibawa ke tengah area publik yang tidak datang dengan sengaja untuk menikmati pertunjukan (tentu berbeda dengan konser Addie MS dengan Twilite Orchestra untuk film-film karya Teguh Karya dan Star Wars baru-baru ini). Saya sendiri tidak bisa mengapresiasi dengan canggih sebagus apa Thoersi menginterpretasi film tersebut dengan komposisinya. Yang jelas, kuping saya kadang menangkap sang musisi seolah-olah sedang ber-jam session dengan visual di layar. Terkadang, di bagian tertentu, saya seolah mendengar musisi membuat film scoring baru yang menghidupkan adegan di layar. Enak dan ringan untuk dinikmati sih buat saya.

Kalau ada kelemahan pada pertunjukan ini adalah proyeksi film di layar yang tidak tajam. Wajar saja karena proyeksi ke layar harus melawan lampu terang Plasa Senayan yang tentu tidak bisa dimatikan macam di bioskop. Tapi namanya sebuah pertunjukan rekreasi, tentu bisa dimaklumi. Kekurangan lain, menurut saya, untuk pertunjukan semenarik ini, dukungan promosi khusus untuk acara ini sendiri terasa minim. Seingat saya hanya orang-orang yang sudah membaca buku program JiFFest atau membuka website JiFFest yang mendapat informasi tentang acara ini. Itupun kalau membacanya secara lengkap.

Ini adalah tahun kedua JiFFest menghadirkan Film Music in Concert. Keduanya di Plasa Senayan. Bagi pengunjung Plasa Senayan, berarti publik kelas menengah atas Jakarta, ini tentu alternatif hiburan yang menyegarkan. Gratis pula. Kalau mau nonton, masih ada kesempatan hari Minggu ini menikmati ‘kolaborasi’ Jaya Suprana dengan film berjudul The General. Kalau kelewatan waktunya, mudah-mudahan JiFFest Film Music in Concert masih akan datang di tahun-tahun mendatang buat anda. Semoga saja.